Sampul Tertutup

158 25 17
                                    

Bandung, 24 Maret 1956

Sudah sepuluh tahun aku tidak menulis di catatan ini, sepuluh tahun pula hatiku merasa hancur dan kosong. Terbakar seperti Kota Bandung agar tidak kembali ditempati penjajah, hatiku pun terbakar dan tak bisa ditempati oleh siapapun. Hanya dia yang bisa mengisinya untuk selamanya hingga nanti melebur bersama tanah.

Masih teringat sepuluh tahun yang lalu, tanggal 23 Maret 1946. Sekutu kembali mengultimatum untuk segera menyerahkan senjata dan mengosongkan Bandung Utara. Namun gelagat mereka telah terlebih dahulu dicium oleh para pejuang dan tentara yang lalu memiliki rencana sendiri.

Sebelumnya mereka dibingungkan dengan dua perintah yang berbeda. Mendengar ultimatum dari sekutu, pemerintah pusat di Jakarta memerintahkan semua penduduk dan pejuang untuk mengungsi meninggalkan Bandung demi keamanan, tapi markas TRI yang berada di Yogyakarta menginstruksikan agar semua tetap bertahan. Mendengar perintah yang berbeda, maka para pejuang dan tentara mengadakan rapat dengan nama Majelis Persatuan Pejuang Priangan. Mereka memutuskan agar semua meninggalkan Bandung dengan sebelumnya membakar seluruh tempat tinggal agar tidak kembali ditempati penjajah. Merelakan harta benda dan kampung halaman. Para pejuang juga akan menyerang sekuat tenaga pada sekutu.

Aku mendengar semua rencana itu pertama kali darinya. Dia datang dengan kekhawatiran padaku namun dengan semangat perjuangan yang tidak pernah padam. Kulihat ada sedikit lebam pada pelipisnya, tapi dia berkata bahwa ia baru saja jatuh saat latihan.

Kami tahu bahwa kami akan berjuang bersama tapi tentunya - dia yang berada di garis depan. Dia memintaku berjanji untuk tidak berada di depan seperti waktu itu dan apapun yang terjadi aku harus mengutamakan keselamatan diri.

Aku mengatakan padanya bahwa dia pun harus kembali karena aku sedang mengandung anaknya. Waktu itu aku hanya ingin berbohong agar dia mempunyai semangat untuk hidup dan kembali, namun akhirnya aku mengetahui bahwa waktu itu aku memang benar-benar sedang mengandung buah hatinya meski umurnya belum ada satu bulan pada waktu itu.

Dia terlihat sangat senang dan memelukku meski hubungan kami bisa dikatakan masih terlarang. Dia menciumku berkali-kali, memelukku dan akupun membalasnya, seolah tidak akan bertemu dalam waktu yang lama. Kami tidak ingin terpisah sedetik pun saat ini.

Esok harinya pada tanggal 24 Maret 1946, sejak pagi hingga siang hari semua orang sudah berkumpul meninggalkan rumah-rumah mereka dan membawa harta semampunya. Mereka akan menuju ke penampungan di wilayah Bandung Selatan bersama seluruh keluarga mereka. Para pejuang dan tentara telah bersiap, begitu juga kami para perawat yang siaga di barak-barak pengobatan yang letaknya sudah dipindahkan.

Pada sore hari, ayah mendatangiku dan mengatakan jika setelah ini selesai agar aku segera menuju ke Bandung Selatan. Aku mengiyakannya, meski sebenarnya aku tidak akan kemana-mana sebelum aku bertemu kekasihku dan akan pergi bersamanya.

Aku tidak melihatnya sekalipun hari ini. Waktu kutanyakan pada sesama pejuang, aku diberitahu bahwa dia sudah mendapat tugas yang agak berbeda yang harus dijalankan terlebih dahulu. Dia bertugas untuk meledakkan gudang amunisi dan dia bersama temannya berencana menggunakan dinamit yang akan mereka curi dari gudang milik Jepang yang masih bertahan.

Ingin rasanya aku menangis, ketakutan yang hebat tiba-tiba melanda. Aku berdoa semoga dia kembali dengan selamat meski tugas yang harus dia jalani begitu berat, bagai misi bunuh diri.

Malam harinya, langit Kota Bandung Utara menyala. Terlihat dari barak-barak pengobatan bagai garis cakrawala jingga berekor merah menyala. Titik-titik bara melayang bagai jutaan kunang-kunang oranye berterbangan menyusul asap hitam pekat yang membumbung tinggi. Suara ledakan berkali-kali terdengar menggetarkan dada.

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang