Chapter 2

1.7K 108 12
                                    

“Kau belum mandi???” Tanya Greyson panik. Aku membuka pintu dengan berpakaian kaos dan celana pendek.

“Aku lupa memberitahu ibuku untuk membangunkanku mandi. Maaf... kau mau menungguku ‘kan?”

“Tidak, aku sibuk. Mungkin lain kali.”

Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Hanya karena lupa, Greyson langsung membatalkan janjinya.

“Aku bercanda, bodoh. Ini masih jam 6 dan aku menjemputmu terlalu cepat,” ia mencubit pipiku.

“Oh...”

“Mandi, atau aku yang memandikanmu.”

“Sinting...”

Aku mendengarnya tertawa sambil mengikutiku masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, ibu menyapanya lalu menyuruhnya duduk di depan tv. Rumah kami tidak begitu besar. Kami bahkan tidak punya ruang tamu. Setiap ada tamu yang datang, kami hanya menyuruhnya duduk di depan tv. Lagipula... siapa lagi yang akan berkunjung ke sini selain ia?

Ibu adalah satu-satunya keluargaku di sini. Keluargaku yang lainnya tinggal di California. Aku juga tidak tahu itu di mana. Dan ayahku... ia hanya mengunjungiku sesekali. Atau mungkin tidak sama sekali.

“Ibu, apa boleh aku pergi?”

“Tentu saja.”

“Tapi baru kali ini aku keluar saat malam hari dengan Greyson. Di film yang aku dengar, biasanya ibu-ibu akan melarang anaknya untuk pergi.”

“Benar begitu?”

Aku mengangguk.

“Ibu mempercayai Greyson, itulah sebabnya.”

“Menurut ibu... ia baik?”

“Lebih dari itu. Dia juga menyayangimu.”

“Tapi... ia tidak pernah bilang itu padaku...”

Setelah pakaianku rapi dan rambutku tidak kusut lagi, ibu meninggalkanku di kamar. Aku menyemprotkan sedikit parfum seperti aroma es krim vanila di pergelangan tanganku lalu keluar.

“Sudah si—”

“Si...?”

Ini hanya perasaanku atau tadi Greyson memang bicara?

“Kau cantik.”

Greyson menggenggam tanganku lalu pamit pada ibuku.

                                                ***

“Greyson...”

“Ya?”

“Bisakah kau pindah ke sampingku?”

“Jangan manja. Makanlah. Di depanmu ada daging panggang, di kananmu ada pisau dan di kirimu ada garpu. Sausnya ada di arah jam 1, tapi sebaiknya jangan kau makan. Terlalu pedas,” jelasnya. Aku hanya mengangguk lalu mengambil pisau dan garpuku.

Ruangan ini terdengar terlalu ramai. Beberapa orang telah menyenggol lenganku beberapa kali dan membuatku tidak nyaman. Aku tidak pernah mengunjungi tempat ramai selain sekolah dan swalayan. Tempat ini benar-benar menyeramkan.

“Dia buta?” tanya orang asing entah di mana. Meskipun jauh dan ikut terdengar dengan suara lain, aku tentu bisa mendengarnya. Aku hanya menundukkan kepalaku ke makanan seperti orang normal yang sedang melihat makanannya. Ini ajaran ibuku agar aku tidak dianggap buta. “Kurasa tidak... oh, Anna, apa peduliku? Kalau pun ia buta, lihat saja matanya. Mana ada #@$#@ &*%^$ yang buta?”

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang