Menjelang pukul empat sore,
saat jingga mulai melukiskan kemegahannya pada sang
angkasa.Sapuan permata emas jatuh berguguran memeluk serumpun jamrud hijau kasmaran yang tersenyum senang pada kaisar bermata elang.
Sukma sang ksatria merayu jiwa yang jumawa hingga ia tertunduk malu di atas pusara.
Serpihan memorial abu-abu membakar sisa kewarasannya yang mencumbu bayang hitam di langit siang.
Menuduh hati yang anti toleran meskipun akal juga turut membenarkan.
Tetesan rasa iba tak
pernah lagi mengalir dari celah hati yang dulu sekali pernah hancur tersakiti.Seribu satu palu pernah datang menerjang, sejuta petir pernah datang memyambar, namun bayang hitam ksatria tak kunjung
pudar.****
Luna membolak-balik buku matematika dengan cermat hingga tak sehelai lembar pun ia lewati demi mencari secarik kertas persegi panjang. Yang seingatnya ia simpan di antara himpitan rumus-rumus.
Setengah jam sudah ia bergulat mencari benda tersebut tanpa membuahkan hasil. Sedangkan limabelas menit lagi waktu bel masuk akan berbunyi. Ia pasrah dan memilih menulis ulang di kelas nanti. Yang terpenting ia tidak boleh sampai terlambat hari ini.
Gadis berlesung pipit tersebut setengah berlari keluar rumah dan terkejut mendapati seorang lelaki dengan motor sport hitam sedang menunggunya untuk berangkat bersama.
Tepat pada saat bel masuk berdering, motor sport hitam itu telah memasuki sekolah. Luna turun diikuti dengan sang pria. Baru saja Luna ingin melangkah pergi, pergelangan tangannya tertahan dengan kuat.
"Kenapa kamu bisa kesiangan?" suara berat itu bertanya dengan tegas. Namun lidah Luna kelu untuk dapat menjawab, bahkan sekedar melirik pun ia tak sanggup.
"Diem?" satu tangan pria itu merogoh saku celananya.
"Apa karena nyari ini?" selembar kertas persegi panjang yang Luna cari-cari muncul tepat di depannya saat ini.
Matanya terbuka lebih lebar, terkejut bukan main.
"Eh - hmm, itu."
Laki-laki itu mendengus geli, "gak usah gugup, kalau kamu emang itu mau kamu. Tapi aku nggak bisa langsung terima gitu aja," tangan kanan Luna terlepas dari genggaman si pria.
Sosok jangkungnya perlahan berjalan menjauh, namun sempat berbalik menghadap Luna. "Tunggu hari Minggu ya, Luna."
Suara lembutnya memendar ke gendang telinga Luna. Hatinya berdesir mendengar keputusan laki-laki yang berhasil menjatuhkan hatinya. Meskipun ia sudah berulang kali mencoba menghapus apa yang ada di hatinya.
Ia hanya berharap, hari Minggu nanti alan menjadi hari yang menyenangkan untuknya. Meski ia tau, pria itu tidak akan pernah bisa ia genggam seutuhnya.
Sedikit ngasih cerita sampingan.
Cerita tentang Luna, yang pasti masih ada hubungannya sama cerita iniVote dan comment please!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Mine
Teen FictionVirgolendra Xamuel Buana Setengah bad boy, setengah good boy. Dicap sebagai players kelas kakap yang nggak pernah punya pacar. Heran? Tapi ia bukan player biasa. Cowok tampan ini punya alasan penting kenapa ia menjadi seperti ini. Setidaknya itu s...