Pagi ini, hujan rintik sudah turun sejak Attaya membuka matanya.
Dimulai dari malas bangun hingga jalanan yang lumayan padat mewarnai hari-nya.
Attaya bukan tipe pemeran utama di Novel yang selalu jatuh hati pada hujan.
Ia lebih ke arah cewek realistis yang menganggap hujan biasa saja.
Sampai di sekolah, Attaya berjalan dengan malas bersama Giano. Dan, Giano tidak semalas Attaya.
Giano menyukai hujan. Menurutnya, hujan itu sangat menyenangkan. Terlebih saat datang di waktu yang tepat.
"Ta, Ta!" Giano menepuk pundak Attaya sebanyak tiga kali.
Attaya melepaskan tangan Giano yang ada di pundaknya. Dengan malas dan omelan, Gadis itu melirik saudara kembarnya tersebut. "Apaan sih?!"
"Pinjem HP, dong!"
"Mau ngapain?"
"Mau beli susu!" Giano dengan antusias, melirik vending machine yang bertengger dekat dengan alat finger print di lobby sekolah mereka.
Setiap pagi, setiap murid Harapan Bangsa diwajibkan untuk menempelkan jari mereka ketika datang. Begitu pun juga pulang.
Gunanya, untuk mem-verifikasi kehadiran absen siswa.
Sepertinya kepala sekolah sangat pintar untuk meletakan vending machine dekat dengan tempat finger print. Sehingga, saat murid baru datang pun mereka bisa mampir membeli sekedar roti, kopi, atau susu.
Dan mesin tersebut tidak menerima uang tunai. Mereka hanya menerima pembayaran elektronik seperti aplikasi terkenal berwarna biru yang marak digunakan.
"Lo bukannya udah minum susu, ya?" Karna mereka tinggal satu rumah, satu orang tua, dan satu mobil, Attaya mungkin adalah orang yang paling tau mengenai kegiatan Giano.
Giano memajukan bibirnya dua senti. Jarinya menunjuk susu strawberry yang ada di vending machine tersebut. "Tadi gue minumnya susu apa? Coklat, kan?"
"Gue mau minum yang rasa Stroberi sekarang!"
Attaya berdecak. Ia mengeluarkan ponsel-nya dari saku rompi. "Beli satu aja! Bunda kan kemaren udah bilang, ya! Susu yang berasa itu kadar gula-nya tinggi!"
Giano tersenyum simpul. Ia meraih ponsel Attaya dengan cepat.
Selaku kakak, Attaya kadang tidak mengerti dengan adik kembar-nya tersebut.
Kelakuannya kadang seperti anak kecil. Padahal mereka hanya beda 10 menit saat dilahirkan.
"Tata!" Suara khas milik Radit terdengar memanggil dari arah samping.
Anak itu berjalan. Melewati pintu kaca besar yang berada di lobby sekolah tersebut.
Dan tidak lupa, sebelum menyambangi Attaya, ia meletakan jari-nya di alat finger print tersebut.
"Lo hari ini ada kelas seni gak sih?" Masih fokus dengan alat finger print, Radit kembali bersuara saat Attaya mendekat ke arahnya.
Attaya mengangguk yakin. Ia sudah melihat jadwal kelasnya untuk hari ini, jadi ia bisa dengan gampangnya menjawab. "Kelas kedua."
Radit sudah selesai dengan finger print-nya. Kini, fokusnya sudah pada Attaya. "Udah ngerjain tugas design buat kampanye Batik?"
Keduanya berjalan. Mendekat ke arah Giano yang sudah mendapatkan susu stroberi-nya. "Oh itu gue udah minggu lalu."
Attaya yang melirik ke arah Giano tiba-tiba memukul kembarannya tersebut."Gue pukul lo ya!!!! Gue bilang tadi beli-nya berapa?"
Radit nampaknya kaget dengan pergerakan Attaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusi
Teen FictionSosoknya nyata. Namun mencintainya, lebih kepada delusi yang menyiksa. Ber-orientasi pada fakta bahwa tak selamanya intuisi itu benar adanya. (Re-make. Was Capsize)