Gemericik air mancur di tengah taman menjadi peneman di jam malam yang sunyi. Masing-masing dari keduanya —Dilan dan Dara— tampak bergelut dalam pemikirannya sendiri.
Pakaian yang mereka kenakan pun masih berupa seragam sekolah hari ini. Putih abu - abu. Meski kini tidak serapih tadi pagi.
"Dilan.." Andara bersuara setelah sedari tadi diam.
"Hhm,"
"Boleh aku bertanya satu pertanyaan sama kamu?"
"Mau tanya apa?"
Andara menyandarkan tubuhnya seluruhnya pada bangku taman bercat putih itu, "Apa aku sudah menjadi pasangan yang kamu impikan? yang kamu mau?"
Dilan sepenuhnya menoleh, menatap Dara dengan begitu intens. "Aku gak ngerti kenapa kamu nanya begitu."
"...tapi, kamu mau aku menjawabnya bukan?"
Dara mengangguk sebagai jawabannya.
"Kamu mau tau apa alasan aku mengatakan bahwa aku ingin kamu jadi milikku saat itu?"
Lagi, Dara mengangguk tanpa suara.
"Karena memang sedari dulu, hatiku hanya untuk kamu," ucap Dilan.
"...mungkin kamu memang tidak mengenal aku saat itu. Tapi, aku mengenalmu. Kamu, gadis ceroboh yang hampir tertabrak motor karena tidak melihat - lihat terlebih dahulu saat menyebrang." lanjutnya.
Dara terperangah. Bagaimana Dilan bisa tau kejadian itu. Padahal saat itu hanya dirinya dan si pengendara motor yang tau kejadian itu.
"Kamu.."
Dilan mengangkat sebelah tangannya, "Tolong jangan sela ucapanku."
Dara menurut. Diluruskannya posisi badannya, menghadap kearah Dilan dan menatapnya dengan seksama.
"Lagi - lagi kamu membuat kecerobohan di hari pertama Masa Orientasi Peserta Didik Baru. Yang seharusnya pita yang kamu kenakan berwarna merah, tetapi kamu justru memakai pita berwarna biru,"
"...alasannya, karena kamu tidak menyukai warna merah dan justru sangat menyukai warna biru."
Dara kembali dibuat terperangah. Dilan, Dara sungguh tidak menyangka. Dilan mengenalnya begitu dalam.
"Tentu saja itu membuat anggota OSIS bergerak cepat untuk memberikan hukuman. Kamu, yang tampak polos saat itu, hanya menurut tanpa membantah ketika diperintahkan untuk mengumpulkan 1000 helai daun yang berserakan di taman belakang sekolah,"
"...kepolosan kamu, keceriaan kamu dan sikap solidaritas kamu yang buat aku suka dan kagum sama kamu."
Dara masih serius mendengarkan. Tidak ingin tertinggal satu kata pun atas apa yang diucapkan oleh Dilan.
"Sekarang, kamu mengajukan satu pertanyaan buat aku, "Apa aku sudah menjadi pasangan yang kamu impikan?". Jawaban aku adalah apa yang kamu pikirkan saat ini."
Kerutan bingung tampak menghiasi kening Dara, "Maksudnya apa? Jawabannya yang aku pikirkan saat ini?"
Dilan menampilkan senyumannya, tampak baik dan terlihat menenangkan.
"Kalau aku lempar pertanyaan kamu untuk kamu sendiri, kira - kira kamu akan jawab apa?"
Dara gelisah dalam posisinya. Lingkaran hitam pada bola matanya, bergerak tak tentu arah sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Dilan.
Tangan besar itu menangkup kedua tangannya yang sedari tadi dipangku diatas pahanya.
"Andara.."
Kini Dara tidak bisa berkutik. Ia mendongak dan seketika pandangannya bertubrukan dengan pandangan Dilan yang dalam dan tajam.
"Aku..."
Dara gugup, benar-benar gugup setengah mati. Apalagi pandangan Dilan tidak sedikitpun beralih darinya. Dara menunduk dalam.
Dagunya diangkat dengan bantuan jari telunjuk Dilan. Kini, senyuman teduh itu yang menyambutnya.
"Utarakan..itu lebih baik."
Dara meraup udara sebanyak mungkin. "Aku.. mungkin ini akan terdengar jahat. Tapi, aku ragu. Ragu sama kamu,"
Dilan tersenyum, Dara kembali mengambil napas dengan rakus.
"...semenjak kamu gak jujur kalau Sharon itu adik kamu, aku jadi takut. Takut jika kamu masih menyimpan kebohongan yang kamu gak mau tunjukkin sama aku,"
"...Maaf..."
Bersambung.
Pendek? HEHE.
Revision on March, 7th 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boyfriend
Fiksi Remaja• Sudah di revisi • • • • Orang bilang, sikap seseorang dapat ditebak pada saat pertemuan pertama. Tetapi, jika pandangan pertama saja sudah buruk, apakah kesana nya juga akan tetap buruk? Dilan itu egois, dan Dara itu keras kepala. Dilan gak mau k...