Ini hari dimana aku menjumpainya untuk kedua kalinya, laki-laki berpeci usang dengan rokok klobot di bibirnya. Dulu dia jarang sekali merokok, sekali merokok pun bukan kretek tetapi mild. Sekarang gusi dan giginya hampir hitam karena nikotin. Rambutnya sesekali di sentil angin dari timur, angin dari australia yang telah melakukan perjalanan jauh melewati laut jawa. Dulu dia juga belum punya uban sebanyak ini.
Hari ini aku dan dia duduk pada bangku di teras, memandang perbukitan yang dijejali padas kecoklatan, musim hujan akan membuatnya tampak menawan, membuatnya sedikit hidup dan berdenyut dengan warna.
Kami masih tidak bicara, membiarkan pikiran membawa kami menjelajah masa lalu, sepuluh tahun yang lalu saat terkahir kali dia melihatku. Membanting pintu. Membanting hati istrinya dan meremukkannya.
Bibirnya sesekali bergerak, naik turun mengeja apa yang lewat dalam pikirannya. Mungkin emosinya, rasa marah dan kecewa yang biasa aku sangkakan akan mengendap dalam hatinya setelah hari laknat itu. Aku tak juga mau membuka suara. Aku tak diajarinya untuk berkata-kata, mendengar adalah ajaran utama darinya. Rokok klobotnya dihisap lagi, gemeretak tembakau sedikit mengisi kekosongan bunyi pada kami. Kunyalakan rokok ku.
Mata kami tak juga saling pandang, ada keengganan mungkin darinya, ada rasa tak tertahankan jika dia melihat mataku. Tetapi aku tetap nekat mencuri-curi walau kadang cepat kupalingkan muka kembali. Asap rokokku mengepul, terbang menyatu bersama asap rokok klobotnya, membaur terbang meliuk dicumbui angin. Membawanya bersama tanpa risih dan resah entah kemana.
YOU ARE READING
Malam Ganjil Seno
General FictionKumpulan Cerita Pendek Tentang Hidup dan Pergolakan Pemikiran