Pena

706 48 3
                                    


Kap mobil depan ayahku terbuka, uap dan asap mengepul keluar lalu menghilang. Ayah terbatuk sebentar karena tanpa sengaja asap menerpa wajahnya. Dia menggulung lengan kemeja kelabunya lalu terlihat memutar sesuatu dari dalam mesin mobil.

"Bagaimana, yah?" tanyaku.

"Air radiatornya kering, ayah lupa mengisinya waktu berangkat tadi." Ayah menepuk jidat lalu melepas kacamata dan mengusapnya dengan kemejanya karena berembun setelah terkena uap.

Tanpa diperintah aku bermaksud mengambil air minum dari dalam mobil namun dari balik jendela mobil, ibu mengulurkan botol air besar sambil menggoyangkannya, "Ayahmu itu sudah pikun, Rendra.”

Aku tersenyum dan mengambil botol itu dan segera menyerahkannya pada ayah. Mobil kami berhenti di jalan yang tidak terlalu ramai. Jalan aspal sempit dan lurus tanpa kelokan dengan sawah-sawah disamping kiri kanan. Kami bertiga berniat menuju Bandung dan ayah memutuskan untuk melalui jalur alternatif. Ini tidak terlalu buruk, setidaknya sambil menunggu mesin mendingin, aku bisa bersantai di pinggir jalan di samping sawah.

Aku mengambil sebuah buku yang sejak tadi kubaca selama perjalanan dari dalam mobil lalu duduk di atas rumput di bawah pohon, menikmati semilir angin dan mulai membaca. Aku tertarik dengan sejarah, itulah kenapa sebagian bukuku banyak bercerita tentang kejadian masa lalu. Dan saat ini, aku sedang membaca karya fiksi berlatar belakang kejadian nyata bersejarah, Bandung Lautan Api.

Ayah mendapat tugas baru di Bandung dan itu membuatnya harus pindah ke sana. Beliau memutuskan untuk membeli rumah di sana dan membawa aku dan ibuku serta. Ayahku bekerja sebagai guru sejarah dan entah bagaimana dia harus mengajar di sebuah SMA di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Aku sendiri sudah lulus SMA setahun yang lalu tapi aku menunda kuliahku dan karena kepindahan keluargaku ini, aku memutuskan untuk kuliah di sana.

Setelah beberapa saat, kudengar ayah mulai meyalakan mesin mobil, akupun kembali masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang berdesakan dengan barang-barang yang kami bawa. Sudah lima jam sejak keberangkatan kami dari Solo pagi tadi dan sepertinya perjalanan masih sangat jauh. Ayah mengemudikan mobil sedangkan ibu duduk disampingnya sambil melihat gambar-gambar di layar ponselnya, sepertinya foto sebuah rumah.

Ibu menoleh ke padaku yang duduk di belakangnya, menyibakkan rambut ikalnya yang panjang sebahu dan menunjukkan gambar di layar ponselnya padaku.

"Lihat, Rendra. Ini rumah baru kita nanti di sana." kata ibuku sambil tersenyum.

"Untuk apa kau tunjukkan padanya, sayang, toh nanti kita akan melihatnya sendiri." kata ayahku. Pandangannya tak pernah lepas dari jalanan.

"Biar saja. Aku hanya ingin tahu apakah anak kita akan menyukainya atau tidak."

Aku mengambil ponsel ibuku dan melihat beberapa foto disitu, foto rumah bergaya lama dan klasik bercat krem dengan teras marmer kelabu dan kursi depan dari rotan. Beberapa diantaranya menunjukkan keadaan di dalam rumah.

"Ini bagus, bu." komentarku singkat.

"Pasti kau akan suka, Rendra." kata ayah. " Temanku yang memilihkannya, dia tahu benar seleraku dan tentu saja aku tahu selera anakku sendiri."

"Kita lihat saja nanti." aku mengembalikan ponsel ke ibuku dan kembali sibuk dengan bacaanku. Jujur saja, sepertinya aku akan suka rumah itu.

...

Sudah sejam yang lalu kami tiba di rumah baru kami di Cimahi, Bandung. Ayah dan ibu sedang duduk bersama teman ayah di ruang tamu dan bercerita macam-macam tentang pekerjaan dan tentu saja tentang sejarah rumah ini dan pemilik sebelumnya. Ruang tamunya bagus, kursi lama dari kayu jati hanya sudah tersentuh modernisasi dengam tambahan bantal empuk berwarna merah sebagai alas duduk. Ditengah ruangan, tergantung lampu gantung dengan rantai berwarna kuning dengan ukiran relief, sejenak aku seolah dibawa ke masa lampau.

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang