#9 - It is love

24 3 3
                                    

Aku dan Kak Agam kembali bersama turun kebawah dimana acara belum selesai. Aku sebenarnya masih ingin diatas, tapi karena paksaan kak Agam mau tidak mau aku menurutinya.

Sesampainya dibawah, aku tidak bisa untuk tidak menautkan jari tanganku satu sama lain. Jujur aku binggung harus melakukan apa, walaupun ini acaraku dan ada beberapa yang kukenal yang tidak lain karyawan dari kantor tapi aku sama sekali tidak punya niatan untuk menyapa mereka. Entahlah, tubuhku terasa sangat lelah. Aku lelah dengan kejadian beruntun selama beberapa hari terakhir.

Lagipula aku tidak ingin mencari Kak Abi, biarlah. Kak Abi juga tidak mencariku. Lebih baik aku sendiri. Tapi bagaimana aku bisa sendiri jika Kak Agam belum beranjak dari sampingku?

"Mari kita kesana," Kak Agam merangkul bahuku dan mendorongku entah kemana. Diatas kami sempat berbagi macam cerita. Diluar dugaanku, ternyata kak Agam cukup humoris. Dia tidak segan melontarkan candaan padaku.

Ternyata ada faedah nya juga aku naik keatas. Jadi aku makin mengenal calon kakak iparku yang nyaris dulu kami tidak bertegur sapa.

Dan tanpa aku jelaskan lebih detail, cukup melihat raut wajahku yang enggan menjawab Kak Agam sudah mengetahui masalah apa yang terjadi diantara aku dan adiknya. Karena bisanya kami akan sangat lengket seperti nasi ketan bukan seperti dua titik magnet yang saling menjauhkan. Itulah menurut opininya.

Dari posisiku aku bisa melihat tatapan ingin tau tamu karena aku bukan bersama Kak Abi melainkan laki-laki lain. Karena tidak tahan mendapat tatapan seperti itu aku memutuskan melarikan diri, tapi langkahku kalah cepat dengan Kak Agam yang siap menahanku pada posisiku semula.

Aku memutar bola jengkel karena Kak Agam yang biasanya bersikap tidak peduli jadi seperti ini.

"Pak Agam, senang melihat anda disini?" sapa seorang laki-laki paruh baya pada Kak Agam yang berdiri tepat dibelakangku. Mau tidak mau langkah kami berhenti dan menyapa.

"Senang juga bertemu dengan anda Mr Adams," laki-laki dua generasi itu berjabat tangan.

"Siapa nona cantik ini, kekasih anda?" aku mengkerutkan dahi binggung, bukannya dia salah satu tamu? Lalu kenapa dia tidak tau aku siapa?

"Bukan, apakah anda baru sampai Mr Adams?" alih-alih memberi jawaban memuaskan Kak Agam malah balik bertanya.

"Ah iya, kebetulan saya baru sampai, jadi tidak melihat inti acara. Bandung sangat macet jika weekend." Keluh laki-laki Mr Adams tidak enak. Ia menatapku dari atas hingga bawah membuatku risih. Refleks aku memeluk lengan Kak Agam mencari perlindungan.

Aku tidak lagi mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku asik melihat tamu yang hampir memenuhi ballroom. Sebenarnya berapa sih undangan yang disebar? Kenapa sangat banyak untuk ukuran acara pertunangan saja?

Hingga sebuah lengan menarikku kebelakang sampai aku nyaris tersungkur jika tidak ditahan oleh seseorang yang menarikku.

Kak Abi.

"Permisi, saya pinjam tunangan saya dulu." kata Kak Abi dengan suara rendah, setelah itu aku harus menyesuaikan highheels yang kupakai dengan langkahnya yang terlewat lebar.

"Sakit," rintihku, perlahan cengkraman Kak Abi dipergelangan tanganku mengendur.

"Maaf." Kata nya dengan wajah meredup. aku tahu dia menyesal, tapi tetap saja tanganku jadi sakit. Karena kesalku belum hilang karena kejadian tadi, dan ditambah keabsenannya selama beberapa hari terakhir membuatku memilih diam dibandingkan merengek kepadanya seperti biasa yang kulakukan.

Kali ini dengan kelembutan Kak Abi menggenggam tanganku, karena tidak ingin menarik perhatian aku mengikutinya dari belakang.

----------------------------------------------------------

NOTHING ELSE! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang