Kata

119 26 4
                                    

Bandung, 20 Nopember 1945

Dia datang menemui di tempatku bekerja. Bukan, bukan pemuda itu, tapi pemuda yang dijodohkan denganku. Sosok yang berwibawa meski masih muda, menyiratkan sejuta kharisma yang bisa memikat wanita siapa saja. Mungkin mataku juga tersihir olehnya, tapi hatiku tidak.

Entah apa tujuannya dia memberitahuku untuk bersiap-siap esok hari, bahwa mungkin akan ada beberapa korban. Aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah akan ada penyerangan? Dia berkata sekali lagi dan berkata hal yang sama, "persiapkan diri, obat-obatan dan jauhi bahaya."

Dia tidak seperti pemuda itu yang periang dan menyenangkan, pria ini cenderung kaku. Ini pertama kali kami berbicara tanpa ada orang lain. Dia sedikit berbicara basa-basi saat aku tidak memperhatikannya dan sibuk dengan pekerjaanku. Aku memang selalu bekerja sendiri meski kadang aku memanggil beberapa teman perawatku. Tapi di ruang obat, akulah yang mengatur semuanya.

Saat itulah pemuda itu datang, ya- pemuda milisi yang mampu menambat perasaanku padanya. Dia sedikit kaget waktu melihatku sedang ditemani seorang tentara muda. Ini sedikit membuatku merasa aneh karena melihat dua prajurit yang saling bertegur sapa tanpa memberi hormat - hampir setiap hari aku melihat itu - mereka hanya berjabat tangan.

Sang Pejuang dengan Sang Tentara, begitulah aku menyebut mereka dalam hati. Sang Pejuang berkata pada Sang Tentara bahwa dia dan pejuang lainnya menempati tangsi-tangsi yang tidak jauh dari barak-barak pengobatan dan dia sering kesini untuk bertemu denganku. Aku tersenyum mendengarnya dan berharap Sang Tentara tahu bahwa ada lelaki lain yang memperhatikanku, namun aku pun merasa cemas. Aku tahu Sang Pejuang menyukaiku begitu pula aku, tapi di sisi lain Sang Tentara bersama ayahku, tempatku berbakti. Aku bagaikan bendera di medan pertempuran dengan kedua kubu yang menginginkanku, tapi kadang aku merasa berada di dua pintu dimana merekalah yang aku inginkan.

Tanpa ku sadari aku melirik pada Sang Tentara sembari tetap berpura-pura sibuk. Wajahnya tetap datar tanpa perubahan rona yang berarti. Sang Tentara lalu pamit keluar dan meninggalkan kami.

Sang Pejuang menemuiku dan meminta doaku, dia memberitahu bahwa besok akan ada penyerangan kepada sekutu dan dia akan ikut. Aku benar-benar mencemaskannya.

Sebelum pergi, dia bertanya siapakah tentara muda tadi. Aku menjawab bahwa dia tentara yang sedang bertugas untuk menanyakan tentang obat-obatan. Sang Pejuang hanya tersenyum, namun tersirat di matanya bahwa dia mengetahui aku menyembunyikan sesuatu.

...

Bandung, 21 Nopember 1945

Terjadi penyerangan di wilayah tempat sekutu berada. Hotel Homann dan Hotel Preanger pun tak luput dari serangan para TKR dan para milisi. Ini sebagai jawaban kami pada mereka yang mengultimatum untuk mengosongkan Bandung Utara serta menyerahkan senjata.

Aku sedikit terkejut ternyata tentara juga ikut dalam penyerangan tersebut, karena sekutu menyuruh hanya pejuang milisi dari badan-badan perjuangan yang menyerahkan senjata, bukan termasuk tentara. Tapi inilah nurani bangsa yang ingin merdeka, baik tentara maupun pejuang semuanya adalah Indonesia dan tak ingin lagi ada penjajahan dan angkara murka di Tanah Air.

Hari ini pun aku disibukkan dengan datangnya korban, tapi syukurlah tidak terlalu banyak karena sekutu sendiri merasa terkejut dengan serangan ini. Tapi-tetap saja, mau sedikit atau banyak hal itu menimbulkan keprihatinan di diriku meski aku sering mengalami hal ini. Lalu, bagaimana dengan dia? Apakah dia baik-baik saja?

...

Kepalaku merasa sedikit berdenyut saat terbangun, mungkin karena lelah dan malamnya memaksa untuk membaca catatan harian. Bahkan aku bermimpi tentang peperangan dan wanita dalam foto itu.

Aku menikmati sarapanku seorang diri karena bangun kesiangan, ayah sudah berangkat bekerja sedangkan ibu sudah sarapan tadi dan sekarang dia sedang mondar-mandir keluar masuk rumah sambil membawa tanaman pada pot-pot kecil. Sesekali dia berkata atau bertanya sesuatu saat melewatiku yang sedang makan.

"Bagaimana tidurmu di rumah dan kamar baru? Mimpi buruk atau mimpi indah? Kau tidak ingin jalan-jalan ke luar?" begitu banyak dan gonta-ganti pertanyaan saat ibu melewatiku. Aku menjawab sekenanya saja karena tahu ibu juga paling hanya berbasa-basi.

Aku sudah menghabiskan nasi goreng dingin dengan lauk telur mata sapi yang sudah mendingin pula di depanku, namun aku belum beranjak dari meja makan dan sesekali meminum susu cokelat yang masih hangat. Tak lama kemudian ibu duduk di sebelahku sambil membawa jus jeruk dan menikmatinya.

"Bu...? "

"Hmmm?" ibu menjawab dengan menaikkan alis sambil meminum jusnya.

"Bagaimana seandainya ibu dijodohkan dengan orang yang..."

"Bruuwaah!"

Tiba-tiba ibu menyemburkan minumannya sebelum aku selesai bertanya.

"Lha?"

"Uhuk! Kamu ngomong apa-sih, Rendra?" tanya ibu yang lalu mengusap hidungnya dengan tisu. "ibu kan sudah menikah dan punya kamu, kok malah bilang mau dijodohkan segala."

Aku tersenyum dengan tingkah ibuku itu, meski sempat khawatir dia akan tersedak. "Bukan begitu maksudnya."

"Lalu?"

"Maksudnya saat ibu masih gadis dulu jika kakek berniat menjodohkan ibu dengan pemuda lain sedangkan ibu sudah menyukai seseorang, bagaimana sikap ibu?"

"Oh, begitu." Ibu lalu memanggu dagunya dengan kedua tangan, seolah membayangkan atau memikirkan sesuatu, "kalau pemuda itu gagah dan baik sih ibu mau saja."

"Hah?"

Sekarang aku yang kaget, mungkin jika aku sambil minum sekarang aku sudah mengulangi tingkah ibu tadi.

"Hahaha. Ibu bercanda, Rendra. Pasti ibu akan berusaha bersama dengan pemuda pilihan ibu sendiri, itulah kenapa ibu bisa menikah dengan ayahmu." jawab ibu setelah melihat ekspresi wajahku yang terkejut.

Iya itu kalau ibu, aku tahu ibu bukanlah orang yang terlalu menurut dengan kakek. Bahkan kakek pernah bilang, "ibumu itu anakku perempuan satu-satunya tapi paling ngeyel kalau diberitahu, tidak seperti saudara laki-lakinya yang lain."

"Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya ibu.

"Ah, bukan apa-apa."

"Hayoo, jangan-jangan kamu sudah punya pacar dan pacarmu itu mau dijodohkan, ya?" ibu menggodaku sambil mencubit lenganku.

"Bukan, lah. Kapan aku punya pacar, aku masih malas untuk pacaran." kataku yang lalu bangkit dari kursi dan membawa piring ke dapur.

"Halah, jangan pura-pura." ibu mengikuti sambil terus menggodaku dan tertawa-tawa.

Kami terus bercanda tentang pacaran, perjodohan dan menikah saat aku mencuci piring di dapur dan ibu menata pot-pot kecil di sekitarnya. Kata ibu sudah tidak jamannya sekarang orangtua menjodohkan anaknya meski tidak sedikit pula yang melakukannya. Pada masa muda ibu pun sudah banyak orangtua yang membebaskan anaknya memilih jalan hidupnya sendiri meski melalui pengawasan yang ketat.

Aku kembali terpikir dengan kelanjutan catatan harian itu, bagaimana dengan dia? Apakah dia akan melakukan hal yang sama seperti ibuku? Mungkin aku tidak usah menebak-nebak, tinggal melanjutkan membacanya saja.

...

Diary Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang