Aku memang tidak, bahkan mungkin tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana caranya untuk mengakhiri. Ini sudah hari kedua aku tertidur di atas kasur nan empuk. Aku dapat melihat langit-langit kamar yang sesungguhnya. Di sana, terlihat banyak bintang-bintang. Meski bukan bintang sungguhan.
Saat Gleda mengatakan bahwa aku akan bekerja sebagai seorang dokter, rasanya aku sangat ingin menertawakan diriku sendiri. Sekarang, begini saja. Di sekolah, tidak pernah sekalipun aku menaruh minat pada hal yang berbau biologi. Jangankan untuk mempelajari, melihat kerangka-kerangka dalam bukunya pun aku terlalu enggan.
Jika dilihat-lihat, terasa percuma aku tersedot--ah, apakah tak ada kata lain untuk ini?--dari dunia yang tak masuk akal sebelumnya. Karena saat ini pun, dunia yang aku kunjungi jauh dari kata normal. Benar-benar jauh. Jika di sana kan, setidaknya aku mempunyai teman. Jika aku takut pun, aku bisa berlindung pada Nia. Lalu sekarang, aku harus bagaimana?
Jedar!
Suara menggema dari balik pintu bilik--Gleda menamai tempat ini dengan sebutan itu, aku hanya ingin menurut--membuatku dengan refleks menoleh. Bangkit dari posisi terbaringku dan berjalan malas ke arah pintu. Aku membuka pintu itu seperti terakhir kali mencobanya bersama Gleda. Iya, aku tidak pernah mencoba untuk membuka lagi pintunya sejak saat itu. Aku terlalu nyaman dengan kasur dan suasana yang ada di dalam bilik--yah, seperti itu.
Omong-omong, suara Jedar tadi beneran dari pintu? Aneh sekali suaranya. Seperti petir.
"Makan malam?"
Suara dan langit di luar sana menyadarkanku tentang satu hal yang sama. Ternyata sudah malam. Aku sampai tidak menyadarinya sama sekali.
Saat mengalihkan fokus dari langit gelap ke Gleda, mataku melotot gembira. Segera aku sambar nampan dari tangannya dan membawa itu masuk. Terduduk di atas lantai berkarpet hijau dan menikmati semua santapan yang Gleda bawa.
Kuenya benar-benar enak. Sungguh. Dari bilik dan juga jubah yang dipakai Gleda, membuatku berpikir bahwa ... pasti gadis itu sangat mencintai cokelat. Buktinya, kue-kue yang saat ini disajikan untukku berwarna cokelat keseluruhan. Ahh, aku suka!
Ah, omong-omong tentang jubah dan bilik, aku tidak mempunyai warna lain selain putih. Setelah mengobrak-abrik lemari dan kamar mandi yang ada di bilik ini, semuanya benar-benar didominasi oleh warna putih dan hijau. Benar-benar seperti rumah sakit sungguhan.
"Apakah enak menyambar makanan begitu saja tanpa izin terlebih dahulu?"
Pertanyaan itu membuatku yang sedang menutup mata karena menikmati kuenya, membuka mata sesaat dan mendapati sepasang kaki di dekat nampan. Gleda telah berdiri di dekatku. Tak lama kemudian, terlihat dia berjongkok dan ikut duduk bersila.
"Bukankah kuenya dibawa memang khusus untukku?" tanyaku dengan kedua tangan yang penuh dengan macam-macam kue cokelat.
Gleda memiringkan bibirnya. Dia geserkan nampan berisi kue-kue yang tinggal setengah dari jumlah sebelumnya. "Tidak juga, kok. Niatnya aku ke sini cuma mau pamer."
Kedua bola mataku berkedip. Mengamati nada bicara Gleda. Takut-takut dia tidak berbohong.
"Tapi karena kamu terlanjur mengotori kue buatanku," kata Gleda dengan mencomot satu kue cokelat berbentuk bulan. "Habiskan!"
Kata terakhir yang Gleda lontarkan bagai sebuah perintah yang sangat indah untuk aku dengarkan. Tanpa diminta pun, aku pasti akan menghabiskannya. Pasti.
Segera aku menarik kembali nampan milik Gleda ke arahku dan menikmatinya tanpa ampun.
"Itulah pekerjaanku," kata Gleda dengan tiba-tiba saat keheningan sempat menjadi hal yang tercipta di antara kita.
"Hmm?" Aku bergumam dengan sedikit tidak peduli.
"Kalau kamu kan keberuntungannya jadi seorang dokter, kalau aku ya gini."
Keberuntungan? Sungguh? Rasanya, aku ingin merutuki Gleda dan ucapannya itu. Aku tidak merasa beruntung sama sekali. Tidak.
"Tugasku, membuat orang-orang merasa senang."
Gerakan mulutku yang mengunyah kue-kue sedikit melambat. Aku pandangi wajah segar Gleda yang duduk bersila di hadapanku. Di duniaku--yang normal tentu saja--orang-orang yang bertugas untuk membuat orang bahagia biasanya berprofesi sebagai badut. Apakah iya gadis secantik Gleda rela menjadi badut?
"Aku pembuat kue rasa bahagia," kata Gleda yang seakan ingin meluruskan pemikiranku. Aku pikir, dia benar-benar menjadi badut versi dunianya--bisa saja, 'kan?
"Eum ...." Aku putuskan mengalihkan fokus pada Gleda dan berhenti menikmati kue-kue lezat yang seakan mempunyai obat candu untuk segera menghabiskannya. "Kamu di sini ... sudah berapa lama?"
Gleda terlihat mengerutkan keningnya. Aku tidak tahu apakah itu bentuk dari rasa kebingungan atau apa. Benar-benar sulit untuk aku menebaknya.
"Aku hanya tahu ada pagi, siang, sore, dan malam."
Aku mengangguk. "Aku juga tahu. Tapi maksud aku, sudah berapa lama kamu terjebak di sini?"
"Terjebak?"
Aku mengangguk dengan yakin. Aku penasaran, sungguh.
"Aku tidak tahu," kata Gleda dengan kedua bola mata yang terlihat tidak bisa diam. Nada bicaranya tiba-tiba kaku. Ada apa?
"Kamu, tinggal di sini?"
Aku tahu itu pertanyaan yang bodoh, tapi mau bagaimana lagi? Aku benar-benar penasaran.
"Kamu tahu itu," jawab Gleda dengan nada suaranya yang kembali normal.
Pasti. Aku sudah tahu pasti itu jawabannya. Lalu, aku harus bertanya apa?
"Ahh, aku tahu!" Aku berseru dengan bangga. "Sebelum kamu tinggal di sini, di mana kamu mendapatkan kehidupan?"
Lagi-lagi, bola mata Gleda bergerak tak karuan. Mulutnya bergerak tanpa aku tahu dia ingin mengucapkan apa sebenarnya.
"Bintang ...."
Ucapannya terputus. Membuatku mencondongkan tubuh untuk lebih dekat ke arahnya. Takutnya, ada kata penting yang tidak sengaja aku lewatkan.
"Langit ...."
Aku membulatkan kedua mata secara refleks. Semakin aku condongan tubuh sampai harus menahan kedua tangan di samping tubuhku lebih kuat agar tidak terjatuh.
"Mereka ...."
Ah, mereka? Refleks aku mendongak--aku sempat menunduk saat mencondongkan tubuh tadi. Iya, mereka! Aku baru ingat. Apa mereka masih berada di sana? Apa mereka akan menyusulku? Apa mereka ....
"Aku melihat mereka. Iya, aku melihatnya!"
---
To.be continuedAhh, maaf, ya? Ini ngaret berapa abad? Maaaaaaf. Ini emang bukan genre utamaku, makanya susah.
Tapi gini deh. Aku juga masih belajar kan soalnya.
Buat yang masih mau dukung aku dan tulisan ini, komen di sini, ya? Spam kalau bisa, biar akunya mempertimbangkan buat selesaikan cerita ini😂😂😂
Aku akan berusaha,
Kazza✴️
KAMU SEDANG MEMBACA
Star of Luck
FantasyStar of Luck [minor romance] Apa kalian percaya akan keberuntungan? Aku tidak. Karena sampai saat ini keberuntungan tak pernah berada di pihakku, dia selalu menjauhi orang-orang sepertiku. Orang yang tak pernah percaya keberuntungan. Tapi untuk kali...