SENJA YANG BARU

105 22 17
                                    

"Lo nolak gue? Oke, gue sadar tipe lo emang yang alim. Gak kayak gue 'Brandalan'", kata yang diucapkan Senja langsung saja menohok hati Dina.

"Ja... Bukan gitu tapi maaf gue belom mau pacar-pacaran."
"No problem Dina, apapun alesan lo gue yakin itu yang terbaik buat kita. Jaga diri lo baik-baik Din." itulah kata terakhir yang Senja ucapkan sebelum kepergiannya.

Hingga saat ini Dina masih saja menunggunya pulang. Senja... Kembalilah!

Tiga tahun berlalu.

Ponsel Dina berdering, sambil mengunyah sesuap terakhir serealnya Dina melirik ke arah ponsel. Tertulis nama "Aurel".
"Iyaaa Rel, sabar...!"

"Halo, iya Rel, kenapa?" tanya Dina santai.

"Din, lo dimana woy? Lo gak inget ini hari apa?" terdengar kata "woy" yang sengaja ditinggikan.

"Hari... Kamis. Kenapa?"

"Bego. Lo kan ada janjian sama Samuel! Buruaannn!" sentak Aurel dari seberang sana. Dari nada bicaranya Aurel nampak kesal karena kebiasaan Dina yang gak pernah tepat waktu. Dina hanya meringis mendengar Aurel yang tengah kesal karenanya.

Segera saja Dina bersiap-siap untuk berangkat. Setengah hati Dina takut membuat Aurel semakin kesal. Tapi setengah hati lagi Dina heran "Emangnya Samuel orang penting? Kok gue mesti buru-buru. Ewh." gerutu Dina dalam hati.

Hiruk pikuk ibukota mewarnai perjalanan siang itu. Halte bus bukan tempat yang asik untuk menunggu bukan? Kalau saja bukan karena ada janji sudah pasti Dina mager kalau harus keluar rumah. Untuk bertemu orang itu 'Samuel' sebenarnya Dina tidak terlalu minat. Tapi desakan sahabat karibnyalah yang membuatnya luluh. Kalau dipikir lagi, buat apa? Toh, dirinya saat ini belum ada minat untuk dekat dengan cowok. Yah, daridulu juga begitu lo Din! Gumam Dina.

Sepintas teringat kenangan bersama Senja kala itu. Ya, waktu Senja jujur soal perasaannya pada Dina dan berujung pada penolakan. Kenapa rasanya ada yang hilang sih Ja? Duh ayo dong move on, Din. Dan ya! Dina memang harus benar-benar move on dari lamunannya sendiri karena bus kota yang sedaritadi dia tunggu telah tiba.

Wendy's Kafe. Ini nih kafenya anak gaul. Katanya sih begitu. Beberapa muda-mudi and the geng sering nangkring di kafe yang bisa dibilang hits ini. Sambil tengok kanan kiri Dina mencari-cari plang nama "Wendy's Kafe" ini gak gampang karena banyak banget jajaran ruko yang buka disepanjang jalan. Ya... Inilah Ibukota. Batin Dina sambil terkekeh sendiri. That's right! Setelah bersusah payah mencari akhirnya ketemu juga tempatnya. Tepat di seberang jalan sedikit ke kiri, ya itulah tempatnya. "Wendy's Kafe i'm coming." ucap Dina sambil mengibaskan rambut panjangnya yang ikal.

Sesampainya di depan kafe, Dina membuka pintu kafe perlahan. Di benaknya bertanya "Samuel, keren namanya... Orangnya seperti apa? Apaaaa seperti Senjaku yang hilang?"

"Selamat siang mbak," sapa pelayan kafe membubarkan lamunan Dina.

"E...eh.. Siang mas," sahut Dina kaget.

"Ada yang bisa saya bantu mbak?"

"Eh iya makas---" baru saja Dina mau berterimakasih pada pelayan kafe itu suara Aurel sudah terdengar hingga memotong ucapan Dina.
"Dinnn, parah lo. Jam karet banget sih?" celutuk Aurel sambil menepuk punggung Dina.
"Rel, i'm so sorry honey. I'm busy,"

"Najiizzz banget sih lo, Din," sahut Aurel sambil membungkam erat mulut Dina. Aurel melihat ke arah pelayan kafe yang merasa heran melihat tingkah mereka berdua.

"Hehehe, maaf mas teman saya ini memang blo'on parah. Kita normal kok, kita normal." kata Aurel sambil menautkan ibu jari dan telunjuknya mengisyaratkan kata "OK".

SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang