LAST!

38 13 10
                                    

Dina masih terlihat membenamkan mukanya di permukaan bantal. Hari sudah siang namun Dina malas untuk bangun, sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela kamarnya. Aroma hangat mentari disambut Dina dengan senang hati. Terdengar suara pintu kamarnya dibuka perlahan. Dina pura-pura memejamkan matanya karena Dina tak mau disuruh untuk beranjak dari tempat tidurnya.

"Din..." suara Mama yang lembut memanggil namanya.
Tanpa bisa Dina tolak akhirnya Dina memalingkan wajahnya menatap Mama.
Mama terduduk di samping Dina.
"Mama mau bicara..." ucap mama terdengar serius.

Dina bangun dari posisinya, kini dia duduk berhadapan dengan Mama. Rambutnya masih acak-acakan. Mata Dina menyipit manatap Mama, sedangkan disaat yang bersamaan justru mata Mama terlihat serius. Dina merasa memang benar-benar ada hal yang penting yang akan Mama sampaikan.

"Kenapa ma?" tanya Dina perlahan.
"Dina sekarang udah gede, udah umur 23 tahun. Dina sudah ada calon belum?"
Seketika Dina lemas mendengar pertanyaan Mama. Dina tahu kemana arah pembicaraan Mama kali ini. Sejujurnya Dina waktu itu benar-benar menginginkan Senja untuk melamarnya. Tapi Dina juga tidak ingin kalau dia harus mengutarakan keinginannya itu pada Senja. Harusnya Senja peka tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Belom ma. Tapi secepatnya Dina bakal cari kok." ujar Dina dengan malas.

"Nggak usah di cari, besok kamu siap-siap ya. Temen mama dan anaknya akan kemari. Rencananya kamu akan kami jodohkan." sahut Mama pelan.

"Mama nggak memaksa tapi temui saja dulu siapa tau cocok." lanjut Mama.

Dina langsung terdiam. Seperti ada sambaran petir menerpa tubuhnya, lemas, lemah, tak berdaya kini Dina rasakan. Putus asa sudah pasti, kali ini Dina benar-benar tak bisa mengelak lagi. Apalagi Mama bilang kalau itu adalah anak temannya. Sudah amat sangat jelas Dina akan sangat kesusahan untuk menolak karena dia harus menjaga nama baik Mamanya. Sial!!! Hari sial! Gumam Dina dalam hati.

Sejenak Dina berpikir dia ingin kabur dari rumah dan kembali ke tempat kosnya yang nyaman.

***

Waktu berjalan cepat. Tolong hapus saja hari ini, Tuhan! Pinta Dina dalam hati. Dina memandangi dirinya di cermin. Gaun warna putih selutut dengan lengan panjang setengah sudah membalut tubuhnya. Make up di mukanya menyamarkan rona kesedihan yang saat ini tengah melandanya. Senja, gue maunya sama lo. Gue gak mau sama yang lainnya. Tapi semua sudah terlambat, seseorang di bawah sana tengah menunggu kehadirannya.

"Kak Ina, mau nikah ya?" pertanyaan itu membubarkan lamunan Dina.

Rachel adiknya yang masih berumur empat tahun itu nyelonong masuk ke kamarnya. Pipinya yang tembem dan badannya yang gemuk membuat Dina selalu gemas tiap kali melihatnya. Dina mengangkat tubuh kecil itu dan menaikkannya ke atas pangkuannya. Dia mencubit pelan pipi Rachel. Rachel tertawa-tawa kecil.

"Kak Dina gak pengen nikah, Rachel. Huhuhu." ucap Dina dengan pura-pura menangis.

Rachel mengedipkan matanya berulang kali pertanda kalau dia kebingungan.

"Kak Ina nangis? Lahel mo bilang Mama ah!" ucapnya sambil berusaha turun dari pangkuan Dina.

"Eh, nggak. Kak Dina nggak nangis tuh. Kak Dina kan dah gede." sahut Dina sambil menguyel-uyel pipi Rachel.

"Oooo," ucap Rachel singkat tanpa embel-embel lagi. Kini dia tengah sibuk memainkan gaun yang tengah dikenakan oleh Dina.

"Kak Ina nikah ama pacalnya ya?" tanya Rachel lagi tanpa menatap Dina.

SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang