Attaya memandangi kaca besar yang membatasi dirinya dengan jalan raya.
berada di Quartier bukan berarti Attaya mengharapkan Kevin datang dan berbicara dengannya.
Cafe itu sudah memiliki tempat tersendiri di hati Attaya. setiap ia sedang ada beban pikiran, pasti ia datang ke Cafe tersebut. dan terkadang, Kevin juga ada disana menemani jika gadis itu meminta.
Attaya membuang nafasnya kasar sambil mengalihkan pandangannya dari kaca besar ke cangkir kopi Moka di hadapannya.
telapak tangannya melingkari cangkir tersebut agar suhu panasnya dapat berpindah ke telapak tangan Attaya yang dingin karna pendingin ruangan serta guyuran hujan rintik di luar.
pikiran Attaya kembali melayang pada Kevin saat tatapannya masuk pada larutan kopi yang terdapat di cangkirnya.
ada apa dengan laki-laki itu? kenapa kali ini Attaya merasakan bahwa Kevin berubah?
"hey." tiba-tiba sebuah suara serak khas yang terdengar asing di telinga Attaya terdengar.
gadis itu mendongakan kepalanya sedikit saat matanya menemui sosok laki-laki yang tidak ia kenal sudah berdiri di hadapannya.
anak itu terlihat menggunakan kaos putih polos serta celana basket yang melambangkan burung sedang terbang serta nama dari singkatan sekolahnya.
disana Attaya menangkap tulisan PJ yang menghiasi celana basket dari laki-laki itu. dan dapat dipastikan bahwa sosok yang berada dihadapannya adalah tim basket dari SMA Pelita Jaya.
laki-laki itu tersenyum sambil membenarkan rambutnya dengan kelima jari. "gue boleh join?"
Attaya mengerutkan alisnya. merasa aneh dengan pertanyaan anak laki-laki tersebut. "kursi kosong yang lain, banyak kan?"
laki-laki itu kembali tersenyum sambil duduk di kursi di hadapan Attaya. meskipun gadis itu belum membolehkan, tapi cowok itu seakan tak memperdulikannya. "yang kosong sih banyak," jawabnya. "tapi yang berpenghuni dan si penghuninya keliatan murung, cuma lo."
Attaya diam. ia memperhatikan wajah laki-laki itu dengan seksama. dan rasanya seperti, ia pernah melihat anak laki-laki itu. tapi dimana dan kapannya, Attaya tak tahu dengan pasti.
"ngapain lo ngurusin gue banget? kita aja gak kenal."
"ya emang sih, kita gak kenal," jawabnya. "tapi kalo gue mau kenal lo, emangnya salah?"
"apaan sih, creepy banget!"
Arkam menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. matanya menatap jendela besar di samping kanan. "zaman sekarang ya, kenalan di tinder sama orang asing, fine-fine aja," ucapnya. "giliran diajak kenalan di dunia nyata, malah dibilang creepy."
Attaya memperhatikan Arkam dengan kerutan di dahi. ia merasa bahwa anak laki-laki dihadapannya sedang frustasi atau apapun itu. "gue gak pernah main gitu-gituan."
"tapi kalo main Truth or truth, pernah, kan?"
Attaya menarik kepalanya ke belakang sedikit. kerutan di dahinya tak hilang sejak pertama kali Arkam duduk di hadapannya.
Arkam mengeluarkan sebuah pulpen dari kantong celana basketnya. kemudian, ia meletakan benda tersebut di atas meja.
Attaya yang menyaksikan hal itu menatap bingung. untuk apa laki-laki itu mengeluarkan pulpen dan di letakan di atas meja.
"karna lo keliatannya gak begitu friendly, then i will make it fast," ucapnya sambil bertumpuan pada kedua tangannya yang diposisikan di atas meja. "masing-masing dari kita, cuma punya lima pertanyaan. dimana, setiap ujung pulpen ini berhenti di gue atau lo, kita bisa menjatuhkan sebuah pertanyaan random buat sang terdakwa yang dipilih sama ini pulpen, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusi
Teen FictionSosoknya nyata. Namun mencintainya, lebih kepada delusi yang menyiksa. Ber-orientasi pada fakta bahwa tak selamanya intuisi itu benar adanya. (Re-make. Was Capsize)