Puisi

148 20 16
                                    

Aku berlari keluar dari kamar, api yang menyala jingga menyambutku. Rumahku bagai tungku yang membara dan api melahap semua. Aku berlari keluar dan disambut ledakan yang menghempaskan tubuhku. Peluru-peluru tembaga berseliweran di atas kepala membuat aku harus merangkak menjauh.

Seseorang meraih tanganku, wanita itu. Wajah dengan senyuman sejuta misteri menatapku sambil membungkuk di depanku. Tapi aku merasakan kakiku terbakar, dan kulihat kakiku sudah menjadi arang. Kembali aku berpaling padanya, tubuh wanita itu luluh menjadi abu dan hilang tersapu angin. Aku hanya menggenggam udara.

Brak!

Lampu belajar roboh menimpa kepalaku karena tersenggol tangan. Aku terbangun dari tidurku dengan posisi duduk di depan meja.

"Mimpi yang aneh." gumamku.

Aku masih mengantuk dan hendak membaringkan tubuh di atas ranjang, namun waktu kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi dan sebentar lagi subuh. Rupanya lama aku tertidur di depan meja, badanku terasa pegal.

...

Siangnya sepulang dari bekerja, ayah mengajakku ke sebuah kantor perusahaan dimana temannya bekerja. Sebenarnya aku ingin beristirahat di rumah karena badanku terasa sakit karena cara tidurku semalam, tapi aku sudah berjanji.

Rupanya tempat bekerja teman ayah tidak jauh dari perpustakaan umum yang kemarin aku datangi. Kembali terbayang wajah wanita yang kemarin kulihat, mungkinkah aku bisa bertemu dengannya?

Aku dan ayahku menunggu di dalam mobil di tempat parkir, entah kenapa tidak menyuruh kami masuk saja ke gedung utama. Aku yang bosan menunggu keluar dari mobil dan sekali lagi, tanpa sengaja aku melihat dia lagi. Wanita itu, dia yang semalam di mimpiku atau yang mirip di mimpiku. Kali ini dia keluar dari gedung bersama seorang pria yang lebih tua, berjalan berdampingan sambil berbicara dan menggerakkan tangannya sebagai bahasa tubuh. Jarakku dengannya yang berjauhan membuatku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Sesekali mereka tertawa, sepertinya keduanya bekerja di kantor itu.

Lalu mereka berdua berpisah dan melambaikan tangan. Wanita itu menjauh, ingin aku mengejarnya dan bertanya namun tiada keberanian dariku. Sepertinya dia lebih tua dariku, mungkin berumur kepala dua. Dia menuju sebuah mobil berwarna merah sedangkan pria yang bersamanya berhenti berjalan lalu mengangkat telepon genggam yang sedari tadi digenggam olehnya, berbicara sambil menengok kanan kiri.

"Dendy!" teriak ayah yang keluar dari mobil lalu melambai ke pria yang tadi menelepon, rupanya ayah juga sedang memegang telepon genggamnya.

Dengan setengah berlari, pria dengan rambut pendek beruban bertubuh tinggi itu menemui ayahku. Keduanya lalu bersalaman dan saling berpelukan pertemanan. Aku kembali mengamati wanita tadi, dia sudah berlalu mengendarai mobilnya.

"Bayu, sudah lama sekali kita tidak bertemu." kata pria itu pada ayahku.

"Ya. Untung aku menemukanmu melalui media sosial." jawab ayah.

Keduanya lalu tertawa-tawa dan ayah memanggilku untuk mendekat.

"Ini anakku, Narendra." ayah mengenalkanku pada temannya.

Tak lama kami bertiga pergi ke sebuah kedai kopi dan mengobrol disana. Mereka rupanya berteman saat SMA, ayah pernah bersekolah di kota ini bersama Pak Dendy sahabatnya dulu itu. Mereka berbicara banyak sedangkan aku hanya mendegarkan sambil menikmati kopiku.

"Oh, ya. Rendra, Pak Dendy ini dulu juga berkuliah di Universitas yang akan kau tempati nanti. Barangkali ada yang ingin kau tanyakan pada beliau ini." kata ayah padaku tiba-tiba.

"Ya, nak. Kalau ingin bertanya, tanyalah jangan malu-malu." kata Pak Dendy sambil tersenyum ramah.

Sejenak aku terdiam dan berpikir apa yang harus kutanyakan.

"Emmm. Maaf, Pak Dendy. Wanita muda yang tadi bersama anda keluar dari gedung lalu naik mobil berwarna merah itu siapa?" tanyaku.

Senyum di wajah ayah dan Pak Dendy tiba-tiba berubah.

"Rendra! Kamu malah bertanya apa, sih?" kata ayah. Rautnya berubah serius.

"Maaf." kataku.

Tak kusangka Pak Dendy malah tertawa.

"Tak apa. Wajar pria muda tertarik dengan wanita apalagi dia cantik." kata Pak Dendy.

"Bukan begitu, Pak." jawabku malu. Aku sungguh merasa malu tapi aku tak tahan untuk bertanya.

"Namanya Bu Dwi. Lebih cocok dipanggil Dwi saja mungkin karena umurnya tidak jauh denganmu, Rendra. Memangnya kenapa? Kamu ingin berkenalan?"

"Anu... Saya hanya memastikan apakah dia teman saya di media sosial atau bukan, soalnya wajahnya tak asing lagi." jawabku bohong.

"Ooh, pantas saja. Berarti aku tidak perlu mengenalkan kalian, dong." kata Pak Dendy menggodaku.

"Masalahnya akun media sosial saya tidak bisa dibuka lagi, Pak. Jadi saya tidak bisa menghubunginya." jawabku berbohong lagi.

Ayahku menepuk jidatnya dan menggaruk hidungnya sambil tersenyum dan memalingkan wajah melihat tingkah anaknya.

"Bukannya menanyakan soal kuliah malah bertanya wanita. Dasar." gumam ayahku.

Aku yang mendengarnya tersenyum dan meminum kopiku. Sedangkan Pak Dendy terus tertawa dan berkata pada ayahku bahwa anaknya sudah dewasa dan seleranya bagus, katanya. Kata-kata itu memancing ayahku ikut tertawa lalu mereka kembali bercerita tentang wanita-wanita masa SMA mereka dulu.

Kali ini aku ikut menikmati cerita mereka berdua dan sesekali ikut tertawa karena Pak Dendy juga menceritakan kekonyolan ayahku waktu dulu.

Lama kami saling ngobrol hingga petang dan pulang ke rumah masing-masing. Ayah memberitahukan alamat rumah kami dan Pak Dendy berjanji akan mampir kesana.

Dalam perjalanan pulang, ayah terus menggodaku tentang wanita yang tadi ku tanyakan. Aku hanya tersenyum dan menjawab sekenanya, setidaknya ada kelegaan di hatiku.

Jadi namanya Dwi. Tapi entah siapa nama wanita di diary tanpa nama itu.

...

Bandung, 7 Desember 1945

Karena terluka di kaki dan membahayakan jiwaku sendiri, ayah memarahiku dan namun dia tidak memintaku untuk pulang. Kita semua sama-sama tahu, inilah yang namanya berjuang. Ayah marah karena tidak seharusnya aku berada di sana. Meski masih berada di barak pengobatan, aku harus beristirahat dari bekerja. Setidaknya aku harus banyak-banyak duduk atau berbaring meski aku masih membantu menuliskan resep atau memilihkan obat untuk para korban sesuai laporan teman-temanku. Pertempuran kemarin menyisakan banyak korban, aku tak tega untuk benar-benar beristirahat dari bekerja.

Kedatangan Sang Pejuang yang menjengukku sewaktu aku sedang berbaring, membuatku merasa lebih baik. Aku lega dia selamat meski perban dengan noda merah melingkar membalut kepalanya. Aku mengusap wajahnya yang terlihat sedih melihatku. Aku berkali-kali berkata bahwa aku baik-baik saja dan akan cepat pulih, namun belum bisa mengembalikan keceriaan di wajahnya.

"Aku merindukan senyummu." kataku padanya.

Dia pun tersenyum meski sekejap dan mengelus kepalaku.

"Apakah itu masih terasa sakit?" tanyaku sambil menunjuk luka di kepalanya.

"Ini? Tidak terasa sakit sama sekali. Tenang saja, sudah diobati dan akan segera sembuh, kok." jawabnya.

"Sayangnya bukan aku yang mengobatimu. Apakah kamu menggoda perawat yang mengobatimu seperti yang kau lakukan padaku dulu?" tanyaku menggodanya.

"Ah - perawatnya sudah ibu-ibu, jadi aku malas menggodanya." jawabnya.

Aku memukul dadanya dan kami pun bercanda tertawa bersama. Tanpa sengaja sepintas kulihat Sang Tentara keluar dari tenda tempatku berada. Sepertinya tadi dia sudah lama berada di sana.

...

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang