Coretan

124 23 19
                                    

Bandung, 29 Nopember 1945

Aku memang jarang berada di rumah, waktuku lebih senang ku habiskan di tempat kerja ku. Seperti saat ini, meski banyak teman-teman sesama perawat yang pulang ke rumah, aku dan beberapa perawat lain tetap berada di barak kesehatan untuk bersiaga. Apalagi beberapa korban dari pejuang yang menempati bangsal-bangsal masih membutuhkan perawatan khusus.

Ini sudah cukup larut, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku duduk bersama beberapa teman di ruang obat selepas berkeliling memantau keadaan para korban.

Aku tak menyangka tiba-tiba Sang Tentara datang menemui saat itu. Masih mengenakan seragamnya, dia datang membawakan pakaian hangat untukku. Teman-temanku yang melihat gelagat Sang Tentara, pamit diri beralasan akan kembali bersiaga dan meninggalkanku bersama Sang Tentara.

Dia menanyakan hal tentang perjodohan kami, sesuatu yang membuatku terkejut dan tidak bisa kujawab saat ini.

Aku mengalihkan pembicaraan dan bertanya tentang ultimatum sekutu yang harusnya jatuh pada hari ini. Dia bilang, "jangan khawatir, para tentara sudah bersiaga sejak pagi tadi hingga beberapa waktu ke depan."

"Syukurlah kalau begitu," kataku. "aku akan kembali memeriksa kondisi para korban."

"Tunggu!" dia meraih lenganku. Sebelumnya belum pernah ada satu lelaki pun yang pernah melakukan itu padaku dan itu membuatku tak nyaman.

Aku menggerakkan lenganku memberi tanda bahwa dia harus melepaskannya, tapi dia tetap memegang lenganku. Aku tidak berani menatap wajahnya, membayangkan seperti apa raut wajahnya saat ini.

"Apa ini tentang pemuda dari badan milisi itu?" tanya Sang Tentara.

"Maaf, saya harus pergi." aku melepaskan genggamannya dengan sebelah tangan lalu meninggalkannya.

...

Bandung, 4 Desember 1945

Aku meninggalkan tempat kerja sejak menjelang sore hari dan kini aku bersama Sang Pejuang. Sebelumnya aku tidak tahu kemana dia akan membawaku, tapi aku menurut saja. Dengan perasaan bahagia karena tanganku terus dituntun olehnya, berjalan berdua menyusuri jalanan Kota Bandung yang kini sedang dirundung mendung dan tidak terlalu jauh dari tempat ku bekerja.

Ternyata dia mengajakku ke sebuah taman yang sudah tak terawat. Sebuah taman kecil yang jauh dari keramaian di depan bangunan-bangunan tua kosong peninggalan Belanda yang temboknya masih kokoh namun atapnya telah hancur dan roboh. Sebagian masih ada yang layak dihuni namun dibiarkan kosong begitu saja. Jalanan di depan taman pun tak ada seorang pun yang terlihat melewatinya. Beberapa bangku kayu bercat putih kusam sudah tak bisa dipakai karena kaki-kakinya telah patah seolah merasa terlantar dan merindukan orang-orang yang dulu mendudukinya. Air kolam di tengah taman hanya seperti kubangan sisa hujan yang tertinggal karena sebagian menguap tertelan surya. Kenapa dia mengajakku kemari?

"Dulu tempat ini sangat nyaman dan ramai." katanya sambil menatap ke arah onggokkan bangku taman yang hancur. "Sebelum Jepang datang dan menghancurkan segalanya."

Aku menatap wajahnya, matanya yang biasanya tajam kini menyiratkan kesenduan. Tangannya semakin erat menggenggamku lalu menuntun hingga kami duduk di atas rerumputan yang telah meninggi tak terawat.

"Apa kamu dulu sering kemari?" tanyaku.

Sudah beberapa lama ini kami saling memanggil dengan 'aku-kamu', tidak lagi 'saya-anda'. Dialah yang memulai terlebih dahulu dan membuatku semakin nyaman.

"Ya. Dulu banyak pedagang di jalan itu, aku suka sekali saat bapak membelikan aku sate ayam dan gulali." senyum terukir di wajahnya membuat sorot mataku selalu tertuju pada wajahnya.

Dia melirik padaku, "Hei, aku sedang menunjukkan padamu jalanan itu. Tapi kau tidak memperhatikannya malah melihatku."

Aku tertunduk dan tersipu karena diam-diam memandang wajahnya dengan lekat.

"Kalau kolam itu bagaimana? Apakah dulu terlihat indah?" tanyaku.

"Dulu airnya selalu terisi penuh dengan ikan-ikan berenang di dalamnya. Orang-orang Belanda yang membuat taman ini, mereka ingin membuat tempat seperti di negara asal mereka. Tapi setelah Jepang datang, seluruh tempat menjadi medan pertempuran."

"Sejak dulu ayahku tidak pernah mengajakku kemana-mana." kataku.

"Berarti kau harus berterimakasih padaku karena telah mengajakmu kesini."

"Iya, tapi tamannya sudah berantakan seperti ini." kataku dengan nada pura-pura kecewa. Dalam hati aku sangat senang, kemanapun asal bersama dengannya.

"Hahaha. Jangan kecewa begitu. Lihat! Setidaknya rumah-rumah di seberang taman itu masih terlihat indah."

Kami berdua pun saling bercerita tentang segalanya, entah tentang apapun itu bisa membuatku tersenyum dan tertawa.

Mendung yang sedari tadi menggelayut kini meneteskan buliran air hujan. Setitik demi setitik tanpa lama hingga menderas. Dia menarikku ke salah satu bangunan yang atapnya masih terlihat utuh di seberang taman namun pintunya sudah terlihat remuk sebelah, kami pun berteduh di dalamnya.

Di dalam rumah ternyata masih terdapat beberapa benda seperti meja dan kursi kayu yang masih bagus dan kokoh meski sudah berdebu. Mungkin pemilik sebelumnya yang orang Belanda tidak akan bisa membawanya. Beberapa bagian pada lantai terlihat kotor dan basah terkena tetesan hujan dari atap yang bocor.

Dia membersihkan debu pada salah satu kursi kayu panjang dan menyuruhku duduk di sana. Hujan deras dan langit yang gelap membuat suasana di dalam rumah terlihat kelam. Dia berjalan ke arah jendela dan melihat keluar melalui kaca.

"Kalau hujan deras begini bisa-bisa malam nanti baru reda." katanya lalu menghampiri dan duduk di sebelahku.

"Tidak apa-apa, setidaknya kita kering di sini." jawabku.

Aku memandangi keadaan di dalam rumah ini, bentuknya bagus dan indah. Dindingnya berbekas persegi-persegi dalam jumlah banyak, pasti dulu disana digantungkan beberapa foto atau lukisan.

"Aku ingin memiliki rumah seperti ini." kataku padanya, namun dia diam saja.

Saat aku menoleh, rupanya dia sedang menatapku dengan lekat. Sorot mata itu yang sejak pertama kali dulu sudah menambatku begitu juga kali ini. Mulutku terkunci rapat saat wajahnya mendekat padaku. Aku memejamkan mata saat merasakan lembut bibirnya menyentuh bibirku dan seolah seluruh pusat syaraf di tubuhku berpusat pada bibirku, hingga tubuhku seperti tak merasakan apapun dan hanya merasakan saat dia mendekap pinggulku.

Dia menarik tubuhku agar mendekat dengan sangat lembut, namun bagiku tarikan itu seperti daya luar biasa yang menarikku untuk lebih mendekat padanya. Sentuh-sentuhan lembutnya yang seolah menelanjangi seluruh tabir jati diriku dan memasrahkan segalanya.

Aku tak menyangka, pengalaman ku pertama kali merasakan romantisme akan dibarengi dengan erotisme. Namun ternyata dia bukanlah pria yang sejahat itu, sesaat sebelum segalanya berlalu dia melepaskan bibirnya dan menyentuh wajahku. Aku membuka mataku dan menatapnya, senyuman yang terulas di wajahnya memabukkan ku. Aku mendekap, memeluknya dengan erat. Ingin rasanya aku selalu seperti ini bersamanya, namun kekahawatiran selalu menyelimuti ku.

Hujan semakin deras dan udara semakin dingin, namun aku dengannya semakin hanyut dalam kehangatan.

...

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang