Apakah Ini Entropi?

14 3 0
                                    

Benar-benar parah, semenjak kejadian itu, hidup ku semakin kacau. Malas? Bukan, hanya saja aku merasa hidup ku benar-benar tak berarti. Bayangkan saja, keluargaku musnah semua, rumah? Zero. Teman? Omong kosong. Semua yang ada di dunia ini tak adil. Aku, mulai meragukan dengan yang namanya tuhan.

Bagaimana dengan sekolahku? Aku putus sekolah, selain untuk menghemat biaya, aku juga ingin lebih fokus pada nyawaku. Juga untuk mengungkap ke busukan dunia ini.

Hari ini aku berencana untuk menemui Riko, si ketua mading. Entah kenapa dia ingin bertanya mengenai kehidupanku belum lama ini. Aku berharap ia tak menanyai ke-privacy-an ku. Karena sudah hampir waktunya, ku putuskan untuk segera ke tempat pertemuan, lagipula entah kenapa ada yang aneh dengan gerak-geriknya belakangan ini, tentu saja saat terakhirku masuk sekolah. Aku merasa ia ada kaitannya dengan aristokrat itu.

#####

"Oh, hei Reta. Aku di sini." panggil seseorang yang mengenakan topi biru, sedang duduk bersandar di pohon.

"Ada apa memanggilku?"

"Ayolah, aku tahu kau punya banyak topeng, bisakah kau lepas saat ini? Aku benar-benar butuh penenang." katanya mencurigakan.

"Oke, aku pergi."

"Tunggu, tunggu.. Baiklah lupakan. Aku memanggilmu ke sini untuk menanyaimu seputar peristiwa—maaf—yang menimpa adikmu." ujarnya dan sempat membuat hatiku panas saat dia menyinggung soal adikku.

"Untuk apa? Kau ingin menyebarluaskan ke sekolah tentang pembunuhan itu, huh?" tuduhku tanpa tahu apa alasannya.

"Ayolah, kalem sedikit. Tentu saja itu tak mungkin. Lagipula setiap orang pasti punya privasi, kan? Begini, aku akan membantumu. Jika kau tak percaya, kau bisa menghubungiku di alamat ini. Tenang saja, itu rumah lamaku yang ditinggalkan dan itu juga bisa kau gunakan untuk tempat tinggalmu sementara.

Lagipula belum ada yang mengambilnya. Jadi tak ada yang tahu jika kau ke sana. Kita bisa mendiskusikan semuanya nanti. Bagaimana?" tawarnya masih dengan ceria. Aku meragukannya, namun senyuman dan mata itu seperti tidak berbohong. Aku hanya mengangguk dan menerima lipatan kecil kertas yang berisi alamat yang dia tunjukkan.

"Sungguh tak apa?" tanyaku meyakinkan.

"Iya, tenang saja. Dan maaf, sepertinya nanti kau harus membersihkan rumah kosang yang sudah usang itu." ujarnya lagi dengan senyuman.

"Oke," ujarku singkat, "terimakasih." lanjutku malu-malu. Jujur, ini pertama kalinya aku berterimakasih kepada orang lain. Benar-benar diluar ekspektasi.

"Oke oke, kalau begitu sudah dulu ya. Sepertinya sebentar lagi hujan, kau juga cepat pulang lah." ujarnya sambil pergi menjauh dengan lambaian.

Kujawab lambaiannya, namun aku tak langsung pulang ke rumah. Bagaimana nasib rumahku? Hancur, hanya tersisa beberapa tempat saja yang belum hangus karena ledakan tragis itu. Dan beruntungnya, itu adalah kamarku.

Aku segera bergegas pulang ke rumah—err mungkin lebih tepat puing-puing sisa rumah (?)

Aku hanya mengambil beberapa barang yang benar-benar dibutuhkan saja. Tanpa menunggu aba-aba aku segera berangkat menuju tempat yang ada di peta.

Sraak.. sraak..

Terdengar bunyi gesekan semak. Apa itu tasku?

Kulihat tasku dan jarak tubuhku dengan semak itu jauh, lantas apa?

Setelah menoleh ke belakang, aku segera mempercepat langkah,

Buughh..

"Aw..." rintihku tanpa sadar menabrak entah apa, mataku sibuk melihat keadaan tubuhku yang kini terjatuh dan lututku berhasil tergores dengan jalanan. Sial.

"Apa kau menjadi sebuta itu karena kematian keluargamu, nak?" tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Jantungku terpompa lebih cepat dari biasanya, hingga dadaku terasa panas. Otakku tiba-tiba membenci hidungku karena mencium bau ini, lilam. Hatiku seperti mendidih lantaran dia adalah orang dengan berjas hitam waktu itu.

Dia yang membunuh adikku!

Never Forget It!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang