Aku meraih foto sebesar telapak tangan orang dewasa yang dipegang oleh ibu dan melihatnya. Sebuah foto kusam hitam putih setengah badan yang memperlihatkan seorang wanita dengan rambut hitam disanggul dengan baju model lama berwarna cerah dengan renda-renda pada kerahnya. Warnanya sudah kusam, warna putihnya telah berubah menjadi cokelat muda.
"Mungkin dia pemilik barang-barang ini." kata ibu. Lalu dia melanjutkan melihat-lihat benda-benda yang lain.
Aku menyelipkan foto itu ke salah satu buku yang ku bawa setelah sebelumnya melirik pada ibu untuk mematiskan dia tidak memperhatikanku.
"Kalau begitu aku ke kamarku dulu, bu. Hanya menaruh buku-buku ini lalu aku akan kembali."
"Ya, cepatlah."
Siang itu kami berdua selain menata ulang ruang tamu dan tengah, kami juga membereskan gudang dan menatanya sedemikian rupa agar bisa digunakan sebagai ruang baca, ayah juga membantu setelah beliau pulang.
Malamnya, di kamar aku kembali dengan catatan harian yang ku temukan, aku sudah tidak sabar ingin membacanya lagi. Aku membuka catatan itu dan mendapati foto lama yang aku selipkan disana siang tadi. Aku mengamati foto wanita itu, matanya menatap ke arahku dengan tatapan teduh namun menusuk, seolah tersirat rahasia antara kesedihan dan kerinduan meski bibir tipisnya terulas senyum. Dagunya lancip selaras dengan bentuk wajah yang sedikit tirus dengan tulang pipi menonjol namun mungil dan alis hitam tebal bagai bulan sabit. Mungkin di dalam foto ini saat itu dia berumur sekitar duapuluhan tahun. Sayangnya aku tidak menemukan foto terbaru di rumah ini, bahkan satu foto lagi pun tidak.
"Rahasia apa yang kau sembunyikan?" aku bertanya pada foto itu seperti orang yang kehilangan akal.
...
Bandung, 20 September 1945
Ayah yang memang sudah menjadi tentara, setelah kemerdekaan kini mendapat tugas di salah satu komando ketentaraan di Bandung bernama Kodam III Siliwangi. Aku pernah bertanya pada beliau tentang satu nama, apakah beliau pernah mendengar nama itu di tempat beliau bekerja, namun nihil.
Ini sudah sebulan terakhir kali aku melihatnya dan dia berkata ingin menjadi tentara. Aku ingin tahu kabarnya sekarang, apakah dia berhasil menjadi tentara atau tidak. Jika iya, dimana dia akan ditugaskan. Sebelumnya aku merasa mendapat angin saat pemerintah membentuk markas di Bandung, karena sebelumnya dia hanya berkata tentang Jakarta dan Yogyakarta, namun ternyata tidak ada dia disana.
...
Bandung, 19 Oktober 1945
Inilah yang selama ini aku khawatirkan dan akhirnya benar terjadi. Sekutu kembali datang ke Indonesia dengan membawa banyak pasukan terutama Inggris. Mereka menduduki kembali wilayah mereka yang dulu direbut Jepang di daerah Dayeuh Kolot dan membebaskan para tawanan Belanda. Mereka, pasukan sekutu dari Inggris yang bernama Brigade MacDonald, menduduki Hotel Homman dan Hotel Preanger sebagai markas. Mereka bilang ingin bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia tanpa melakukan perlawanan dan meminta ikut terlibat dalam pemerintahan.
Mereka ikut mengusir Jepang dari tanah air namun bangsa Indonesia yakin ini hanyalah awal dari usaha mereka untuk kembali menjajah negeri. Mereka berusaha kembali mencengkeram kebebasan bangsa, menancapkan cakar-cakar mereka yang sebelumnya terlepas, mengeruk isi bumi nusantara dan menelannya. Kami para pejuang sama sekali tidak mempercayai mereka yang akan kembali mengikat kaki kami dengan rantai-rantai penjajahan.
...
Bandung, 1 Nopember 1945
Para pejuang kembali berkumpul, saat itulah aku merasa senang karena kembali melihatnya. Dia terlihat sehat dan itu membuatku lega meski hanya sedikit senyum yang terulas di wajahnya. Itu karena seluruh pejuang bahkan rakyat sedang berada dalam situasi genting dan semua merasakan kembali ketegangan.
Dia mendatangiku dan berkata, "Anda baik-baik saja, Nona? Sudah cukup lama kita tidak berjumpa."
Saat itu aku tidak bisa menyembunyikan senyumku untuknya. Aku mengangguk dan terus menarik sudut bibir sambil menatapnya, sesuatu yang belum pernah ku lakukan sebelumnya.
"Apakah anda berhasil masuk ketentaraan?" tanyaku padanya.
"Sayangnya saya menolak meski sebenarnya saya bisa bergabung."
"Kenapa?"
"Awalnya saya merasa senang saat pemerintah membentuk Kodam Siliwangi di sini, namun para tentara muda ku dengar akan ditempatkan di Yogyakarta."
"Kenapa anda tidak mau kesana?" tanyaku kembali. Sejenak aku akan merasa bahagia jika saja dia menjawab bahwa aku-lah alasan dia tetap berada disini.
Dia tersenyum, "saya masih betah di Bandung."
"Oh, syukurlah kalau begitu." aku sedikit kecewa mendengar jawabannya atau karena aku yang sebelumnya sudah merasa besar kepala dan menyangka akan mendapatkan jawaban yang akan membuatku tersipu.
Aku berpaling dan memandang ke lantai, entah hal bodoh apa yang ku lakukan ini. Aku kembali kehilangan keberanianku menatap matanya.
"Para tawanan Belanda yang dibebaskan melakukan hal yang buruk pada rakyat, mereka mengambil makanan semaunya bahkan beberapa wanita. Saya takut anda kenapa-kenapa, Nona."
Kata-katanya barusan membuatku kembali tersenyum dan memandangnya.
"Saya tidak apa-apa. Berada di wilayah tentara dan pejuang membuatku jauh dari perlakuan buruk mereka, namun rakyatlah yang harus dikhawatirkan."
"Saya masih menjadi milisi Barisan Rakyat Indonesia, jangan khawatir tentang itu. Kami masih sebisa mungkin melindungi mereka."
Hari itu kami berbicara banyak dan lama, entah baginya itu sebuah penawar rindu atau hanya obrolan biasa. Tapi bagiku, saat itu dia bagai menabur pupuk pada benih cinta yang sudah mulai berakar dan merayap menyelubungi hati seorang wanita.
Ku harap ayah membatalkan pembicaraan perjodohanku dengan putera koleganya. Kuharap...
...
Bandung, 7 Nopember 1945
Brigade MacDonald kembali berulah, hubungan dengan pemerintah pun menegang. Mereka memberi ultimatum pada para pejuang selain Tentara Republik Indonesia untuk menyerahkan seluruh senjata termasuk senjata hasil rampasan dari Jepang paling lambat tanggal 29 Nopember 1945. Mereka pun menyuruh agar Kota Bandung segera dikosongkan, para penduduk agar segera meninggalkan rumah-rumah mereka sebelum tanggal tersebut.
Pemerintah tidak ada yang mendukung sekutu, bahkan para tentara dan pejuang berniat melawan. Kami semua tidak ada yang mengindahkan perintah itu.
Namun disinilah kegelisahanku kembali muncul. Akan ada lagi pertempuran, korban nyawa dan harta. Tidak hanya dari pejuang, bahkan kali ini seluruh rakyat akan kembali terlibat. Ku kira perang dunia yang telah berakhir, berakhir pula pertempuran di tanah air.
...
Bandung, 18 Nopember 1945
Hari ini aku tidak bertugas, ayah mengajakku dan mempertemukan aku dengan seseorang, dia seorang tentara yang masih muda. Aku tahu dia adalah pemuda pilihan ayah untukku.
Kami berempat duduk di depan meja yang sama, aku di samping ayahku dan dia berhadapan denganku di samping ayahnya. Meski masih muda, dia terlihat berwibawa. Dia tidak canggung untuk berbicara dengan nada yang mantap pada ayahku dan ayahnya sendiri. Kadang mereka tertawa bersama lalu berubah serius apalagi saat membahas tentang sekutu.
Sebelumnya aku menolak pertemuan ini karena sedang berada di situasi yang tidak tepat, namun ternyata hari ini ayah hanya mengenalkan kami saja dan selebihnya, mereka justru berbicara tentang sekutu.
Aku tahu nantinya akan ada pembicaraan lagi dan ayah mempertemukan aku dengan tentara muda ini kembali, namun sesering apapun itu pikiranku selalu tertuju pada pemuda yang lain.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Tanpa Nama
Romance[Private; jarang nulis romance soalnya] Kepindahanku ke sebuah rumah di Bandung bersama orangtuaku, membawaku ke sebuah cerita pengalaman masalalu seseorang saat aku menemukan sebuah catatan harian tua di rumah tersebut. Catatan harian tanpa nama pe...