"Kusut amat tuh muka." Arkam melirik Chandra yang sedang duduk di pinggir lapangan.
Bola basket yang sedari tadi berada di tangan Arkam pun di hempas entah kemana. Ia berjalan mendekat ke arah Chandra yang sedari tadi terlihat lesu.
"Putus aja udah." Ucapan Arkam mampu membuat Chandra mendongahkan kepalanya ke atas. Ia memicingkan matanya ke arah Arkam.
"Gila lo." Setelah dua kata itu terlontar dari mulut Chandra, laki-laki itu menatap lurus ke arah tiang ring basket yang berjarak lima meter di depannya.
Arkam berdecak. Ia memberikan tangannya pada Chandra. "Terus mau apa lagi?" Chandra meraih tangan Arkam dan segera berdiri.
Keduanya kini berhadapan. Chandra masih dengan ekspresi lesunya, sedangkan Arkam dengan ekspresi ibanya. "Gue mau ketemu Inne," jawab Chandra. "Gue gak bisa jauh-jauh dari dia."
"Bucin." Arkam menjawab dan membalikan badannya.
Chandra menaikan sebelah alisnya. Tangan sebelah kanannya terbuka. "Bucin?" Tanyanya dan membuat Arkam menolehkan kepalanya sambil mengangguk pelan. "Iya gue bucin karna gue gak mau kehilangan cewek yang udah tiga tahun jadi pacar gue cuma demi reputasi sekolah."
"Can you just shut up, Chan?" Arkam yang awalnya ingin mengambil bola, seketika kembali menghadap Chandra.
"Lo yang diem!"
Arkam berjalan mendekat ke arah Chandra. Mereka berdua memang bersahabat. Namun beberapa paham yang berbeda terkadang bisa membuat mereka adu argumentasi. "Jangan bego," ucap Arkam. "Lo kira kita-kita enak ngeliat lo beban setiap latihan cuma karna disuruh jauhin Inne karna Pak Santo ngelarang anak basket pacaran sama anak Harapan Bangsa?"
Chandra diam. Dahinya berkerut karna menahan kesal. Pelatihnya yang bernama Santo itu, entah atas dasar apa, sangat membenci SMA Harapan Bangsa.
Pelatihnya itu tau kalau Chandra adalah satu-satunya anak basket yang berpacaran dengan murid dari Harapan Bangsa. Dan untuk itu, Pak Santo selalu meminta Chandra menjauhi Inne setiap ada pertandingan besar yang akan mempertemukan kedua tim dari dua SMA berbeda tersebut.
"It just, it just not make any sense, gitu." Chandra berkacak pinggang. Kepalanya menoleh ke arah kiri.
Semua orang tahu bahwa basket adalah hidup Chandra. Begitu juga dengan Inne. Namun alasan yang tidak masuk akal dari pelatihnya tersebut membuat keadaan menjadi sulit.
"Pak Santo mungkin cuma gamau anak-anaknya jadi gak konsen." Arkam menanggapi.
"Gatau ah anjing, kesel gua."
Arkam menarik sebelah sudut bibir kirinya sambil menggelengkan kepala. "Yaudah sih, mendingan kita ngopi ganteng dulu," sahutnya. "Alvi sama Budi udah di Quartier."
Chandra dengan posisi yang sama, hanya melirik Arkam kecil. Ekspresinya terlihat menimbang-nimbang. Pasalnya, Quartier adalah cafe milik anak Harapan Bangsa. Dan kebetulan juga temannya Inne.
Seakan mengerti glagat Chandra, Arkam maju dan merangkul sahabatnya tersebut. "Sans, gak bakalan ada Inne."
*****
"Gi, lo emang ngerti tentang Sejarah?" Attaya yang menatap kembarannya tersebut merasa tak yakin.
Giano menarik gelas yang berisikan es cappucino miliknya. Tangan kiri-nya yang bebas bergerak ke kanan dan kiri. Menandakan kalau ia tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusi
Teen FictionSosoknya nyata. Namun mencintainya, lebih kepada delusi yang menyiksa. Ber-orientasi pada fakta bahwa tak selamanya intuisi itu benar adanya. (Re-make. Was Capsize)