Misteri yang Semakin Meluas

41 4 5
                                    

Misteri ini kian lama kian membuatku bingung. Jika dipikir ulang, apa yang membuatku mencurigai aristokrat itu rasanya tak beralasan kuat. Namun jika bukan mereka lalu apa? Aku melupakan hal yang penting. Dalang yang menyebabkan semua ini bukan hanya ulah para aristokrat itu. Namun masyarakat dari golongan bawah pun ikut serta meramaikan suasana penuh duka ini.

"Kak.. Aku masih takut sendirian." rengeknya di sampingku. Rupanya dia sama sekali belum tertidur dari tadi.

"Mika, kau belum tidur? Kenapa?" tanyaku selembut mungkin sambil mengusap kepalanya pelan.

"Kak, Ibu dan Ayah gimana? Mereka baru ngapain? Hiks hiks hiks... Kak.. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri, ya?" ujarnya dengan menangis. Aku melihat itu semua merasa tak berdaya. Apa dayaku agar bisa menenangkannya padahal aku sendiri masih terpuruk seperti ini.

Tuhan.. Kumohon tolonglah kami...

#####

"Reta, bagaimana tugas mading waktu itu? Apakah sudah selesai?" tanya seseorang dengan suara beratnya. Dia ketua ekskul mading ini, Riko.

"Hei.. Apa kau belum tahu mengenai keadaan keluarganya?" bisik seseorang di samping sang ketua sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Riko.

"Maaf, aku lupa. Reta sekali lagi aku dan semua anggota ekskul mading meminta maaf sekaligus ikut berduka cita atas apa yang telah menimpa keluargamu, khususnya kedua orang tuamu." ujarnya sambil mengulurkan tangannya. Aku menghiraukan uluran tangannya dan segera beranjak ke tempat dudukku.

"Reta, apa kau baik-baik saja?" tanya seseorang dengan suara lembut, Aki.

"Baik," ujarku singkat. "bisakah kita mulai sekarang? Aku mulai merasa panas di sini." lanjutku dengan sedikit ketus. Semuanya mengarahkan pandangan padaku. Di awal aku sudah mengatakan, bukan? Aku tak pernah ingin menonjol, sehingga aku dikenal banyak orang sebagai murid pendiam yang tak banyak berulah.

"Baiklah, kita mulai." ujar sang ketua mading menengahi.

#####

"Aristokrat itu, mereka menyuruh orang lain untuk membunuh suamiku!!! Aku tidak terima!!" jerita seorang perempuan paruh baya itu ketika diwawancarai oleh sebuah acara tv siang ini.

"Dia ini mabuk atau apa?" tanyaku disela-sela kehisterisannya. Aku percaya apa yang dikatakan oleh perempuan paruh baya itu. Hanya saja, mengatakan hal seperti itu di acara tv terkenal seperti ini, itu seperti bunuh diri. Banyak di luar sana aristokrat yang bekerja sama dengan penduduk biasa. Yup, pencitraan. Lagi.

"Kak... Kakak sudah pulang rupanya?" tanya seseorang dengan suara lembutnya. Kutatap ia dengan tatapan kosong. Ah.. Lagi-lagi aku merasa bersalah atas apa yang menimpanya.

Ting.. Tong...

Tiba-tiba suara bel listrik rumah berbunyi. Siapa? Kukira aku tak akan pernah menerima tamu lagi semenjak insiden itu.

Meski sedikit ragu, namun kuberanikan untuk membukakan pintu.

"Halo, nak!" ujarnya. Dia, pria yang kulihat di pemakaman waktu itu. Apa yang membuatnya kemari? Dan lagi, pakaian macam apa itu yang ia kenakan?

"Katakan, apa urusanmu datang ke sini!" ujarku tegas dengan sedikit nada sindiran.

"Santai saja, kau tak perlu sampai emosi seperti itu. Baiklah, apa aku boleh masuk?" tanyanya dengan nada menyindir balik.

"Tidak!" ujarku singkat sambil menghalangi pintu masuk. Aku takut dia melukai Mika. Entah kenapa firasatku berbicara seperti itu.

"Baiklah," ujarnya lalu membuang nafas berat. "lalu, apa yang kau ketahui tentang percobaan yang sedang kami lakukan?" tanyanya tiba-tiba.

Tunggu sebentar, percobaan apa maksudnya? Apa ini? Jadi selama ini dia, para aristokrat, itu bekerja sama untuk membuat sebuah percobaan?

Aku benar-benar terkejut, namun berusaha untuk kututupi.

"A-apa maksudmu?" sial, aku tidak bisa berbicara sewajarnya. Otakku langsung merespon jika percobaan yang mereka lakukan itu adalah ha buruk. Sial.

"Sudah kuduga. Kau mengetahuinya, dasar anak kecil. Kau sebenarnya tak pantas tahu apa itu percobaan kami. Karena keberanianmu, kuberi kau ini." ujarnya sambil memberi kotak kecil yang dibungkus rapi. Apa lagi ini?

"Tidak, tuan!" ujarku mantap. Segera kututup pintu depan dan buru-buru kukunci agar tak ada yang dapat menerobos nya.

"Mika, ayo kita segera pergi. Ayo kita keluar!" ujarku tergesa-gesa sambil sibuk membawa barang-barang yang akan dijadikan persediaan selama entah kapan ini semua berakhir.

Sialan!

"Kak, kita mau ke mana?" ujarnya masih dengan nada polos.

"Sudah cepat! Berbenah saja sana!" ujarku mengusirnya. Tampak ia berkaca-kaca. Arghhh.. Jangan berwajah seperti itu lagi. Itu benar-benar menyakitkan.

"Baiklah kak." ujarnya lalu segera naik ke atas, ke kamarnya. Aku juga harus segera bergegas.

#####

"Mika... Mikaa?? apa kau belum siap?" tanyaku. Namun tak ada sahutan dari dalam sana, kudatangi kamarnya dan betapa terkejutnya aku saat melihat dia bersimbah darah. Tas yang tadinya kutenteng, entah kubuang ke mana.

"Mika??!!!" jeritku tak karuan. Aku segera lari kalang kabut menuju kamarnya.

"Siapa yang menyebabkan ini semua? Mika!! Jawab!! Sialan!!!"

"Hahahhaha.. Kau benar-benar masih anak kecil, wahai putri dari Dunar." ujarnya segera kutoleh ke tempat sumber suara.

Sial! Sejak kapan tempat ini berantakan seperti ini?

"Mika, kumohon bertahanlah.. Mika.." ujarku lemah melihat kepala dan punggung bagian belakang nya bersimbah darah.

"Sialan!! SIAPA KAU?!!" teriakku tak karuan, namun saat kutoleh lagi. Dia menghilang.

"Kak..." terdengar sayup-sayup suara lemah.

"Kumohon Jangan bersuara lagi. Kumohon, sudah hentikan saja. Akan kupanggilkan tetangga lain." ujarku sambil menahan air mata.

"Tidak kak, sebenarnya yang tersisa hanya kakak." ujarnya lagi membuatku frustasi.

"Kau ini bilang apa, huh?!" segera kusibakkan tirai jendela dan melongok keluar.

"APA-APAAN INI?! SEJAK KAPAN?!" teriakku benar-benar frustasi saat melihat keadaan di luar sana yang seperti terkena bom atom. Ya tuhan, aku tadi dari mana saja? Kenapa aku bisa melewatkan ini semua?

"Kak, tadi apa kakak memegang kotak kecil milik orang asing tadi?" ujar Mika lirih. Dia benar-benar lemah. Sial, aku lupa ada dia di sini.

"Baiklah Mika, apapun yang terjadi jangan berbicara atau hal lain yang intinya menguras tenagamu." ujarku lirih. Sekuat tenaga aku mencegah agar air mata ini tidak jatuh.

"Kak, kotak tadi mengandung zat LSD, kakak tahu bukan halusinasi? Dan, ini untuk Kak Reta. Dipakai ya kak.." ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dari balik pundaknya, sebuah syal berwarna kuning. Dia menyimpannya dibalik pundaknya. Padahal dia sudah bersimbah darah, tetapi syal ini masih tetap bersih.

"Stop! Jangan lagi. Kumohon Mika, kau pasti akan kuselamatkan." ujarku merintih-rintih. Sialnya air mataku sudah tak dapat kubendung lagi.

Dia perlahan-lahan mengulas senyum dan matanya kian menyipit. Tidak! Kumohon jangan! Ya tuhan... Jangan ambil seseorang yang kusayangi lagi!!

#####

17-9-2017

Lama up, maaf yang menunggu (padahal ngga ada)
Ya, intinya, makasih yang mau mampir.

Never Forget It!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang