Attaya memperhatikan sosok Kevin yang sedang duduk merenung ditemani segelas coklat panas di hadapannya.
Posisi meja mereka hanya terpaut tiga meter.
Di Cafe bernama Quartier ini, Kevin mencoba menjernihkan pikirannya.
Pikiran tentang Karel yang semakin terluka tanpa Aldo.
Ini bukan kali pertama Attaya tidak sengaja bertemu Kevin. Namun baru sekarang ia melihat Kevin sedang bergulat dengan akal sehat dan hatinya sendiri.
Sependengarannya, Kevin sangat menyukai Karel. Tapi di beberapa poin, Attaya sangat mengagumi anak itu.
Sehingga, Attaya mungkin menyukai Kevin. Dan saat ini, adalah waktu yang tepat untuk masuk ke kehidupan Kevin.
"Boleh duduk disini ga?" Attaya yang ternyata sudah menyambangi tempat Kevin pun menebar senyumnya.
Kevin bukan tipe orang yang tertutup. Namun kali ini responnya tidak se-ramah biasanya. "Kayanya masih banyak kursi kosong, ya?"
Attaya tau, orang yang sedang patah hati tidak akan segampang itu untuk didekati. "Iya, tau kok!" Jawabnya sambil tersenyum. "Tapi kalo kata orang jaman dulu, gak ada salahnya dengerin cerita orang yang butuh tempat bersandar."
Kevin mengernyitkan dahinya. Merasa sedikit terganggu. "Orang jaman dulu mana yang ngomong kaya gitu?"
Attaya menaikan kedua alisnya. Ia langsung menarik kursi di depan Kevin.
Kedua tangannya diletakan di atas meja, jari telunjuknya mengetuk meja beberapa kali. "Gue lupa siapa orangnya, tapi gue punya satu surat buat lo," jawabnya. "Ini dari orang jaman dulu, dia nitip salam buat lo katanya!"
Kevin tidak mengerti. Ia diam melihat pergerakan Attaya yang sedang membuka tas ransel mininya.
Ia melihat bahwa Attaya mengeluarkan sebuah amplop yang lumayan bagus.
Warnanya merah dan berstektur velvet. Ditambah sedikit glitter yang menghiasi amplop tersebut.
"Ini," ucap Attaya. "Katanya harus dibaca."
Amplop itu diletakan diatas meja.
Kevin masih belum mengambil amplop itu. Ia sibuk menatap Attaya dengan tatapan sinis.
"Lo temennya Aldo, kan?"
Dengan ekspresi polos, Attaya mengangguk sambil menaikan canggir kopinya. "Tapi mau temenan juga sama lo."
"Aldo nyuruh lo?"
"Ampun, lo nih ya!" Jawab Attaya yang tidak jadi menyeruput kopinya. Ia kembali menurunkan cangkirnya. "Dibuka dulu makanya tuh amplop."
Kevin membuang nafasnya kasar. Ia menjulurkan tangannya dan mengambil amplop tersebut.
Kemudian, ia membuka dan membacanya.
Bloods are red, ocean are blue.
I offer you the help you needed, you give me what i wanted to.Wondering what i wanted the most? Well, find it yourself. It still related to you.
A lil words for you,
Tolong jangan sembunyikan luka. Jika terlalu parah, kau akan tersiksa.
Pilih satu tempat bersandar saat kau merasa lelah akan semua. Seseorang yang kau anggap dapat dipercaya.
Yang terpenting, seseorang yang dapat mendengarkan keluh kesah, lalu menanggapi masalahmu dengan seksama.
Aku akan beritahu siapa, namun jangan tergesah-gesah.
P.s : tolong balik kertas ini.
Menerima keluh kesah darimu yang penuh tanda tanya : Attayaaz_ on Line. Cheers up.
"Hallo, nama gue Attaya!" Dengan senyum lebar, Attaya menyapa Kevin yang baru saja memalingkan pandangannya dari kertas tersebut.
"Gue siap jadi tempat curhat lo!"
Revised.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusi
Teen FictionSosoknya nyata. Namun mencintainya, lebih kepada delusi yang menyiksa. Ber-orientasi pada fakta bahwa tak selamanya intuisi itu benar adanya. (Re-make. Was Capsize)