Dia duduk, membiarakan tentang kebenaran dengan bayangannya sendiri. Dibawah terik, menghadap tembok dimana saja bayangannya akan jatuh. Bercengkrama tanpa peduli lalu-lalang orang yang lewat disekitarnya, tampak acuh terhadap mereka yang berhenti dan mengamati terhadap tingkahnya yang dianggap aneh, gila, nyleneh dan kurang waras.
Bayangannya diam, seperti dirinya yang hanya diam. Hanya mulutnya yang kadang komat-kamit atau berkata-kata tanpa runtut, yang kemudian diikuti oleh perubahan raut.
Saling berhadapan.
Kadang teriakannya dimuntahkan, meluncurkan hentakan dan ludah menjadi berterbangan, tetapi bayangannya diam saja, tak bergerak sedikitpun mengikuti polah si laki-laki Plontos.
Kadang dia tersentak kaget sendiri, meski mereka yang disekitar tak mendengar apapun dari bayangan laki-laki berkepala plontos itu.
Kerumunan yang datangpun tidak terlalu banyak, jangan berharap lebih. Masyrakat di kota Tengik ini sudah terbiasa melihat orang gila, kurang waras, edan dan entah julukan lainnya untuk kelakuan yang nyleneh seperti itu.
Hanya dua sampai lima orang saja yang berhenti untuk memperhatikannya, biasanya mereka yang berhenti adalah orang yang baru datang ke kota Tengik ini untuk bekerja, atau mereka yang masih punya rasa penasaran tersendiri terhadap sesuatu. Selebihnya penduduk disini sudah terbiasa.
Kebanyakan memilih langsung berlalu saja, langsung lewat bahkan ada yang tidak menyadari keberadaan laki-laki kepala plontos itu. Seperti si kepala plontos yang tidak menyadari keberadaan orang-orang disekitarnya.
Meski demikian kota Tengik dalam survei kependudukan tidak menyatakan bahwa jumlah orang gila yang hidup di dalam kotanya tinggi, malah terbilang sedikit jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meski dalam kenyataannya kau akan bisa menemukan satu orang gila dalam satu ruas jalan, mereka seperti hantu penunggu jalan. Mungkin karena mereka dianggap seperti hantu, maka dari itu tim survei juga kadang tidak melihatnya.
Kepala Plontos bukanlah pendatang baru dalam percaturan dunia orang gila di kota Tengik, dia mugkin telah muncul bersama si Rambut gimbal, si Kain Sarung, si Bugil, dan masih banyak lagi, dan bagi yang mengenal dan memperhatikan, dia sudah hampir 10 tahun berkiprah di dunia orang Gila.
Dari dulu berkepala Plontos, meski kadang yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana dia mempertahankan keplontosannya, sedang umurnya masih muda untuk mengalami kerontokan rambut. Lalu kalau demikian, muncul pertanyaan tentunya bagaimana dia bisa mendapatkan rambut plontosnya, mencukur rambutnya untuk tetap plontoskah? Atau bagaimana?
Tetapi semua tidak peduli, hanya aku sendiri yang menulis pertanyaan ini berusaha memikirkannya untuk tetap terasa bisa dinalar dipikiran kalian. Jika kalian tidak tertarik seperti penduduk di kota Tengik, aku dengan senang hati tidak akan menceritakannya kepadamu.
Kepala Plontos memang dari dulu sering berbicara terhadap bayangannya sendiri, merasai bayangannya hidup, menanggapi bahkan memulai.
Yang dibicarakan dan dipertengkarkan keduanya pun berbeda-beda tetapi masih dalam satu garis yang sama, tentang kebenaran, siapa yang bayang-bayang, siapa yang nyata. Dan mereka yang lewat dan dulu peduli, tentu juga tidak pernah akan menemukan jawaban, bahkan oleh siapa nantinya pertarungan itu dimenangkan.
Sore beranjak semakin menjadi gelap, kerumunan orang pulang kantor semakin sedikit, berganti kerumunan pemuda-pemudi yang datang menjejali dan wara-wiri didekat laki-laki Plontos tadi.
Tidak mengindahkan, mereka menjalani seperti biasanya, nongkrong sambil merokok di pinggir jalan, berpacaran atau sedikit mencoba mabuk dengan membeli minuman yang memiliki kadar alkohol rendah di mini market.
Kepala Plontos mulai menyadari, bayangnya sudah tak sempurna lagi, bayangannya meninggi dan tidak lagi rinci. Lampu kota terlalu tinggi dan membuat bayangannya menjadi aneh dan tidak dikenali, saat itulah dia mulai berdiri, pergi dan menyembunyikan diri didalam gelap, menghilang di bawah jembatan. Di dalam tumpukan kardus, dalam apa saja yang ditemui dan bisa ditiduri. Dia tidak berani menatap kesepian, teman satu-satunya hilang, meruap menjadi utuh dalam kegelapan. Dia kehilangan bayang-bayang. Meski lampu kota berusaha menghadirkan, tetapi tetap saja tak sempurna. Cacat dan palsu.
Meski demikian, besok pagi-pagi dia akan bangun, senang dirinya menatap terbit matahari, pertanda kawannya akan datang lagi memenuhi janji. Utuh dan Asli.
YOU ARE READING
Malam Ganjil Seno
General FictionKumpulan Cerita Pendek Tentang Hidup dan Pergolakan Pemikiran