Harusnya dia sudah datang hari ini, mengetuk pintu dibelakang rumah dengan pakaian penuh lumpur seperti biasanya, tetapi hari ini dia tidak muncul. Langit begitu gelap, mendung Januari memang mengerikan juga mengesankan. Ada kebahagiaan dan perasaan mencekam dari kegelapan yang dilahirkannya, dan itu berhasil kurasakan hari ini, saat bapak tidak juga kunjung pulang.
Aku menunggunya, duduk di tangga batu yang dulu bapak bikin sendiri. Tanpa semen dan hanya menggunakan tanah liat dan kerikil sebagai perekat. Mataku kuedarkan kesekeliling, diantara semak dan pohon pisang yang menjuntai lebat. Tetapi pandangku lebih banyak kepada jalan setapak yang menembus rerimbunan itu, berharap muncul laki-laki yang kutaksir sekarang berumur lebih dari tujuh puluh tahun, renta dan berkeriput. Kulitnya hitam dipanggang matahari, urat-urat nadinya menyembul. Ototnya kaku terbentuk, meski tidak tampak segar. Dan biasanya dia pulang dengan memanggul cangkul dan menaruh sabitnya di selempang pinggangnya.
Tetapi hari ini dia belum juga pulang.
Adzan maghrib sebentar lagi terdengar. Diamana dia berada. Aku cemas, bukan karena nasi dan sayur yang mulai dingin atau sambal trasi yang mulai tidak lagi segar seperti pada waktu aku siapkan, tetapi karena dia terlambat datang. Dia terlambat untuk aku lihat dari waktu biasanya.
Isu di kota membuatku semakin begidik, semakin cemas akan sosok satu-satunya yang aku miliki. Aku lebih suka jika dia terlambat kali ini karena jatuh atau sedang menunggu jatah untuk mengalirkan air ke sawah kami. Aku berharap demikian, meski itu juga tidak biasanya. Dia akan selalu bilang setiap kali mendapatkan jatah untuk mengaliri sawahnya, dan pamit padaku. Semoga bukan karena isu penangkapan sepert di kota. Aku berharap.
Aku kembali ingat percakapan pedagang sayur dan pembeli waktu berbelanja dua hari lalu di kota, tentang adanya kudeta di Ibukota. Penangkapan orang-orang yang dibilang aktivis atau simpatisan PKI. Banyak pegawai kereta api di Stasiun Purwosari, Balapan Solo, buruh pabrik gula di Gondang dan Colomadu juga banyak yang ditangkapi. Mereka di ciduk disembarang tempat. Aku mendengarnya begidik, meremang mengetahuinya. Ditambah wajah mereka yang gelisah saat membicarakan suaminya yang telah menghilang. Entah kabur atau telah menghilang karena diciduk aku tidak tahu.
Kata mereka, tentara sudah punya nama-nama dan bahkan tidak peduli jika sekalipun orang yang diambilnya itu tidak terdaftar dalam deretan list nama yang tidak ada di dalam daftar. Mereka akan tetap menciduknya atas dasar kata yang diucapkan orang dalam daftar nama-nama. Dan sekarang aku mengkhawatirkan nasib bapakku. Laki-laki tua yang dulu bekerja di pabrik tebu.
Aku ingin menyusulnya ke Sawah, tidak sampai lima belas menit jika aku berlari untuk sampai kesana. Daripada aku menunggu, disiksa dengan gelisah yang tak menentu. Tetapi apa aku bisa kesana? Maghrib telah tiba dan dedemit, mahluk halus penikmat malam pastilah telah keluar dari sarangnya. Sore bukankah waktu paling membahagiakan dan sempurna bagi mereka? Waktu terbaik untuk menyurup dan mengganggu manusia. Terlebih pada perempuan yang sedang datang bulan sepertiku. Belum lagi kusadari dirumah tidak punya senter untuk menuju kesana. Tintir pastilah mati jika aku bawa sambil berlari, kalaupun berjalan.......ah belum sempat aku memikirkannya, mendung yang semakin berat dan gelap telah meneteskan air bersamaan dengan bunyi geluduk pertama.
Aku masuk, meringkuk dalam kursi dapur setelah menyalakan lampu tintir, berharap bapak segera datang. Segera pulang dengan cangkul dan sabitnya. Terserah dia penuh lumpur atau penuh darah sekalipun. Aku mau dia pulang.
%
YOU ARE READING
Malam Ganjil Seno
Fiksi UmumKumpulan Cerita Pendek Tentang Hidup dan Pergolakan Pemikiran