"Coco!" Dara memekik sambil mendorong dada Marco dengan sekuat tenaga.
Dara menatap nyalang Marco. Kecewa? Tentu saja. . . sangat.
Siapa yang tidak kecewa jika sahabat yang kalian sayangi, berbuat hal seperti itu pada kalian?
Dara marah. Sangat marah. Marco menunjukkan wajah tak bersalahnya dan itu membuat Dara semakin kesal bukan main.
Apa - apaan dia?!
"Pergi!" Dara berteriak.
Marco hanya diam di posisinya. Menyedekapkan tangan di depan dada, lalu berkata, "Inget perkataan aku tadi, Ra. Aku pasti bisa dapetin kamu. Meskipun lawan pertama yang harus aku hadapi adalah Dilan."
Dara menatap Marco dengan sorot marah sekaligus kecewa. "Aku bener - bener gak nyangka, kamu bakal jadi seperti ini. Mulai saat ini. Detik ini juga, kamu pergi dari hadapan aku. Aku gak sudi ngeliat kamu lagi." Dara menunjuk pintu kamarnya yang terbuka.
"PERGI!!"
***
Dara menatap kosong layar hanphone nya yang menggelap. Sedetik kemudian, layar itu kembali menyala dan menampilkan nama yang sama, dari penelpon yang terus menghubungi nya sesaat yang lalu.
Dilan's calling . . .
Dan lagi - lagi Dara mengabaikannya.
Dara takut. Sangat takut. Bagaimana jika Dilan tau apa yang telah terjadi kemarin? Walau, itu bukan salah Dara sepenuhnya.
Dengan berbekal acting 'pura-pura sakit ala dirinya, Dara berhasil mengelabuhi ibunya sendiri untuk tidak masuk sekolah hari ini. Ia tidak siap jika harus menghadapi kedua laki - laki itu.
Bahkan ketika mengingat kejadian kemarin membuat lagi - lagi cairan bening asin itu menetes dari sudut matanya. Kepalanya menunduk, menyembunyikannya diantara kedua lututnya yang tertekuk. Kemudian isak tangisnya mulai terdengar.
Sial! Buru - buru Dara menghapus kasar air matanya.
Dara ingin membenci Marco. Andai itu bisa. Tetapi sayangnya tidak. Rasa sayangnya tulus, tetapi ketulusannya itu justru membuat Marco . . . gila dan berani bertindak kurang ajar padanya. Dara tidak habis pikir, bisa - bisanya Marco melakukan tindakan diluar batasnya itu.
Sekali lagi Dara mengatakan, dia menyayangi Marco. Tetapi hanya sebatas seorang sahabat yang menyayangi sahabatnya sendiri, tidak lebih. Tetapi Marco... tindakannya itu sungguh sudah melewati batas wajar.
Dan Dara benci itu. Sangat benci.
***
Langit sudah semakin menggelap. Tetapi itu tidaklah menjadi alasan bagi Dara untuk sedikitpun beranjak dari tempatnya kini.
Di bawah rembulan malam yang bersinar, Dara melamun. Atau lebih tepatnya berpikir. Memikirkan bagaimana nasib dirinya kedepan.
Hidup ini sulit. Dara akui itu. Memang, di dunia ini tidak ada hal yang serba instant, semua harus dilakukan dengan minimal sedikit usaha dan kerja keras.
Tapi lagi-lagi, kerja keras yang bagaimana kah itu?
Dara mendongak saat dirasa cairan bening yang membendung di pelupuk matanya sudah siap untuk meluncur kembali. Nafasnya berhembus beraturan. Berusaha meng-sugesti bahwa ia akan selalu baik-baik saja.
Tetapi, itu tetap tidak berhasil. Lagi-lagi, cairan bening itu dengan tidak sopannya kembali melunjur bebas di kedua pipinya.
Untuk yang kesekian kalinya di hari itu. Dara kembali menangis.
🌙
SEBISA mungkin Dara menghindar dari Dilan dan Marco. Beruntung, sampai istirahat kedua ini ia belum melihat batang hidung keduanya. Marco.. dia tidak masuk hari ini, sedangkan Dilan.. entahlah, Dara tidak begitu tau. Dan tidak ingin tau juga.
"Ra.." panggil Ira.
Dara menyahut tanpa menoleh, "Kenapa, Ir?"
"Barusan aku ketemu sama Dilan di koridor, dia arah ke luar sekolah gitu deh. Ntah karena apa, raut wajahnya itu seperti kelihatan sedang menahan amarah." jelasnya
Menahan amarah? Tapi, kenapa?' pikir Dara. Dahi Dara mengerut, kemudian berangsur normal. Tatapannya kini sepenuhnya menatap Ira.
"Terus, apa aja yang kamu liat?"
Ira mengangkat bahunya. "Hanya itu. Kenapa? kamu lagi ada masalah sama dia, ya?"
Dara diam, kemudian menggeleng. Ira nggak boleh tau.
"Kami baik-baik aja, kok."
🌙
JUMAT malam. Merupakan waktu terindah bagi Dara. Bukan hari karena esoknya merupakan hari libur, tetapi karena ia terbebas dari Dilan dan Marco seharian ini.
Benar-benar bebas.
Rencananya, Dara akan menonton drama sampai malam, maskeran, perawatan kuku. Memikirkan apa yang akan dilakukannya malam ini membuatnya tidak sadar jika ibunya telah berdiri di depan pintu, melihatnya yang sedang senyam-senyum sendiri.
"Ara."
"Astagfirullah, Bunda. Sampai kaget." Dara mengusap dadanya naik-turun, "Ada apa, bun?"
Bunda terkekeh, "Kamu sendiri kenapa senyam-senyum sendiri, hm?"
Dara nyegir, "Gak kenapa-kenapa kok, Bun."
"Ada teman kamu tuh dibawah."
Tubuh Dara menegak, "Siapa, Bun?"
Bunda terlihat berpikir, "Kalau gak salah namanya Dilan."
Bersambung.
Revision on January, 8th 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boyfriend
Teen Fiction• Sudah di revisi • • • • Orang bilang, sikap seseorang dapat ditebak pada saat pertemuan pertama. Tetapi, jika pandangan pertama saja sudah buruk, apakah kesana nya juga akan tetap buruk? Dilan itu egois, dan Dara itu keras kepala. Dilan gak mau k...