#11

380 23 3
                                    

Part Siblah #11
The Cakrawalla
“...Ku hanya ingin mencoba mendapatkan dia untuk selamanya bahagia dalam hidup. Ku takkan pernah meninggalkan dan lupakannya, sampai kapanpun juga kita selalu bersama...”

::

Mata keulagak ulee
Aggnie pernah dikatain begitu sama Kak Dera. Waktu kecil Aggnie sering kesandung, dan kalimat magis mata-keulagak-ulee made in Kak Dera selalu ia dapatkan setiap kecerobohan itu ia lakukan. Papa Aggnie keturunan Aceh asli. Mama Aggnie orang Jakarta. Mereka bertemu saat Papa Aggnie kuliah di UI. Sepele : Kenal, lalu akrab, lalu saling suka, lalu saling cinta, lalu memutuskan pacaran, lalu memutuskan menikah saat sama-sama selesai wisuda. Mama Aggnie adalah anak tunggal dari keluarga kaya. And so on, and so on, keluarga mama Aggnie mempercayakan perusahaan mereka diteruskan oleh Papa Aggnie. Hingga saat Aggnie SMP, sang mama pergi untuk selama-lamanya karena serangan jantung.
Tinggallah Papa, Kak Ray, Kak Dera, Kak Rio, dan Aggnie.
Dari kecil, keluarga mereka menanamkan adat timur yang sangat kental. Adat yang mengatakan bahwa kehormatan keluarga adalah segala-galanya. Sangat kental. Hingga Papa Aggnie mengajarkan bahasa Aceh pada semua anak-anaknya. Dan Kak Dera lah yang paling suka menyelipkan bahasa daerah setiap kali berbicara.
“Ag—
“Jadi Chakka di Bandung?”
“I-iya. I’m so sorry, bebeh.”
Aggnie Cuma membalas dengan senyum tipis. Gak ada tenaga lain untuk merespon pengakuan temannya ini. Tapi jujur dia senang karena ternyata Chakka tak benar-benar meninggalkannya (Fine! Bagi Aggnie, yang penting Chakka gak jauh-jauh dari dia walaupun saat ini Chakka sedang tak bersamanya). Setidaknya Chakka sekarang baik-baik saja. Aggnie lega, sedikit. Selebihnya adalah perasaan ketar-ketir tentang ‘apakah Chakka sudah memaafkannya?’. FYI, Aggnie merasa bersalah atas kejadian tempo hari. Tragedi Chakka marah-marah, then hampir nonjok dia, then membohonginya, then Aggnie melupakan itu semua. So, Cakrawalla, where are you? Come back NOW, bastard!!!
Di tengah-tengah suasana yang rumit dan  beku—Rio yang tadi niatnya mau marahin Aggnie karena mengganggu ‘paginya’ malah diam tak berkutik saat melihat ternyata sahabat pacarnya itu emang bener-bener kacau-too-much—tiba-tiba pintu depan terbuka. Terjerembam. Serentak semua menoleh.
“Bunda?”
“Aggnie sayang. Kamu baik-baik aja kan?”
Tante Rea berlari untuk memeluk Aggnie. Ia usap-usap penuh sayang punggung menantunya itu. Bisa ia rasakan tubuh mungil Aggnie yang bergetar. Membuat Tante Rea semakin melotot marah pada Chakka.
“Gabriel udah jelasin semuanya.” Aku Chakka, pelan. Semua melihat Chakka. Sreevia yang paling kaget. Berarti cowok ini udah tau duduk masalahnya donk? Njing. Kecuali Aggnie—yang masih menangis terisak-isak di pelukan Tante Rea. “Maafin aku, Gi. Aku terlalu emosi untuk percaya sama dia.”
“Jadi kamu lebih percaya emosi kamu?” Tuding Tante Rea keras. “Kamu keterlaluan.”
“Bun, aku—
“Cukup, Chakka. Bunda akan bawa Aggnie ke Bandung. Kamu itu memang gak bisa dikasih kepercayaan. Bunda kecewa sama kamu.”
“Bunda ga—
“Diam kamu!” Tante Rea berteriak marah. “Via, kemasi barang-barang Aggnie. Dan temani Tante balik ke Bandung.”
“Bun, Bunda gak bisa gitu donk. Ini rumah tangga aku, Bun.” Chakka menahan tangan Tante Rea yang akan membawa Aggnie keluar. “Egi, aku minta maaf.”
Aggnie melepaskan pelukan mertuanya. Ia menatap Tante Rea dalam-dalam. Matanya sendu dan sarat kepedihan.
“Bun, aku gak bisa ikut ke Bandung. Bunda tenang aja, kami pasti bisa menyelesaikan masalah kami kok, Bun.” Ujar Aggnie pelan sambil mengusap air matanya. Ia berusaha meyakinkan Tante Rea. Dia gak mau ke Bandung, dia gak mau pisah dari Chakka lagi. Apapun yang akan ia terima dari Chakka nanti, semua whateva, yang penting ia bersama Chakka.
Dari ujung tangga, Via meneteskan airmata mendengar penjelasan Aggnie. Tadi ia ingat sekali bagaimana Aggnie sangat shock saat menelepon ke kantor dan orang kantor bilang Chakka gak ke Thailand. Chakka cuti seminggu untuk mengunjungi Tante Rea ke Bandung. Aggnie ngerasa bodoh banget. Bahkan sebagai sekretaris sementara Chakka, ia tak tahu-menahu tentang jadwal-jadwal Chakka akhir-akhir ini. Tugas-tugas kuliah dan kehamilannya terlalu memecah konsentrasinya.
Dan Aggnie semakin menangis terisak-isak saat tadi Via mengakui bahwa ia mengetahui keberangkatan Chakka ke Bandung. Chakka berpesan agar merahasiakannya dari Aggnie. Itu poin yang paling bikin Aggnie makin pengen mati aja. God, Chakka sampe ngejauhin dia. Chakka kenapa gitu sih?
Tante Rea menatap Chakka semakin tajam. Ada api kemarahan di sana. “Baiklah. Tapi kalo Chakka seperti ini lagi, Bunda gak akan pernah minta pendapat siapapun untuk membawa Aggnie ke Bandung.”
Semuanya menunduk dalam diam.
Di ujung dekat sofa, Chakka berdiri kaku, raut wajahnya mengeras.
Oh Cakrawalla, pleaseeee…
::
Suasana hening di kamar mereka.
Tante Rea pulang ke Bandung sejam yang lalu. Diantar oleh Via dan Rion. Yang tersisa hanya hati Chakka dan Aggnie yang sama-sama hampa—juga kosong. Sebenarnya ada kerinduan yang merambat di masing-masing relung jiwa mereka. Tapi ego yang tinggi seperti memotong rambatan-rambatan itu. Dan yang tersisa hanya kekakuan tak berarti.
Chakka berdehem pelan, membuat Aggnie menoleh. Tapi cewek itu cepat-cepat menundukkan lagi kepalanya. Ia takut melihat mata hazel itu.
“Aku dan El—
“Aku udah tau.” Potong Chakka datar. “Gak usah dijelasin lagi. Aku yang salah paham.” Walau begitu, nada bicara Chakka masih terdengar dingin dan sinis.
“Aku minta maaf.” Ujar cewek itu pelan. Ia mendekat ke arah Chakka. Takut-takut—mencoba merangkul lengan besar cowok yang sangat ia rindukan itu.
“Harusnya aku yang minta maaf.” Chakka menatap Aggnie lurus-lurus. Ingin sekali memeluk cewek itu, tapi separuh hatinya masih terbayang-bayang bahwa beberapa hari lalu ia melihat tubuh mungil istrinya ini berada di rengkuhan orang lain. Yang tentu aja Chakka tak bisa terima itu.
You are mine...
...and I am Yours.
Chakka ingin Aggnie mengerti itu.
Cewek itu memeluk tubuh Chakka erat-erat. Intens dan sangat posesif. Ia benamkan mukanya di dada Chakka yang lebar. Tak peduli bila Chakka akan menolak pelukannya ataupun tak membelas pelukannya. Tanpa Chakka minta maaf pun, demi Dewa Zeus, surga neraka, dan langit bumi, tentu saja Aggnie akan selalu menerima Chakka kembali—karena Chakka adalah nafasnya. Yang ia hirup setiap hari, yang tak akan pernah berhenti, yang bisa mati jika tak ada. Actually, bukan maaf Chakka yang ia perlukan, ia hanya perlu Chakka terus di sampingnya. Selamanya. Cewek itu menangis lirih.
“Jangan gini lagiiii...” Rajuknya.
“Asal kamu bisa memposisikan diri di posisi yang pas.”
Aggnie mengangguk cepat.
“Kamu istriku. Milikku. Punyaku.” Chakka menggenggam tangan Aggnie yang melingkari pinggangnya. “Hanya aku yang boleh nyentuh.”
“Iya, Kka.” Aggnie terisak pelan. “Maaf. Aku janji gak akan gitu lagi.”
Chakka membalikkan badannya, ia rengkuh pipi istrinya. Mengusap lembut air mata yang mengaliri pipi chubby-nya. Ia tumpukan keningnya di kening Aggnie. “Maafin aku ya, sayang. Maaf udah bentak-bentak kamu, udah hampir mukul kamu, dan udah ninggalin kamu.”
“Jangan gitu lagi. Gak ada kamu ngebuat aku kewalahan waktu morning sickness.” Rajuknya manja.
Chakka terkekeh pelan, ah bodoh sekali ia.
::
Chakka tersenyum samar melihat wajah cantik yang masih terlelap di sampingnya, yang tengah memeluknya perut telanjangnya. Tangannya terangkat untuk menyentuh kening Aggnie, turun ke hidung, lalu mengusap matanya, turun ke bibir, dan kemudian bibir itu di kecupnya dengan lembut. Penuh cinta dan kasih sayang.
Ternyata pilihan lo tepat banget, bisiknya dalam hati.
Ia rasakan tangan mungil Aggnie bergerak. Lalu tubuh yang hanya tertutup selimut itu berbalik menjadi membelakanginya. Membuat Chakka gemas karenanya. Jadi cowok itu memeluk tubuh mungil Aggnie, kemudian membenamkan kepalanya ke leher putih cewek itu. mengecup—juga menggigit manja. Tak ia pedulikan bahwa kelakuannya itu tentu saja akan mengganggu mimpi cewek itu. Ah, Chakka mana pernah peduli.
“Esshhh...”
Desahan Aggnie malah membuat Chakka semakin brutal menggigiti telinga Aggnie. Eh, tindik telinga kanannya memang tiga, Chakka baru menyadari itu.
“Esshhh, Chakka. Aku masih ngantuuuuk...”
Chakka turun menelusuri dada Aggnie. Ia kecup beberapa kali, kemudian mengulumnya.
“Chakkaaaa...”
“Hmmm...”
“Masih ngantuuuk...”
“Iya, aku pelan-pelan kok.”
Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, Aggnie mendorong kepala Chakka agar menjauh dari dadanya. Ia benar-benar masih sangat mengantuk. Tapi Cuma bertahan sedetik, karena kemudian Chakka berguling untuk menindihnya. Bisa ia lihat Chakka menyeringai penuh kemenangan. Dan Aggnie merasakan sesuatu memasuki tubuhnya—again.
“Eshhh, Chakkaaa...”
Kerinduan yang membuncah terbalaskan sudah.
Oh my hubby…
::
Keduanya seperti sedang bermain musik dengan ketukan jari dan meja sebagai medianya. Berirama, bersaut-sautan. Namun sebenarnya itu hanya pengaplikasian dari rasa penasaran juga tidak sabar. Ada rasa gugup yang menyusup di relung hati masing-masing.
“Itu dia.” Seru Chakka tercekat, membuat Aggnie menoleh mengikuti pandangan Chakka. Aggnie ikut tercekat. Walau pernah melihatnya di foto, namun ternyata melihat secara langsung begini benar-benar memerlukan kekuatan batin yang lebih ekstra.
“Hi, long time no see.” Sapa orang itu. Si mata kecoklatan yang pernah Aggnie lihat saat OSPEK hari pertama dan hari kedua. Kemudian Aggnie ketahui bahwa orang itu bernama Cakrawalla Alviansyah Willyan. Alvin. Kembaran Chakka.
Sangat identik. Seperti Ling dan Sheng di drama Asia MARS. Yang membedakan hanya matanya. Tatapan Sheng lebih misterius, sedangkan tatapan Ling penuh keceriaan. Mata Alvin kecoklatan, dan mata Chakka berwarna Hazel persis seperti mata David Archuleta—idola mati-matian Aggnie jaman SMA dulu. Ah, Aggnie sampai lupa menjabat tangan Alvin.
“Halo, Kak.”
Alvin tertawa renyah. “Panggil aja Alvin.” Lalu Cowok itu beralih melihat Chakka yang responnya terlalu biasa saja untuk ukuran lima tahun tak bertemu kembarannya. Ekspresi Chakka tetap sebagaimana Aggnie lihat sehari-hari. Datar, angkuh, sombong. Gak ada ramah-tamahnya sama sekali. Kecuali di tem—okay, Aggnie. Stop it.
Chakka Cuma menarik sedikit sudut bibirnya saat Alvin merangkul bahunya. OMG, buang laki-laki ini ke zimbabwe! Kelewatan-too-much cueknya.
“Kapan ke Bandung? Absen muka dulu ke nyokap.” Ujar Chakka—always ketus plus sinis. Gak ada kekerabatan sama sekali. Boro-boro menunjukan rasa kangennya.
“Besok deh.”
“Bagus kalo gitu. Nih kunci apartment gue.”
“Lho, Alvin nginap di rumah kita aja, Kka.” Tukas Aggnie cepat-cepat. Dia gak tega banget membayangkan kalo Alvin harus nginap di apartment si bossy. Nanti makannya gimana? Kan kulkasnya kosong. Kalo nyari makan di luar, kalau nyasar gimana? Alvin kan udah lima tahun gak ke Jakarta. Aggnie gak bisa membayangkan. Alvin dan Chakka itu seperti pinang di belah dua. Sama dan sebangun. Jadi, sedikit banyak, kalau Alvin kenapa-napa, Aggnie juga seperti melihat Chakka kenapa-napa. Ah, gak mau, gak mau.
“Gak, gak!” Protes Chakka gak terima.
“Kka, Alvin kan kakak kamu. Kamu tega banget sih?”
“Gi, si Alvin ini udah biasa sendirian. Dia sakit selama ini juga sendirian. Buktinya dia gak mati, kan?” Dan Chakka bener-bener gak punya perasaan.
“Kka—
“Udah, udah.” Alvin tersenyum kecil. Ia tertawa aneh saat matanya tak sengaja beradu pandang dengan mata Aggnie. “Gue nginap di apartment Via aja.”
“Tap—
“Tuh, orangnya juga gak mau.” Sela Chakka remeh. Ia menggapai tangan Aggnie. “So, kita pulang sekarang.”
Mereka sering di sebut The Cakrawalla. Kembar identik. Identik hanya dalam segi rupa. Yaitu wajah yang sama, warna rambut yang sama, postur yang sama, suara yang sama—kecuali mata. Tapi watak, Chakka 200 kali lebih brengsek dari Alvin. Iya, mereka sama-sama keras kepala dan suka berteriak. Tapi Alvin lebih mempunyai hati, lebih mengalah, lebih tidak mengikuti emosi. Beda dengan Chakka yang angkuh, selalu bangga akan kekayaannya, playboy, sombong, bossy, tempramen. Saat kecil, mereka sama-sama manis dan sebagaimana anak kecil lainnya. Namun Chakka entah mengapa tumbuh menjadi pribadi yang brutal dan penuh emosi.
Saat SMA, Alvin di-diagnosa kelainan ginjal. Kata dokter, satu ginjal Alvin tidak bekerja dengan sempurna. Itu pertama kalinya Chakka, si brandalan sekolah, menangis sambil memeluk Alvin. Walaupun beberapa menit kemudian ia kembali brutal dan seperti tidak punya perasaan.
Hingga kuliah, Alvin masih bertahan dengan ginjal yang mulai rusak. Karena tidak ingin mengkhawatirkan Tante Rea, Alvin pindah ke Jakarta, dengan alasan yang sangat dibuat-buat. Dan Chakka stay di Bandung.
Mereka selalu berkominunikasi lewat chatting. Setiap waktu, setiap saat. Keterbiasaan mereka selalu bersama seperti mengharuskan mereka untuk selalu berkomunikasi. Walau Chakka selalu memanggil Alvin ‘penyakitan’ tapi sesungguhnya Chakka-lah yang paling takut kehilangan Alvin.
Tante Rea gak pernah tau bahwa ginjal Alvin semakin kronis. Alvin dan Chakka menyimpan rapat-rapat rahasia itu dari mama mereka.
Walau Chakka terkesan gak peduli, tapi Chakka tak pernah tak menyimpan semua kenangannya dengan Alvin. Itu sebabnya mengapa Chakka membuat satu folder khusus untuk mereka berdua. Semua chattingan mereka selalu ia print screen. Chakka hanya ketakutan bila suatu hari Alvin pergi meninggalkan dia dan dia tak mempunyai satu hal pun untuk mengenang Alvin.
Chakka selalu curhat ke Alvin, tentang apapun itu.
Jangan marah ya, Ag, soal Alvin yang ngasihin lo ke Chakka. Alvin Cuma pengen Chakka gak salah milih cewek lagi. Dulu, waktu kuliah, Chakka pernah pacaran sama cewek paling cantik di kampus kita, tapi cewek itu mengkhianati Chakka. Dia selingkuh. Dan gak hanya itu, dia fitnah Chakka yang gak-gak di akun facebook pribadinya. Entah gimana, ketauan sama Alvin. Alvin marah banget adiknya digituin. Dia nyari cewek itu dan mempermalukan cewek itu di depan umum.
Lo kenal kok, anak Fakustra juga. Angkatannya Alvin.
Oia, sekarang lo bisa narik kesimpulan donk kenapa anak kampus gak ada yang tau lo udah gak sexy-free-and-single lagi? Coz gak diundang ke acara kawinan lo. Dan gak di undang karena Chakka emang bukan anak situ. Senior lo itu Alvin. Chakka waktu itu Cuma ngegantiin Alvin doank. Aslinya mah Chakka kuliah di Bandung. Ambil musik juga sih.
Finally, sejak dikhianatin ama ceweknya itu, Chakka jadi makin dingin dan angkuh. Apalagi nama Chakka sempet dibikin jelek banget ama tuh maklampir. Dia gak mau nyari-nyari pacar lagi. Jadi Alvin turun tangan. Dia nemuin lo di antara ratusan junior Fakustra. Finally, Alvin nganggap lo cocok ama Chakka. Watak Chakka yang keras bisa luluh kalo diadu dengan watak lo yang gak jelas itu. Hihihi...
Tante Rea gak pernah tau kalo Alvin sampe harus dapet pendonor ginjal. Dan selama lima tahun ini Alvin tinggal di Singapore untuk perawatan dan pemulihan. Alvin buka cabang perusahaan juga sih di sana.
Oia, tau gak kenapa Kak Chakka kadang suka merintah ini-itu? Karena sebenarnya dia sama aja kayak lo, gak bisa capek. Jadi apapun yang menurut dia melelahkan, ya dia nyuruh orang buat ngerjain. Tapi jadi keenakan dan yang gampang juga dia nyuruh orang buat ngerhain. Dia Cuma punya satu ginjal, ginjal satunya ada di tubuh Alvin.
So sweet ya ?
Aaaa, gue pengen punya anak kembar, bebeh...
“Tenang, anak gue ada kok nanti.”
“Hah? Anak lo kembar?”
“Menurut dokter sih gitu. Soalnya kantung kehamilannya ada dua. Ah, gue sempet bingung tadinya, soalnya di keluarga gue gak ada keturunan kembar. Ternyata laki gue yang kembar.”

“Oke, sekarang aku mau kita bertiga jalan-jalan dulu. Ke dufan ya?” Aggnie mengangguk-angguk senang sambil menatap mata Chakka penuh pengharapan bahwa si bossy itu akan setuju.
Alvin terkekeh kecil. Bisa ia lihat muka Chakka yang memerah karena menahan marah. Matanya yang hazel itu seakan mau keluar. Ia pasti kaget-too-much mendengar permintaan chessy Aggnie.
But, Chakka ngangguk. Alvin kali ini tersenyum bahagia. Maybe, ini sepertinya bisa di nobatkan sebagai senyuman terlebar yang pernah tercipta. Finally, Chakka, kembarannya yang 200 kali lebih brengsek darinya itu, telah menemukan seseorang yang bisa mencairkannya yang beku dan penuh tekanan tindak tanduk ke-bossy-an yang ia punya.
See, pilihan gue tepat, kan?
::
Apa yang membuat seseorang jatuh cinta? Apa yang membuat orang patah hati?
Aggnie lupa apa yang membuatnya jatuh cinta, tapi dia tahu bahwa berjauhan dengan Chakka membuatnya patah hati. Chakka telat pulang kerja, dia uring-uringan persis seperti istri diselingkuhi suami. Dan sekarang dia uring-uringan karena Chakka tak kunjung kembali dari toilet. Terpaksa Aggnie masuk ke ruang periksa sendirian. Bete-too-much. Berasa gak punya suami.
“Ibu mau mendengar detak jantungnya?”
Agni berdehem gelisah. “Tunggu suami saya dulu ya, Dok? Bisa gak?”
Dokter mengulum senyum ramah. “Bisa kok. Suami ibu masih di jalan ya?”
“Bukan, suami saya lagi di toilet.” Pintu ruang dokter terbuka. “Nah, itu suami saya. Kamu kemana aja sih? Lama banget.” Aggnie merengut kesal. Ia ulurkan tangannya agar di genggam Cakka.
Cakka berdehem pelan sambil melirik sang dokter. “Toiletnya ngantri, Sayang. Maaf ya…” Lalu Chakka mencium kening istrinya penuh kelembutan.
“Nah, papanya sudah datang, mau mendengar detak jantungnya?”
Keduanya mengangguk nyaris bersamaan.
Aggnie menggenggam tangan Chakka lebih erat. Ah, detak jantung anakku… Terdengar begitu merdu di telinga Agni.
“Kok detak jantungnya sahut-sahutan?” Cakka bertanya bingung.
“Karena ada dua jantung yang berdetak.”
Cakka melongo bodoh. Ia menatap Agni, istrinya itu hanya membalas tatapannya dengan cengiran aneh.
“Anak kita kembar, Sayang.”
Cakka menggumamkan kata ‘hah’ dengan intonasi yang gak banget. Lengannya di pukul pelan oleh Agni.
“Bapaknya kembar, wajar keles anaknya juga kembar.”
Dokter menoleh ketika mendengar ucapan Aggnie, membuatnya penasaran. “Suami ibu kembar?”
Aggnie mengangguk semangat. “Iya, dok. Kembar identik. Miriiiiip banget.”
“Wah…” Dokter tergelak. “Jangan sampe salah suami tuh, bu.”
Aggnie ikut tergelak. “Ya gak dong, dok. Masa’ sama suami sendiri gak hapal.”
Chakka terlalu takjub dengan informasi yang ia dengar, jadi dia hanya diam saja sambil memperhatikan layar yang sedang memperlihatkan kehidupan buah hatinya. Kembar? Anaknya kembar? Dia akan memiliki dua anak sekaligus? Ya Tuhan…
“Sudah ya.” Dokter meletakkan kembali alat USG. Ia bersihkan perut Aggnie yang dilumuri gel. Dibantu Chakka, Aggnie turun dari bangkar dan berjalan ke meja dokter. Berbincang sebentar, pasangan suami istri itu keluar dari ruang periksa.
Berjalan ke arah apotek, Chakka tak tahan lagi untuk menyuarakan isi kepalanya. “Enak banget tuh dokter pegang-pegang kamu. Kamu ganti dokter kok gak bilang-bilang aku sih?”
Sebenarnya Aggnie ingin tertawa, tapi takut si bossy ini makin ngamuk. Aggnie memeluk lengan Chakka. “Itu asistennya, Kka. Dokter aku lagi ada seminar di luar kota.”
“Kali ini boleh ya kecolongan, besok-besok gak ada lagi. Walau dia dokter, dia tetap cowok. Ingat, Cuma aku satu-satunya cowok yang boleh pegang-pegang kamu.”
“Iya, sayang, iya.”
Mungkin, ini yang membuat Aggnie jatuh cinta. Sepertinya.
::
Note : Mata Keulagak Ulee : Mata sebagai hiasan kepala (biasanya digunakan sebagai sindiran dan diucapkan dengan nada sinis)

::

YOUKAUGATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang