Sajak

119 22 6
                                    

Bandung, 2 Januari 1946

Aku sudah pulih dan mulai bekerja dengan normal sejak kemarin. Rupanya banyak sekali pekerjaan tertunda yang harus aku selesaikan. Beberapa persediaan obat mulai menipis dan tidak ada yang mencatat dan melaporkannya.

Sudah beberapa hari pula aku tak melihatnya datang kemari. Menurut temanku, para pejuang sedang berkumpul di suatu tempat bersama tentara untuk mengadakan sebuah pertemuan selama beberapa hari. Mungkin saja itu benar karena ayahku dan Sang Tentara pun jarang terlihat. Sepertinya kabar bahwa sekutu akan kembali berusaha merebut Bandung Utara bukan hanya isapan jempol belaka.

Aku ingin semua ini cepat berlalu. Negara ini sudah menyatakan kemerdekaan, namun mempertahankan ternyata tak kalah sulit. Hanya saja, proklamasi bulan agustus lalu lebih mempererat menyatunya tekad dan memunculkan kembali harapan seluruh bangsa di Tanah Air. Air mata dan darah yang telah tercurah tak terhitung jumlahnya, mulai terbayarkan. Semoga kelak generasi selanjutnya bisa mengerti betapa susah payahnya generasi sebelum mereka berusaha memberikan kelayakan hidup sebagai bangsa yang merdeka, lahir tanpa belenggu dan cengkeraman. Hal itu yang selalu kita sematkan di dalam memperjuangkan kemerdekaan ini, untuk anak cucu selanjutnya.

...

Bandung, 15 Januari 1946

Sang Pejuang telah kembali, aku melihatnya lagi. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, sikapnya sedikit berubah. Aku merasakan itu meski dia terus menunjukkan senyumnya padaku tapi justru itu yang membuatku merasakan sesuatu yang salah.

Aku bertanya padanya apa yang terjadi, namun dia malah bertanya balik, "memangnya ada apa?"

Ada sesuatu yang kurasa dia berusaha menutupinya dariku dan itu membuatku merasa sedikit jengkel.

...

Bandung, 1 Februari 1946

Sudah setengah bulan aku semakin merasakan ada sesuatu yang 'salah' dengan kekasihku itu. Dia memang masih terus menemuiku, tapi rona wajahnya selalu tergambar kecemasan. Dia selalu mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku dan aku pun berkata hal yang sama, tapi - dimana keceriaannya yang dulu selalu ditunjukkan kepadaku?

Aku mulai bertanya pada diri sendiri, apakah ini ada hubungannya dengan Sang Tentara atau ayahku? Aku ingin menanyakan itu padanya, tapi aku tak sanggup. Yang aku tahu, dia sama sekali belum mengetahui jika ayah telah menjodohkan aku. Dan aku khawatir jika aku bertanya maka dia akan tahu. Tapi bukankah suatu hubungan harus saling terbuka dan mengatakan segalanya? Namun aku takut melukai hatinya dan membuatnya khawatir dan akan kukatakan suatu saat nanti.

Begitu banyak pemikiran yang saling berlawanan di dalam benakku. Seolah aku sedang melawan pemikiranku sendiri dan memilih kepada pikiran yang mana aku akan berpihak.

Tuhan, tolong aku...

...

Bandung, 28 Februari 1946

Aku sudah tak tahan lagi, aku ingin mengatakan dan menanyakan padanya, segalanya. Aku ingin mengetahui dan memberitahukan apa yang selama ini mengganjal hatiku dan merubah sikapnya.

Seperti waktu itu, kami berada di taman yang dulu. Tapi kali ini aku yang mengajakknya kemari. Aku mengatakan segalanya tentang ayahku yang menjodohkanku dengan Sang Tentara dan berkata bahwa sungguh sulit untuk menolaknya namun aku ingin terus bersamanya.

Tak ku sangka, kali ini dia malah tersenyum lega. Dia memelukku dengan erat dan berkata, "aku menunggumu mengatakan itu. Dan aku tak akan melepaskanmu, tetaplah bersamaku."

Hatiku terasa berlubang saat mengatakannya namun pelukan hangatnya menambal setiap luka yang ku rasakan. Namun saat memikirkan bagaimana perasaannya, dadaku seperti diremas hingga sarinya menetes melalui kedua mataku dan menderas.

"Jadi - kau sudah mengetahuinya?" tanyaku sambil terus memeluknya.

"Ya, dan aku sudah tahu apa yang akan kau katakan."

Aku tak ingin bertanya siapa yang memberitahukan padanya, karena aku sudah menemukan jawaban yang ku inginkan. Semakin erat aku memeluknya, semakin aku tak ingin berpisah dengannya.

"Biar nanti aku akan berbicara pada ayahku bahwa kita saling menginginkan." katanya sambil melepaskan pelukan dan memandang wajahku.

Air mataku yang telah menganak di tulang pipi sampai ke dagu, diusapnya. Dan bibirnya yang hangat mengunci bibirku dan menghentikan tangisku, menghentikan waktu dan segala yang ku cemaskan.

Kembali ku terhanyut dalam gelora hingga dia menarikku ke dalam gedung yang dulu kami pakai untuk berteduh namun kali ini bukan dari siraman hujan - kami berteduh dari dunia, dari kehidupan di luar sana yang tidak kami inginkan saat ini selain kami berdua. Dimana kami bisa saling berbagi hasrat, menjadi satu dalam irama yang teratur. Menyingkap segala tabir yang menghalangi kami, termabuk minuman asmara yang tiada habis ku tenggak. Mengalun dalam tempo berirama syahdu yang hening tanpa syair. Hingga aku merasakan jiwaku seperti terlepas dari tubuh mencapai syurga dunia. Aku ada padanya, ia ada padaku. Kami menjadi satu.

...

Bandung, 19 Maret 1946

Malam itu suasana menjadi ramai saat terdengar kabar bahwa sekutu akan kembali mengulang ultimatumnya sesegera mungkin. Ku dengar para pejuang dan tentara akan segera melakukan permusyawaratan kembali menanggapi hal ini. Terlihat pula di tangsi-tangsi pejuang, mereka bersiap-siap dengan senjata-senjata bertempur yang sebagian besar hasil rampasan dari Jepang.

Sang Pejuang mendatangiku, dia berkata akan ikut bermusyawarah dengan para petinggi militer dan berharap aku akan baik-baik saja selama ia pergi. Saat itu pula Sang Tentara datang dan tiba-tiba memanggil keluar Sang Pejuang.

Aku cemas dan merasa akan ada sesuatu yang buruk dan memaksanya agar jangan mengikutinya. Namun, dia tersenyum dan berkata semuanya baik-baik saja.

"Jangan khawatir, aku akan kembali. Tetaplah di sini..."

Aku memaksanya sekali lagi dan berkata atau aku akan ikut, tapi dia melarangku. Lalu keduanya keluar dan menghilang dari pandanganku. Aku merasakan kekhawatiran yang teramat sangat.

...

Ternyata diary yang kubaca ini sudah tinggal sedikit halaman lagi dan sepertinya itu bagian terakhir. Aku memutuskan untuk membacanya besok.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang, melamun dan memikirkan wanita yang kulihat bersama Pak Dendy dan kata beliau namanya adalah Dwi. Setidaknya ada harapan bagiku untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Aku tersenyum dan terlelap bersama pikiranku tentangnya.

...

Hari Minggu, kami sekeluarga akan mengadakan acara kecil-kecilan sebagai bentuk syukur dengan rumah baru kami dan ayah mengundang beberapa teman dan kenalannya. Kami sudah bersiap sedari pagi dengan menata ruangan dan menyajikan bermacam makanan yang kami pesan dan ada beberapa yang dimasak oleh ibu sendiri.

Tamu mulai berdatangan dan mereka semua adalah teman-teman ayah. Ada yang membawa serta teman atau keluarganya, mereka semua kebanyakan adalah pengajar di sekolah tempat ayah bekerja.

Aku sedang menata gelas di meja sewaktu ada yang menepuk pundakku dan membuatku menoleh. Dia adalah wanita itu, Dwi. Senyumnya mengembang dan tidak terlihat misterius seperti pada foto, tentu saja - dia bukanlah 'dia', namun tetap membuatku tak bisa melepas pandanganku.

...

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang