Prosa

94 26 8
                                    

Aku masih menatap Dwi dengan rasa antara kaget dan malu. Rambutnya yang hitam disanggul rapi, dia mengenakan gaun berwarna putih.

"Hai, aku Dwi." katanya sambil mengulurkan tangannya.

"Narendra," jawabku menyambut jabat tangannya. "panggil Rendra saja."

"Pak Dendy yang mengajakku kemari, beliau bilang kalau putra temannya adalah temanku di media sosial." kata Dwi.

"Ah, itu..."

"Ya, ya. Aku tahu kau berbohong." katanya lalu tertawa.

"Maafkan aku." kataku.

Aku benar-benar merasa malu. Dwi rupanya sangat berbeda dengan wanita penulis diary itu. Tentu saja, dia bukanlah 'dia' meskipun wajahnya sama.

Dwi wanita yang ceria dan mudah sekali akrab, hanya dengan beberapa basa basi kami sudah akrab dan banyak bercerita. Aku duduk bersamanya sambil minum dan menikmati makanan, agak jauh dari orang lain yang sedang tertawa dan berbincang bersama.

"Maaf, Dwi. Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku.

"Hmmm." jawabnya dengan mulut penuh es krim sambil menganggukkan kepalanya.

"Apakah kamu punya keluarga yang dulu menempati rumah ini?"

Alis Dwi naik, lalu dia menelan es krim di mulutnya.

"Kurasa tidak ada, " jawabnya sambil menggelengkan kepala, "memangnya kenapa?"

"Tunggu di sini sebentar!"

Aku lalu berjalan menuju kamarku melalui pintu samping untuk menghindari orang-orang yang berkumpul di depan. Aku mengambil diary di atas meja di dalam kamar dan waktu membalikkan badan hendak keluar, ternyata Dwi sudah berada di depan pintu kamarku dan membuatku terkejut .

"Kan sudah ku bilang untuk menunggu di depan." kataku.

"Aku penasaran dengan rumahmu ini, seolah aku pernah ke sini sebelumnya." katanya sambil memandang di sekitar ruang tengah.

Aku mengajaknya duduk di ruang tengah, sungguh sebenarnya ini membuatku sedikit canggung karena baru beberapa saat tadi kami saling mengenal.

Kami duduk berdampingan, dia terus menatapku dengan penasaran dan beralih ke benda yang ku bawa. Aku membuka diary itu, mengambil foto hitam putih wanita yang serupa dengan Dwi lalu menatapnya. Selain gaya rambut dan sedikit makeup, mereka berdua benar-benar serupa. Aku lalu menunjukkan foto itu pada Dwi.

Seperti kebanyakan wanita saat terkejut - yang ku kira hanya ada di drama televisi -, dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan matanya melebar menatap foto. Lalu aku menceritakan padanya bagaimana aku menemukannya sampai aku menunjukkan diary yang lalu dibaca olehnya.

Aku memperhatikan ekspresi wajahnya saat dia membaca. Kadang sendu, kadang tersenyum dan sesaat berganti murung. Baru setengah buku dia membaca, tiba-tiba kami dikagetkan dengan kedatangan ayahku bersama Pak Dendy.

"Wah wah, pantas saja daritadi kalian berdua tidak kelihatan. Rupanya sedang berduaan di sini." kata Pak Dendy.

"Ayo ke depan dulu! Kita makan yang enak-enak dulu." kata ayah mengajakku dan Dwi.

"Iya." jawabku.

Kami berdua pun bangkit dari duduk dan segera ke depan untuk makan. Dwi berjalan masih membawa diary itu, sedangkan foto hitam putih itu sudah ku masukkan ke dalam saku celanaku.

Setelah acara selesai, semua tamu berpamitan, begitu juga Dwi.

"Rendra, bolehkah aku meminjam diary ini untuk kubawa pulang? Aku ingin menyelesaikan membacanya di rumah." katanya waktu berpamitan denganku.

"Tapi aku belum selesai..."

"Aku berjanji kita akan bertemu bahkan lebih sering bertemu lagi dan akan segera ku kembalikan." katanya memohon dengan wajah serius.

"Baiklah, tolong jaga dengan baik." jawabku.

Dwi tersenyum senang dan setelah saling bertukar kontak, dia pun pergi. Sebelumnya, ayahku dan Pak Dendy masih sempat menggoda kami berdua dan ibu yang tidak mengetahui maksud candaan ayah dan sahabatnya itu hanya kebingungan.

...

Sudah beberapa hari setelah kedatangan Dwi ke rumah dan kami semakin akrab dengan berkirim pesan dan menelepon. Dwi tinggal di daerah Padalarang, cukup jauh dari rumahku tapi bisa di tempuh dengan satu kali naik angkutan umum saja. Dia mengatakan padaku bahwa ingin mengajakku ke rumahnya. Dwi masih tinggal bersama kedua orangtuanya dan memiliki seorang kakak perempuan tetapi sudah menikah dan tinggal sendiri.

Hari ini Dwi mengajakku untuk bertemu dan dia bilang ingin menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan diary itu. Nada bicaranya di telepon terdengar datar, tidak seperti biasanya yang terdengar ceria. Adakah sesuatu di diary itu yang mengganggunya?

Tak lama kemudian, kami pun bertemu di taman umum terbuka di kota Bandung. Dia datang dengan senyum yang sesaat terlihat sama misteriusnya dengan senyuman wanita dalam foto itu. Mendatangi aku yang sudah menunggu lebih dulu di bangku taman.

"Sudah lama menunggu, ya?" tanya Dwi yang lalu duduk di sebelahku.

"Ah, tidak. Aku juga baru sampai." jawabku bohong.

Dwi melirik gelas plastik berisi kopi instan di sebelahku yang isinya sudah habis, dia tahu aku berbohong tapi entah kenapa dia hanya tersenyum.

"Ini ku kembalikan." Dwi mengulurkan diary itu padaku.

"Kau sudah selesai membacanya?" tanyaku sambil menerima benda berwarna kusam tersebut.

"Sudah, kok."

"Jadi, apa yang kau temukan?" tanyaku lagi.

Dwi berpaling dan memandang ke tengah taman, matanya menerawang dan mungkin saja pikirannya pun entah kemana.

"Bukankah kita seperti Si Perawat dan Sang Pejuang yang berduaan di taman?" katanya tiba-tiba.

"Tapi kita kan bukan pasangan kekasih, kalau kita berpacaran lalu kesini saat sepi maka akan sama dengan mereka. Lagian tidak ada kolam kali ini." jawabku.

Dwi berpaling melihatku sambil tersenyum, kali ini senyum ceria miliknya.

"Kau menggodaku, ya?" katanya sambil tertawa.

Aku hanya menggaruk kepala dan berpikir kata-kataku yang mana yang ia pikir kalau aku menggodanya.

"Bukankah mereka itu pasangan yang serasi, Rendra?" katanya lalu kembali menatap ke tengah taman dimana beberapa anak kecil bermain bersama teman dan orangtua mereka.

"Ya." jawabku singkat sambil menatapnya.

"Yang satu malu-malu, satunya lagi suka menggoda. Mereka saling mencintai dan berbagi meski dalam kesulitan." Dwi berbicara semakin aneh seperti orang yang meracau.

"Aku belum selesai membacanya, sepertinya itu bagian akhir dan halamannya habis, bukankah begitu?"

"Ya, bagian terakhir ditulis di hari yang sama namun menceritakan kejadian panjang selama beberapa hari. Kau harus membacanya di sini juga bersamaku." kata Dwi dengan wajah serius menatapku.

"Kenapa harus di sini?" tanyaku semakin tak mengerti maksudnya.

Dwi memejamkan matanya sejenak lalu kembali menatapku.

"Apa kau tidak merasa aneh begitu melihatku, Rendra? Aku dan pemilik diary itu punya wajah yang sangat mirip."

"Bagaimana kalau itu cuma kebetulan?"

"Rendra, jangan bercanda!" katanya sedikit kesal.

"Maaf."

"Aku pun terkejut dan merasa takut kenapa bisa begitu, lalu aku membaca diary itu dan mencari tahu siapa dia atau aku sebenarnya."

"Lalu?"

"Rendra..." Dwi lekat menatapku, "dia sebenarnya adalah nenek buyutku."

...

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang