#8

311 22 0
                                    


Bagian Lapan #8
Pas Kena Hatiku
“...Ku berjalan hingga bosan yang aku rasakan. Kali ini ku temukan artinya hadirmu. Kamu, kamu, sejukkan hatiku...”

::

Thailand
Aggnie gak perlu membaca lanjutan la-la-la lainnya lagi, karena tulisan bercetak tebal yang boros-too-much itu sudah cukup membuat cewek itu mencelos. Tiba-tiba lemas dan sangat tidak fokus. Dia nyaris merobek ‘surat-salah-bawa’ itu kalau saja Acha tak cepat-cepat mengamankannya.
“Balikin, Cha.” Seru Aggnie tanpa ekspresi.
Ia ambil blackberry dan mencari kontak Chakka. Ingin cepat-cepat menyemprot cowok itu dan menyuruhnya membatalkan keberangkatannya ke Thailand. Aggnie bukan egois, tapi Aggnie sedang tak ingin di tinggal sendirian. Dalam keadaan dia yang selalu terserang morning sickness seperti orang kesurupan, belum lagi ngidam-ngidamnya yang terkadang gak masuk akal, dan la-la-la lainnya yang membutuhkan keberadaan Chakka. Intinya, kalau Chakka maksa tetep harus ke Thailand, Aggnie harus ikut. Kalau tidak diizinin, Aggnie bakal marah selamanya dengan Chakka. Selamanya !
Tapi gak mungkin nelpon Chakka di depan Acha. Aggnie meringis menatap cewek berkacamata di depannya ini. Ah, bbm-in aja.

Kamu dimana ?
Aku mau ketemu. Ada yang penting.
PING !!!

Aku di studio. Lagi latihan.
Kenapa sayang ? Kamu dimana ?

Aku ke sana sekarang !

Aku jemput ya ?

Gak perlu !

Egi, kamu kenapa ?
Kok kayak marah gitu ?

Kamu bakal tau nanti !

“Cha, gue duluan ya. Ada yang penting.”
“Mau kemana, Ag?” Tanya Acha hati-hati. Muka Aggnie yang keruh membuat Acha meyakini bahwa ada yang tidak beres dengan temannya ini. “Mau aku temenin?”
Aggnie tersenyum lemah. Ia menggeleng. “Gak usah, Cha. Gue bisa sendiri kok.” Sambil menyampirkan tasnya, Aggnie memberikan sebuah buku besar pada Acha. “Thankz ya, Cha. Nanti gue pinjem lagi.”
“Kalo masih perlu, lo bawa aja.” Saran Acha.
Cewek itu mendesah lirih. “Yaudah, minggu depan gue balikin.”
“Iya.”
Aggnie melangkah menjauh dari hadapan Acha. Kepala yang mendadak berdenyut mengganggu ia coba abaikan. Drop urusan nanti deh, yang penting gue harus ngelabrak tu cowok sialan, tekadnya.
::
Entah kenapa, Chakka yakin sekali, pasti ada yang tidak beres dengan si doll eyes itu. Dari bahasa-bahasa di bbm, kentara sekali bahwa Aggnie dalam balutan emosi yang tidak stabil. Chakka gak habis pikir, kenapa orang hamil itu hobi banget bikin jantung jumpalitan. Sikapnya suka aneh-aneh, dan emosinya juga suka tidak menentu. Dan itu juga berlaku—ternyata—pada Aggnie. Aggnie kadang suka bete gak jelas, dipelototin dikit aja udah berkaca-kaca, and-so-on-and-so-on. Chakka memasukkan blackberry-nya ke kantong, dan balik ke room.
“Gabriel belum datang?” Tanya Via agak kesal. “Dasar kunyuk, selalu lelet. Dia emang gitu tuh. Aggnie aja dulu sering banget dibiarin nunggu-nunggu gak jelas di parkiran gedung Fakustra. Katanya mau jemput, yang ada Aggnie lumutan duluan deh.”
Chakka panas dingin mendengar short story ala Via. Walau singkaaat banget, tapi Chakka tidak suka bila ia diingatkan bahwa yang ia miliki sekarang pernah dimiliki orang lain. Chakka tidak suka mendengar kenangan orang yang ia sayang dengan orang lain.
Via berujar lagi. “Kak, kita nunggu diluar yuk. Kak Ray juga kan lagi ke toilet. Yuk, Kak.” Via menarik tangan Chakka. Gak peduli dengan gemeretakan dari gigi cowok itu—yang menandakan bahwa ia sedang menahan amarah.
Sepanjang dari room ujung sampai ke lobi utama, Via terus saja ngedumel gak jelas. Sekali-kali ia menarik tangan Chakka, lalu meninju pelan tangan itu. Via gak sadar sama sekali bahwa Chakka tak merespon apapun.
Di lobi utama.
Keduanya diam membeku.
Chakka dan Via berlari hampir bersama, dengan ritme kebingungan yang sama.
Lalu disusul teriak ketakutan.
::
Aggnie menutup pintu taksi dengan sekali bantingan. Ia berjalan cepat ke gedung di hadapannya. Selain untuk menghindari panas yang membakar, ia juga ingin cepat-cepat menemui Chakka.
Seseorang juga ikut masuk—bersamaan dengannya.
Gabriel.
Aggnie mengerang kesal. Kemarahannya tiba-tiba saja menguar.
“Ergh, apaan sih?!”
Gabriel jelas kaget dibentak begitu. Cowok itu sampai terheran-heran.
“Sorry, kamu masuk duluan.”
“Emang harus gitu!” Tanpa sadar Aggnie menjawabnya dengan kesinisan yang teramat sangat. “Dasar cowok, kalau gak bikin kesel, ya bikin marah. Gak punya otak banget.” Makinya pedas.
“Tunggu—” Gabriel menahan lengan Aggnie, cewek itu terpaksa berbalik, menatap wajah Gabriel tak sabaran. “Kalau ada masalah dengan satu orang, jangan ngelampiasin ke orang lain gitu dong, Ag.”
“Harusnya kamu bilang itu ke diri kamu sendiri.” Aggnie berdesis, sarat emosi kemarahan. Ia bersidekap di depan Gabriel. Menatap Gabriel dalam-dalam. “Kamu sendiri ngapain sok akrab dengan Chakka? Mau ngancurin rumah tangga aku? Mau ngerusak? Iya?”
Gabriel tersenyum remeh. “Jadi sekarang sifat si Cakrawalla itu nular ke kamu?” Tanyanya sinis. Ia tatap Aggnie dengan tatapan yang sangat menyudutkan. “Sejak kapan kamu keliatan kayak cewek gak ber-attitude seperti ini? Kamu belajar retorika, kan? Belajar pragmatik, kan? Harusnya bisa menempatkan diksi pada porsinya.” Jelas Gabriel panjang lebar. Seakan dunno banget dengan  muka Aggnie yang sudah merah padam. “Dulu itu kamu gak pernah nuduh-nuduh aku, selalu baik, selalu lembut. Tapi sekarang, you are so—
Plakkk!
“See? Ini nular dari Cakrawalla juga?”
Entah bagaimana, mereka malah terlibat adu mulut. Aggnie berteriak-teriak marah. Untung sedang jam makan siang, jadi orang-orang di studio itu lagi pada break. Mendapati tiket pesawat Jakarta-Thailand atas nama Chakka saja sudah cukup membuat Aggnie ingin harakiri. Ia tak bisa membayangkan menjalankan hari-hari tanpa Chakka. Ia sudah sangat bergantung pada cowok bossy itu. Dengan kondisi kehamilannya yang lemah sekali, Aggnie hanya memiliki Chakka yang setia membantunya setiap saat. Walau menurut tiket itu Chakka hanya tiga hari di Thailand, tapi Aggnie bahkan gak mau hanya sejam tinggal sendirian di rumah tanpa Chakka.
Alasan lain. Sejak Gabriel kembali muncul dalam hidupnya, ketakutannya bertambah satu level, dua level, tiga level—bertambah berlipat-lipat tak terkontrol. Aggnie takut Gabriel menyakitinya—oh takut Gabriel membuat ia sakit kalau saja cowok itu berhasil membuat perpecahan antara dirinya dan Chakka.
Aggnie gak mau itu!
“Ag, Aggnie. Aggnie!” Gabriel berusaha meraih lengan Aggnie yang bergerak brutal memukuli dadanya dengan sebuah buku besar. “Stop it!!!” Bentaknya.
Aggnie terdiam.
“Listen, aku gak akan begini kalau dia gak mulai duluan.” Gabriel mencengkram kuat-kuat lengan mungil cewek itu. “Aku gak punya niat jahat yang mungkin seminggu ini selalu memenuhi pikiran kamu. Aku hanya ingin memastikan bahwa orang yang mengacaukan hubungan kita adalah orang yang memang tercipta untuk kamu. Bukannya orang gak jelas yang Cuma mampir sebentar, lalu pergi.”
Awalnya, memang begitu. Tapi semua rencana licik ini memudar dan hilang saat ia melihat betapa bahagianya Aggnie bila di dekat Chakka. Hampir seminggu selama latihan Chakka selalu membawa Aggnie. Chakka yang begitu perhatian pada Aggnie, begitu lembut, tatapan yang penuh cinta, membuat Gabriel malu pada dirinya sendiri. Kapan itu saat Chakka mendatanginya dan memintanya sebagai personil ‘band darurat’-nya, Gabriel menyetujui dan menyusun rencana jahat. Ia akan menghancurkan rumah tangga mereka dan merebut Aggnie-nya kembali.
Gabriel kemudian sadar, Aggnie hanya kenangan indah masa lalu. Benar kata Aggnie di kantin tempo hari, kalau Gabriel menyayangi Aggnie maka Gabriel harus merelakan Aggnie. Mungkin istilah kuno seperti ‘mencintai bukan berarti memiliki’ sedang coba ia pahami saat ini.
Sudahlah, terpenting sekarang Aggnie harus bahagia. Sumber kebahagiaan Aggnie adalah Chakka. Gabriel tidak akan terganggu lagi akan hal itu. Ya, semua demi Aggnie.
“...”
“...”
“BOHONG!”
Aggnie menarik kuat-kuat tangannya dari genggaman Gabriel. Lepas. Namun di detik itu dia terhuyung, untung saja ia sempat menjangkau Gabriel untuk bertumpu. Ia jatuh kepelukan Gabriel. Jantungnya berdegup sangat kencang. Ia kaget sekali, juga ketakutan kalau sampai tadi ia benar-benar terjatuh. Bisa sangat berbahaya untuk kandungannya. Buku besar yang ia pegang melayang dan mendarat tepat di samping kaki keduanya. Menyebabkan suara ‘bukk’ bergema.
“Cha—kk—kka...”
Aggnie memeluk tubuh Gabriel dengan posesif. Ia lingkarkan kuat-kuat tangannya di pinggang cowok itu. Ia benamkan kepalanya dalam-dalam di dada Gabriel. Detak jantungnya semakin tak beraturan. Sakit kepala yang sedari ia tahan—dan sempat hilang—langsung muncul kembali. Pijakan Aggnie goyah. Gabriel cepat-cepat membimbing tubuh lemah Aggnie ke sofa. Mendudukkannya, dan kembali memeluk tubuh gemetaran cewek itu—mencoba menenangkan.
Tak pernah ia melihat wajah sepucat ini, tak pernah ia merangkul tubuh seketakutan ini, tak pernah juga ia merasakan getaran hebat pada jemari mungil si barbie yang pernah menjadi miliknya ini. Tak pernah ia membelai begitu hati-hati rambut panjang cewek ini, tak pernah ia menahan sekuat tenaga hasrat untuk mengecup lembut ubun-ubun beraroma green tea di hadapannya ini. Cewek ini terlihat sangat gamang. Makanya Gabriel tak juga melepas pelukannya, malah semakin memeluk dengan erat.
Tapi situasi tak terencana itu seketika rusak—oh dirusak dengan tarikan tiba-tiba yang Gabriel rasakan di kerah bajunya. Lalu pukulan bertubi ia rasakan—di pipi, di perut, di pipi, di perut.
“AAAAAAA !!!”
Gabriel gak tau itu teriakan siapa. Cowok itu jatuh tak berdaya ke ubin. Mukanya lebam—bibirnya pasti sobek, ada darah yang menetes-netes dari sana. Dan perutnya pasti memar-memar. Yang bisa ia lihat hanya mata berkaca-kaca Aggnie yang menatapnya lurus-lurus. Lalu cewek barbie itu terlihat diseret-seret tanpa perasaan.
Selebihnya...
...
...
...
::
Seperti Justin Timberlake yang takut kehabisan waktu seperti di In Time, Chakka dengan terburu-buru turun dari BMW hitam metaliknya.  Lalu menyeberang ke pintu mobil sebelahnya, membukanya, dan menyeret si penumpang. Rasa iba, empati, dan simpati—fine! Chakka sangat tidak berprikemanusian saat tak mempedulikan cewek yang ia seret-seret itu sedang menangis terisak-isak. Tak ia pedulikan rintihan dan ringisannya. Ia terus menariknya, hingga ke kamar. Lalu mendorong cewek itu ke tempat tidur.
“FUCK-OFF !” Teriak Chakka seperti orang kesetanan. “Kamu—arghhh...”
Chakka berlari penuh nafsu ke meja rias, lalu menghamburkan semua yang ada di sana. Melempar semua bantal. Tangannya yang putih langsung memerah sesaat setelah tangan itu mendarat keras di dinding dekat lemari.
“Arghh...”
Sosok mungil di sudut tempat tidur tak kuasa lagi menahan airmatanya agar tak mengalir semakin deras, isakannya yang ia tahan pun tiba-tiba saja menggelegar memenuhi kamar. Tanpa ia ketahui itu malah semakin memancing emosi Chakka. Cowok itu sudah seperti singa kelaparan. Matanya berkilat-kilat marah.
“Nangis! Nangis aja bisanya!!!” Bentaknya sangat keras.
“...”
Chakka makin kesal. Ia berjalan cepat ke arah Aggnie. Ia dongakkan dengan kasar wajah cewek itu.
“What do you want?!” Desisnya.
“Aku—AAA—
Telat sepersekian detik menundukkan kepala, tinjuan Chakka pasti sudah menyobekkan bibir cewek itu.
Chakka...
Aggnie berlari ketakutan. Keluar dari kamar. Membanting kuat-kuat pintu kamar.
Ke kamar tamu di lantai bawah.
Ia kunci pintu itu dua kali. Lalu merosot ketakutan di sisi pintu.
Chakka itu bossy: suka nyuruh-nyuruh, suka seenaknya, suka gak mau tau apapun. Chakka juga tempramental: suka marah mendadak, suka ngebentak tanpa sadar, suka teriak-teriak gak jelas. Tapi Chakka gak pernah mukul. Gak pernah. GAK PERNAH!
Ia telungkupkan wajahnya di telapak tangannya yang mungil. Cewek itu menangis tersedu-sedu. Sebegitu marahkah Chakka? Sampai ingin menampar—bukan, tapi meninju dirinya. Kenapa gak nanya dulu? Tadi Aggnie Cuma hampir jatuh dan Gabriel nolongin. Lalu Aggnie ngerasa ketakutan banget, sampai-sampai gak sadar dia memeluk Gabriel begitu intens. Dia hanya mencoba menetralisir kekagetannya.
Kenapa Chakka gak mau tau itu? Chakka langsung nonjok-nonjok Gabriel. Memamerkan bahwa ia begitu berkuasa atas Aggnie—sehingga hanya ia yang boleh menyentuh cewek itu. Chakka menjalankan semuanya sesuai dengan intruksi emosinya. Tak mempedulikan apapun. Ia hanya tau yang ia lihat, yang tak ia lihat maka bukan menjadi sesuatu yang penting baginya.
Aggnie memeluk perutnya.
Kenapa papa kamu seperti ini sih, sayang?
::
Pukul 05.15
Aggnie teropoh-gopoh ke kamar mandi. Muntah—again. Morning sickness yang tak ada habis-habisnya sejak dua bulan lalu. Sudah konsultasi ke dokter, tapi dokter hanya mengatakan bahwa memang ada sebagian ibu hamil yang begitu. So damn. Aggnie-lah sebagian dari itu. Dan hari ini tak ada Chakka yang biasanya juga ikut kerepotan. Ia sendirian. Alone. Lonely.
Kreek...
Keran dimatikan. Ia duduk sempoyongan di atas kloset. Memfokuskan kembali pandangannya sambil memijat-mijat keningnya. Dua detik kemudian—kembali muntah. Lebih menyakitkan, karena yang ini tak keluar apapun namun mualnya semakin menjadi-jadi. Ya Tuhan, Aggnie pengen mati aja.
Heh!
Mikir apaan sih.
Aggnie tertatih-tatih keluar dari kamar. Dia ingat bahwa ia harus meluruskan masalah kemarin dengan Chakka. Dia gak mau berlama-lama selisih paham begini. Minus amukan Chakka kemarin, Chakka sepenuhnya hanya salah paham dan hanya terbawa emosi. Aggnie harus segera meluruskan. Harus.
Aggnie keluar dari kamar tamu, harus saat ini juga ia jelaskan semuanya kepada Chakka. Jangan sampai ini berlarut-larut dan membuat semuanya semakin runyam. Sebelumnya ia ke dapur dulu, muntah-muntah membuatnya haus.

Aku ke Thailand. Seminggu.

Hah?!
W-What? S-Seminggu?
Airmata cewek itu langsung meluruh. Nafasnya tersengal-sengal. Ia remas kuat-kuat memo yang tadinya menempel di kulkas itu. Memo kuning yang dibubuhi kalimat pendek oleh Chakka. Yang berhasil membuat suasana hati Aggnie semakin porak poranda.
Check list!
Kemarin: salah bawa surat—yang kebawa tiketnya Chakka. Kesel. Ke studio minta penjelasan. Ketemu Gabriel. Double kesel. Perang mulut. Hampir jatuh. Ketakutan—kalau saja beneran jatuh. Pelukan sama Gabriel, ke-gap Chakka. Chakka salah paham. Bertengkar hebat. Pisah ranjang.
Hari ini: morning sickness—again. Nemuin memo yang isinya SO HELL!
Aggnie pengen ngadu ke Via. Cuma cewek shop-shop-wine itu yang ia punya sekarang. Pasti Via punya 1001 cara yang bisa—setidaknya membuat Aggnie sedikit plong.
“Halo...”
“Viaaa...” Rengek Aggnie nelangsa. “Chakka ke Thailand. Seminggu. Hikz...”
“Hah? Serius lo? Kapan?”
“Gue gak tau. Gue Cuma nemu memo di pintu kulkas.” Aggnie terisak-isak. “Gue bisa apa tanpa dia, Vi? Hikz... Pokoknya gue harus nyusul ke Thailand.”
“Eh, Ag, gila lo.” Via kaget-too-much di seberang sana. Yakin dia pasti udah jumpalitan gak karuan. Aggnie ini nekat. Jadi Via tau banget tabiat Aggnie yang sebenar-benarnya. “Ag—
“Gue mau nyusul Chakka.”
“Hah—
Klik.
::
Via melompat turun dari tempat tidur. Tak ia pedulikan gumaman-gumaman protes yang berasal dari sosok yang masih setengah terpejam di atas tempat tidur. Ia pakai cepat-cepat underwear-nya, lalu menarik gaun selutut dari dalam lemari. Lalu Via lari ke kamar mandi, cuci muka, mengeringkannya, dan memakai pelembab. Semua ia lakukan dengan gerakan yang sangat cepat. Rambut ia konde asal-asalan.
“Sayang, mau kemana siihh?”
Via menepuk jidatnya. Sampai lupa kalau ada Rion di tempat tidur. Yang semalam menemaninya curhat, lalu nemenin makan, lalu nemenin—thinking deh ya. Via mencium kilat bibir cowok itu. “Aku keluar sebentar ya, sayang. Sebentaaar aja.”
Cowok itu mengerang. “Mau kemanaaa?” Tanyanya kesal. Yaampun, orang normal mana sih yang gak kesal pagi-pagi udah di tinggalin sendirian? Mana masih pagi banget lagi. Masih pengen di atas tempat tidur dan pastinya gak sendirian.
“Pokoknya gak lama. Nanti kita lanjutin pas aku pulang.” Via mengerling nakal. Ia usap-usap pipi cowok itu. “Terserah kamu deh mau sampai kapan.”
Memastikan bahwa Rion batal ngambek, Via langsung nyelonong keluar dari kamar. Lari-lari ribut nyariin kunci mobil—haduuh, dibuang kemana ya semalem? Ketemu. Sesegera mungkin dia ke basement.
::
Aggnie masih natapin Blackberry, lalu natapin memo kuning yang udah gak ada bentuknya lagi. Ke Thailand? Aggnie gak yakin juga sih buat nyusul. Dokter kandungannya gak ngizinin Aggnie buat naik pesawat dulu. Karena katanya kandungan Aggnie lemah. Dan lagi pada dasarnya Aggnie emang gampang capek. Jadinya gitu deh. GALAU! Too-much.
Nelpon Kak Ray? Ah, yang bener aja. Childish banget ngadu-ngadu begitu (Remember, dia baru aja ngadu ke Via, by the way).
Nelpon papa slash nelpon mamanya Chakka? Ah, gak, gak. Aggnie gak mau. Ini rumah tangganya. Dia yang menjalani, berarti semua-mua yang ada di dalamnya adalah mutlak tanggung jawab dirinya. Bukan Sreevia, mama, papa, Kak Ray, apalagi tetangga sebelah.
Ia urut-urut lengannya sendiri.
Sedih banget tau gak sih.
Berantem sama hubby? Mana lagi hamil pula. Aggnie yang dasarnya manja jadi semakin manja sejak hamil. Ingin selalu dimanja-manja. Syukurlah, sejak hamil sikap Chakka berubah baik dan suami idaman banget. Tapi sekarang Chakka pergi. Meninggalkan Aggnie.
Air mata kembali keluar dari matanya yang sembab.

::

YOUKAUGATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang