Part 4

177 137 31
                                    

  Setelah berjalan cukup lama menemani Nia mencari keponakannya, akhirnya aku bisa duduk kembali di atas pasir seperti semula. Namun, aku juga tak tega melihat Nia murung karena tak berhasil menemukan keponakannya.

"Nia." Aku menempatkan telapak tanganku di atas pundak Nia, dan Nia menoleh perlahan ke arahku.

"Apa?" tanya Nia dengan nada suaranya yang kecil.

"Ayo kita coba cari lagi," ucapku.

  Aku dapat melihat Nia menggeleng kecil, dan matanya terfokus pada aktifitas manusia yang berada beberapa meter darinya.

"Gak usah Fel, nanti juga kalau dia ada di sini, pasti kita ketemu lagi."

  Aku mengangguk pelan, karena apa yang Nia ucapkan memang benar adanya. Mengingat bahwa manusia yang aku lihat di tempat ini sedikit berkurang, entah berkurang berapa tapi aku merasa manusia-manusia ini semakin sedikit jumlahnya.

  Buktinya tak ada keponakan Nia, dan aku sangat heran dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Semua terjadi benar-benar bukan seperti nyata, tempat yang kosong, tanpa ujung, dan kehidupan hanya kita, tak ada yang lain.

"Kemana perginya mereka semua ya Fel," gumam Nia masih dengan tatapan mata yang terfokus ke depan.

"Mereka siapa?"

"Orang-orang yang kita tinggalkan di balai kota malam itu, apa mereka tetap di sana atau di tempatkan di tempat baru seperti kita?"

  Aku menoleh, lagi-lagi Nia benar. Aku juga memikirkan hal itu, bagaimana dengan warga lainnya yang tak ada di sini. Karena terakhir yang aku lihat sebelum berada di sini, adalah kedua orang tuaku dan juga semua warga yang berteriak histeris karena kita yang berada di sini mengapung ke udara malam itu.

"Mungkin mereka tetap di sana Nia, dan hanya kita yang pergi." Aku memberengut, mengingat bagaimana kita semua terapung waktu itu.

"Lalu untuk apa?"

  Kini Nia menoleh, dan aku menggeleng kuat-kuat. Karena aku juga tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

"Kamu ingat pria yang bicara di atas mimbar malam itu? aku penasaran dengannya, saat semua warga berteriak histeris karena kita melayang, tapi dia malah tersenyum licik." Aku jengkel, karena sempat melihat pria yang sangat menyebalkan malam itu.

"Pria di atas mimbar? Pak Walikota?"

"Bukan." Aku menggeleng cepat. "tapi pria yang tinggi, berpakaian serba hitam, kamu ingat?"

  Kening Nia berkerut, bahkan kepalanya sampai memiring karena mengingat-ingat pria yang aku maksud. Sepertinya Nia tak tahu.

"Aku gak lihat Fel, yang aku lihat di mimbar malam itu hanya Pak Walikota."

  Aku melongo. Bagaimana bisa Nia tak melihatnya? Padahal malam itu aku sangat jelas dapat melihatnya, dengan senyum licik yang benar-benar memuakkan untuk di lihat.

"Serius kamu gak lihat Nia?"

Nia kembali menggeleng. "Mungkin kamu salah lihat Fel, maklum lah, kan kamu lihatnya malam hari."

"Tapi Nia." Aku memberi tatapan keyakinan pada Nia. "aku benar-benar melihatnya malam itu, aku gak bercanda."

  Nia tertawa kecil sembari menundukkan sedikit kepalanya, mungkin dia heran dengan ucapanku. Tapi semua memang benar, aku melihat pria menyebalkan itu di balai kota.

"Coba saja kita tanya yang lain." Nia bangkit dari duduknya, lalu mulai membersihkan jasnya yang mulai kotor oleh pasir.

"Tanya apa?" Aku ikut bangkit, dan dengan kesal membersihkan jas putihku yang mulai kotor juga dengan pasir.

"Apa mereka melihat pria yang kamu maksud atau tidak."

☆★☆★

  Aku dan Nia berjalan beriringan di bawah langit malam yang masih saja gelap, rasa kantuk sedari tadi sudah menghampiriku, Nia, dan juga yang lainnya. Tapi aku benar-benar tak bisa tidur dalam keadaan seperti ini. Apa aku harus tidur di bawah pasir? Tanpa kasur dan guling kesayanganku? Aku tak bisa tidur jika tanpa semua itu.

"Fell?"

"Apa?"

  Nia berhenti berjalan tepat beberapa meter di depan sekumpulan pria yang tengah terduduk di atas pasir. Membuatku ikut berhenti dan berdiri di samping Nia.

"Kita tanya mereka saja, sepertinya mereka lebih dewasa dari pada kita." Nia memfokuskan matanya pada sekumpulan pria di depan matanya.

Aku mengerutkan kening, mencerna apa yang Nia katakan.

"Soal pria yang kamu maksud Fell, kamu masih penasaran dengan hal itu?" Nia menoleh ke arahku, lalu mengangguk-anggukkankan kepalanya di depanku.

"Boleh, ayok kita tanya!"

  Aku tersenyum menantang ke arah Nia, lalu segera berjalan mendahului Nia untuk bisa sampai di depan kumpulan pria yang Nia maksud.

  Namun, saat aku sudah di depan kumpulan pria itu, aku terdiam, dan hanya bisa menyaksikan mereka berbisik satu sama lain. Kecuali satu pria yang menurutku berbeda dari empat pria yang lainnya. Saat mata-mata pria yang lain sedang sibuk berbisik dan memberi isyarat yang aku tak tahu apa, dia berbeda.

  Dan pria yang aku maksud menatap horor ke arahku, membuatku memicingkan mata sesaat. Pria itu mengenakan jas yang sama dengan warna biru muda, sangat serasi dengan manik matanya yang berwarna senada. Tatapan matanya horor dan menakutkan, apalagi saat aku melihat bola mata biru muda indahnya bergerak naik turun. Bola matanya memang indah, tapi sorot dan kilat mata yang dia ciptakan membuatku risih dan ketakutan entah kenapa.

"Eh? Ada apa?"

  Aku mengerjap saat mendapati pertanyaan dari pria yang baru datang entah dari mana, tapi aku mengenalnya, dia Abban, pria yang sempat memimpin pertemuan beberapa jam yang lalu.

"Euuu.. itu, itu.." Aku gelagapan, bahkan aku sampai menggerakkan tangan kananku ke belakang, memberi isyarat agar Abban melihat Nia, dan Nia mengerti supaya cepat menghampiriku.

"Apa?" tanya Abban yang kini berjalan semakin mendekat ke arahku.

  Aku tercekat, napasku mulai tak beraturan ketika mendapati Abban semakin dekat denganku.

Nah...

  Aku bernapas dengan lega saat merasakan ada sebuah tangan yang mendarat mulus di atas pundakku.

"Kita ingin menanyakan sesuatu pada kalian," ucap Nia ketika kini menemaniku berdiri di depan Abban. "tepatnya bertanya padamu."

"Apa itu?" tanya Abban dengan sedikit memiringkan kepalanya. Membuat kesan tampannya semakin terlihat jelas di depan mataku.

"Apa yang terakhir kali kamu lihat saat di balai kota malam hari itu?"

  Aku menoleh pada Nia, lalu menoleh pada Abban untuk melihat ekspresinya seperti apa ketika Nia menanyainya. Aku sangat jelas melihat Abban tersenyum lebar sembari mengedip-edipkan matanya. Apa maksud dari ekspresinya itu?

"Dia."

  Satu kata. Dengan satu tarikan napas juga Abban mengucapkannya. Apa maksud dari kata dia yang Abban berikan? Apa Pak Walikota seperti yang Nia maksud, atau pria yang sama dengan yang aku lihat?

"Dia?" Aku bertanya dengan kening yang sudah berkerut.

"Aku juga gak ngerti kenapa bisa melihat dia di mimbar malam itu," ucap Abban.

  Dia lagi? Siapa dia? Semua benar-benar terlalu rumit untukku, Abban mempersulit dengan jawaban dia yang dia maksud. Aku menoleh pada Nia, dan entah mengapa aku melihat sesuatu yang berbeda pada diri Nia, bukan, bukan jas yang berbeda  seperti yang aku lihat beberapa jam lalu. Ini lebih berbeda dari itu.

"Nia? Ada apa?"

<to be continued>

Errrrr.. susah banget cuma bikin satu part dengan 1k doang padahal.. wkwk

Makasih yang masih mau baca cerita absurd sang author ;)

Ato gak da yang baca lagi yaa.. wkwk

Salam Rindu,
      Bintang ★

Star of LuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang