Kau masih memainkan batang rokok dengan bibirmu, aku sebal atas itu. Tapi tak aku katakan padamu. Karena kau selalu akan berkata padaku bahwa hal itu membahagiakanmu.
Aku tak ingin merampas kehendakmu untuk bahagia.
Kakimu selonjoran, sepatu boot yang kau kenakan mulai kusam. Tak lagi segar seperti pertama kali aku membelikannya untukmu. Kado ulangtahunmu. Meski kau tidak peduli hari-hari yang istimewa bagiku, ataupun harusnya bagimu. Kau akan selalu sinis berkata bahwa waktu tidaklah ada, waktu tidaklah berlaku dan maju. "Manusia yang berubah bukan waktu!" katamu saat itu. Seperti biasa. Aku tidak begitu paham apa maksudmu. Mungkin kau memang lebih cocok bercinta dengan buku-buku tebalmu daripada bersamaku.
"Pernahakah kau memikirkan aku ?" ingin sekali aku ulangi pertanyaan itu padamu, ingin sekali aku tahu apa yang ada dalam isi kepalamu tentang aku. Selain kepesimisan dan kekosongan yang selalu kau sangkal dengan teriakan lantang bahwa inilah kebenaran. Kupikir kau mulai sakit jiwa. Dan kupikir juga aku juga sedang sakit jiwa dengan mencintaimu. Jiwa-jiwa yang sakit. Jiwa-jiwa yang ingin berkuasa atas sesuatu. Kau menghendaki kebebasan dirimu, sedang aku menghendaki dirimu pula. Meski terkadang aku haruslah sinis dengan sikapmu, bukankah aku sudah menderita karenamu. Tak berbaik hatikah ?
Kau melirikku, aku mengerti. tandanya kau ingin menyalakan rokokmu. Aku mengangguk. Memberikanmu ijin untuk membuatku harus menaksir-naksir soal asmaku. Aku tak mau marah padamu. Toh kau selalu meminta ijin padaku saat kau akan menyalakan rokokmu.
Asap rokokmu mengepul, sekali-kali kau mengibasnya saat asap itu terbawa angin datang kearahku. Aku masih tidak mengerti jalan pikiranmu, begitu juga dengan perasaanmu. Apa memang sedingin dan sedalam itu. Hingga suara yang aku sampaikan padamu butuh waktu yang begitu lama untuk kau menyadarinya. Kau tahu ? aku benar-benar hilang saat mencintaimu.
Adakah kau punya tawaran yang menarik ?
Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya dengan nada yang cukup untuk membuatmu menoleh padaku, menghentikan sesaat hisapan rokokmu. Mata kita beradu, mata gelap dan tak tersentuh itu. Aku melihat dunia sekaligus kehancuran secara bersamaan saat aku menyelaminya.
Kau menggeleng. Dan itu artinya tidak ada. Tapi aku ingin mendengar kau berkata-kata, sepatah pun tak masalah. Aku ingin mendengar suaramu. Aku ingin mendengar intonasi berat yang biasa kau suguhkan padaku saat kau membaca puisi-puisi seperti di panggung taman kota sebulan yang lalu. Tak sadarkah ? sesederhana itu aku bisa bahagia oleh tindakanmu.
Kau tak membacaku, atau mungkin kau memang tak menemukan huruf dalam hidupku. Aku akui memang aku tak sepandai dan sedalam dirimu dalam memeluk dunia. Tapi tak bisakah kau jujur pada dirimu sendiri akan perasaan. Apa kau benar-benar menekannya untuk melawan kehidupanmu? Karena aku masih tidak percaya ada manusia seperti itu. Tidak mempercayai Tuhan adalah perkara lain yang tidak bisa disejajarkan dengan hakikat manusia bukan. Dan jangan kau ucapkan soal hakikat yang dibentuk oleh realitas-realitas semu yang diciptakan manusia demi kebutuhan dan kebenaran yang dipaksakan. Karena tidak tahu. Yang pasti saat ini aku benar-benar mencintaimu. Dan aku sudah belajar menjadi lebih baik kurasa untuk tak menyentuhmu. Meski ingin.
Baiklah, aku akan duduk disini menemanimu sampai habis sebatang rokokmu, sampai habis senja terkahir bulan Mei ini. Karena aku merasai cinta masihlah takdir yang tidak dapat kita ganggu gugat kelahirannya. Seperti keberadaan dirimu yang sedang duduk disampingku.
%
YOU ARE READING
Malam Ganjil Seno
Narrativa generaleKumpulan Cerita Pendek Tentang Hidup dan Pergolakan Pemikiran