Kutikamkan saja belati itu tepat pada jantungnya, meski darahnya muncrat tepat di wajahku. Aku tidak peduli. Apa naas, dia memang harus menerima ini. Pembalasanku, pembalasan atas semua yang telah dia lakukan kepada aku. Hidupku.
Aku melakukannya berkali-kali hingga dia tidak lagi bergerak, atau sedikitpun tak terdengar suaranya yang mengerang. Tenggorokannya sudah tak dilalui udara, nafas terakhirnya berakhir bersamaan dengan tikamanku yang ke dua belas. Dadanya hampir jebol, koyak oleh banyaknya tikamanku.
Aku tak merasai jijik ataupun takut, semua terasa datar dan biasa saja. Malah aku rasai kegembiraan, kepuasan dan orgasme batin. Aku menang dan aku berhasil menghabisi laki-laki itu.
Sore belum mulai genap, langit orange dengan mendung disebelah barat menutup matahari. Lumpur menempel diseluruh badanku, sisa pergumulan dengan bajingan yang ternyata tidak begitu kokoh seperti yang kutakutkan sebelumnya. Wajahnya yang garangpun juga tak lagi tampak saat aku menghardiknya. Saat sendiri aku rasai dia tak lebih dari seorang pecundang. Tapi siapa peduli. Dia harus mati hari ini. ditanganku, ya ditanganku.
Kurebahkan badanku di gundukan tanah, sesaat setelah mayat bangsat itu aku dorong dengan tangan dan kakiku karena menindih tubuhku. Kuraba rokok yang aku selipkan disaku kantong baju, tidak ada. Mungkin jatuh saat bergumul tadi, saat aku terjerambah karena tendangannya.
"Sial!" batinku. Sebungkus rokok yang baru saja aku beli harus lenyap karenanya. Kupandangi samping kanan dan kiri, terlebih bekas pijakan saat aku jatuh aku amati dengan seksama dari yang lainnya. Siapa tahu memang benar terjatuh saat aku ditendangnya. Tidak ada. Tidak ada sama sekali. Mungkin tertindih lumpur, atau terinjak dan basah masuk kedalam kubangan air. Aku malas mencarinya. Toh rokok yang aku harapkan akan mampu mengusir bau anyir yang aku takuti ternyata tak kubutuhkan pula. Aku tak merasa mual oleh bau darah si bangsat itu. Dan aku tidak terlalu gugup. Aku biasa saja, atau mungkin memang menikmatinya.
Aku tersenyum. Belati ku masih menancap didadanya, warnanya kemerahan, darahnya memantulkan cahaya samar jingga. Gradasi warna yang menarik. Dan aku masih malas untuk beranjak, aku tidak peduli kalau-kalau ada orang yang lewat. Balik dari ladangnya untuk pulang karena sebentar lagi malam. Aku benar-benar tidak peduli.
Kau ingin tahu siapa yang aku bunuh ini ?
Sebentar, aku tidak mau buru-buru. Mungkin kau akan megira bahwa aku laki-laki pula disini. Aku perempuan. Dan mungkin sekarang pikiranmu akan sedikit menerka lagi, alasan kenapa begitu banyak tikaman yang harus aku sematkan untuk membunuhnya, mengoyak jantungnya. Mungkin kau akan mengira bahwa aku membunuh si bangsat itu karena dia memperkosaku, atau membunuh keluargaku, suamiku? ayahku atau ibuku? Atau anakku? sabarlah sebentar! aku masih lelah untuk bercerita soal kisah yang menjadikan aku begitu berhasrat membunuhnya. Akan cukup panjang nantinya, dan saat ini tak ada air yang bisa kuminum. Tenggorokanku benar-benar kering.
Langit sudah tak bercahaya, mari kita pergi. Biarkan saja mayat si bangsat ini tergeletak disini dengan belatiku. Nanti malam atau besok pasti juga bakalan ada yang menemukannya. Penduduk kampungnya masih suka mencari, toh ini juga jalan menuju ke ladangnya, orang yang mencarinya tentu akan melewati jalan ini. bukankah begitu ? tidak begitu sulit.
"Bantu aku berdiri!"
Kau tidak mau? takut oleh darah yang mulai kering ini? kau takut akan tertular dosa? dosa tidak menular, atau menurun seperti agama.
Baiklah, tak masalah.
Aku mengerti, kau masih jijik dengan hal ini. mungkin kau hanya belum terbiasa saja, meski aku juga begitu. Ini pengalaman pertamaku. Ternyata tidak begitu mengerikan seperti yang aku bayangkan. Bahkan aku tidak peduli lagi pada rokok yang aku telah persiapkan untuk melawan gelisahku. Lihatlah, aku tetap tersenyum dari tadi. Kecuali saat aku terlempar oleh tendangannya yang pas di ulu hati. benar-benar ngilu kalau kau tahu. Aku sarankan, kau harus hati-hati dengan itu jika suatu kali kau berkelahi. Rasanya benar-benar membuatmu penuh, seperti diremas oleh tangan tangan raksasa.
Tak perlu terus melihatku seperti itu, aku masih manusia sama sepertimu.
Nanti kita akan berbicara setibanya di rumahku. Dan aku tidak akan membunuhmu. Dan kau cukup tahu itu.
Aku melangkah, dan aku berharap bayanganku jatuh diwajahnya. Tetapi tidak. Gelap lebih hebat dari bayanganku.
YOU ARE READING
Malam Ganjil Seno
General FictionKumpulan Cerita Pendek Tentang Hidup dan Pergolakan Pemikiran