Kalimat

117 23 16
                                    

Bandung, 6 Desember 1945

Suara senapan-senapan yang menyalak memekakkan telinga. Desing peluru menembus daging, sebagian menabrak tembok, memecahkan kaca dan menancap di tiang-tiang. Dua kubu dari para pejuang Bandung serta tentara menghadapi serangan sekutu yang geram karena tidak ada yang mengindahkan ultimatum mereka.

Keberanian, ketakutan, kecemasan dan tekad menolong bercampur menjadi satu di pikiranku. Sebelumnya aku hanya mengobati korban yang ditandu dan dibawa ke bangsal, namun melihat banyak yang tak tertolong karena terlambat diobati, membuat aku memberanikan diri mendekati medan pertempuran bersama dengan para anggota palang merah yang bertugas di lapangan.

Aku terjatuh dan terluka di kaki saat sebuah ledakan terjadi di balik tembok di dekat aku sedang berlari. Telinga ku berdengung dan merasa linglung sedang pandanganku berkunang-kunang.

Aku merasakan ada seseorang yang mendekati dan sepertinya berkata sesuatu namun hanya dengungan tak jelas yang terngiang di telingaku. Aku merasakan orang ini menggendongku, mungkin menjauhi tempat itu, namun penglihatanku masih sedikit kabur. Lalu kudengar suara seseorang lagi yang mendekat. Kini samar-samar aku bisa mendengar, dia meminta pada penolongku untuk memberikan ku padanya.

"Biar aku yang menolong membawanya."

Sebuah suara yang ku kenal, ini suara Sang Tentara.

Penghlihatanku berangsur ikut membaik saat Sang Tentara mulai meraih tubuhku. Tapi aku tahu aroma tubuh ini, aku mengerjapkan mataku dan berpaling pada penolongku. Sesaat sebelum aku berpindah ke tangan Sang Tentara, aku melihat wajahnya. Penolongku itu rupanya kekasihku, Sang Pejuang.

Wajahnya yang kotor oleh debu dan jelaga mesiu menyiratkan kekhawatiran, namun dia berusaha tersenyum.

"Kau akan baik-baik saja." katanya sambil terus memandangku yang dibopong pergi oleh Sang Tentara hingga dia menghilang dari pandangan.

Ya, mungkin aku akan baik-baik saja, tapi bagaimana dengannya? Ingin rasanya aku turun dari dekapan Sang Tentara dan berlari kepadanya, namun aku merasakan sakit di kakiku.

...

Ayah memintaku untuk pergi ke perpustakaan umum di kota dan meminjam beberapa buku sejarah sebagai referensi untuknya mengajar. Dengan senang hati aku pergi ke sana karena disana aku bisa menemukan banyak buku yang bisa kupinjam.

Aku sudah berada di perpustakaan setelah sebelumnya mencari melalui peta elektronik. Bangunan yang besar berwarna putih bergaya lama terletak di tengah kota. Di dalamnya rak-rak buku berisi penuh berjajar dan tak jauh dari situ bangku-bangku dan meja baca disusun berderet-deret. Banyak orang yang sedang membaca, mereka saling berhadapan dan memunggungi karena susunan meja dan bangku yang diletakkan bersinggungan.

Aku segera berjalan ke arah rak-rak buku sejarah dan mencari buku yang harus ku pinjam. Agak lama kucari tapi belum juga menemukan buku sesuai permintaan ayah, malah aku beberapa kali tertarik dengan beberapa buku. Ada sebuah buku berukuran sedang dan cukup tipis dibandingkan dengan buku-buku sejarah yang lainnya. Buku itu berjudul : Fakta-fakta Peristiwa Bandung Lautan Api. Aku mengambilnya, mungkin nanti bisa ku baca di rumah untuk mendapatkan gambaran dari latar belakang diary yang ku baca.

Setelah cukup lama mencari akhirnya aku menemukan pesanan ayah. Ternyata buku itu terletak di deretan terbawah di bagian ujung rak.

Setelah membawa buku itu ke meja petugas untuk dicatat dan mendaftarkan identitasku, aku langsung keluar dari perpustakaan dan mencari angkutan umum.

Aku baru saja naik ke dalam angkutan umum dan duduk paling belakang dan saat aku melihat keluar melalui kaca belakang tak sengaja kulihat seorang wanita yang membuat aku terkejut. Wajah tak asing lagi bagiku, dia wanita yang ada di foto lama itu. Gaya rambutnya berbeda namun alis, mata, hidung hingga bibir sangat mirip dengannya.

Aku masih tak percaya dengan yang kulihat, dia sangat dekat dengan jendela belakang angkutan umum yang kunaiki dan seperti akan menyeberang jalan. Mengenakkan pakaian pekerja kantor berwarna merah dengan sepatu hak tinggi berwarna merah pula. Rambut panjang sebahu membuatnya lebih cantik dan dia terlihat lebih muda dari wanita yang ada di dalam foto.

Siapa dia? Apakah masih ada hubungan keluarga dengan pemilik catatan harian?

Saat aku bertanya-tanya pada diri sendiri, angkutan umum yang membawaku sudah mulai berjalan menjauh. Dia pun sudah berjalan ke seberang dan menghilang. Sepanjang perjalanan ke rumah aku terus bertanya-tanya.

...

Selepas makan malam, aku, ibu dan ayahku duduk bersama di ruang tengah sambil menonton televisi. Ayah bercerita tentang keseharian di sekolah barunya, ada anak yang bandel dan murid-murid perempuan yang genit. Ibu pura-pura jengkel dan marah lalu mengingatkan ayah, "awas ya kalau ada berita murid wanita pacaran sama gurunya."

"Hahaha, berarti ayah masih kelihatan ganteng, dong." jawab ayah.

Lalu mereka saling melempar bantal kursi, ibu dengan ekspresi kesal sedangkan ayah tertawa-tawa. Jika ada yang melihat mungkin tidak akan percaya aku adalah anak mereka, kata orang aku terlalu pemalu.

"Oh, ya. Ayah tahu pemilik rumah ini sebelumnya kemana?" tanyaku membuat mereka menghentikan aksi lempar bantal.

"Kata Pak Danur- sih, mereka ke luar negeri. Tapi entahlah, ayah kan membeli rumah ini melalui dia." jawab ayah.

"Oh, begitu."

"Memangnya kenapa, Rendra?" Ayah gantian bertanya padaku.

"Tidak ada apa-apa, kok." jawabku. "aku akan tidur dulu."

"Oh, ya. Rendra." Ayah memanggilku sesaat sebelum aku masuk ke kamar. "Besok temani ayah ke tempat kerja teman ayah, ya. Sepulang ayah dari mengajar."

"Oke." jawabku lalu segera masuk ke dalam kamar.

Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang dan anganku mulai menerawang tentang wanita yang kulihat siang tadi. Ini aneh, jika keluarga wanita di foto itu semua ke luar negeri lalu dia siapa? Kenapa bisa begitu mirip? Atau tadi hanya bayanganku saja, sebuah fatamorgana karena pikiranku selalu tertuju pada diary dan pemiliknya.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan menuju meja baca, ku ambil diary dan buku sejarah yang siang tadi kupinjam. Foto wanita itu ku taruh di dalam diary agar selalu bisa kulihat saat akan mulai membacanya sekaligus pembatas sampai mana aku selesai membaca. Kupandangi foto itu, hampir setiap malam aku melakukannya. Senyum misteriusnya seperti candu bagiku yang harus ku lihat setiap hari.

Aku mulai membuka catatan harian itu sekaligus buku sejarah yang ku baca, mungkin ini terlalu cepat untung membandingkan dan mencocokkan waktu yang ada di diary dan buku karena aku belum selesai membacanya. Buku itu dimulai dari datangnya pasukan sekutu yang kembali setelah Indonesia merdeka, berarti cerita di diary dimulai lebih awal dari yang ada di buku ini.

Baru saja aku membuka beberapa halaman, aku merasa sangat mengantuk dan sedikit pusing. Aku merebahkan kepalaku sejenak di atas meja belajarku dan memejamkan mata. Lalu tiba-tiba aku mendengar sebuah ledakkan yang begitu keras...

...

Maapkan yang emang ga bisa nulis romance...

Setelah kelar ipen ini, mungkin ini cerita mau ane private aja. Bukan apa-apa, tapi emang ga cocok buat ane yang seorang penulis petualangan misteri fantasi... T.T

Itu juga kenapa narasinya terlalu detail, soalnya biar dapet target 1k kata... Sssttt nguehehe

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang