Chapter 3

1.3K 88 11
                                    

Alice's POV

Greyson merangkulku untuk berdiri. Ia memasang sepatuku lagi lalu membawaku kembali menuju ke mobilnya.

Aroma aneh itu semakin lama semakin memudar. Tenggorokanku tidak lagi terasa asin seperti meminum kaldu ikan langsung dari pancinya. Aroma itu terganti dengan wangi apel yang datang dari pengharum mobil Greyson, yang aromanya hampir mirip dengan pemilik Moses ini.

“Alice.”

“Ya?”

“Minggir sebentar.”

Aku mendengarnya memutar tuas jendela di sampingku. Seketika angin menerpa wajahku, membuat rambutku menggelitik pipiku sendiri.

“Angin malam tidak akan membuat kau sakit 'kan?”

“Tentu. Aku... malah suka.”

Tangan dingin Greyson mengelus pipiku lalu turun memegang daguku.

“Semoga aku bisa membawamu ikut bersamaku. Meskipun cuma sebentar, menurutku itu akan baik untukmu agar kau bisa berinteraksi dengan dunia luar.”

                                  ***

Greyson's POV

Aku sudah menduganya dari awal. Membawa Alice pergi sama saja meminta izin untuk mati dari ibunya. Dengan kata lain, aku tidak diizinkan.Yah, mungkin ungkapan ‘izin untuk mati’ itu terlalu berlebihan, tapi jika kau melihat ekpresi ibu Alice kau akan mengerti maksudku.

Di dalam pesawat kurang begitu padat. Bahkan jumlah kursi penumpang terlihat longgar. Ini memang bukan musim liburan. Tentu saja isinya tidak ada anak-anak atau remaja sebayaku. Sungguh membosankan.

Aku memasang headset saat pramugari menjelaskan. Ia menjelaskan tentang keamanan penumpang dan apa yang harus kita lakukan saat keadaan darurat. Bukannya sombong tapi jika aku berdiri di posisi pramugari itu, mungkin mereka akan mengira aku seorang pramugara. Aku menghapal rincian tiap kata yang mereka ucapkan di luar kepala. Bagaimana tidak? Aku sudah sering bepergian hingga keluar USA, membuat buku pasporku terisi penuh. Kini buku paspor itu hampir setebal novel.

Hari ini aku berangkat ke Netherland, mengunjungi rumah seorang teman. Dia adalah seorang musisi yang kutemui saat di Bali, Indonesia. Yah, memang kita bukan sebaya tapi aku tetap menganggapnya teman. Selera dan jalan pikiran kami pada dunia musik tidak jauh berbeda. Itulah mengapa aku menganggapnya teman, bukan rekan kerja.

Tiba di bandara, aku langsung dapat mengenalinya. Dengan kepala yang botak di bagian tengah, tidak akan sulit menemukan ‘matahari’ di kerumunan manusia.

“Katamu kau akan pergi dengan seseorang. Tapi nyatanya kau datang sendirian,” ucap Gordon.

“Yah... Begitulah.”

Ucapannya mengingatkanku pada Alice. Aku menghela napas lalu bersandar di jok mobil.

“Ada apa?”

“Ibunya melarangku membawanya ke sini.”

“Siapa?”

“Ehh... Teman.”

Aku menelan ludah.

Beberapa menit kemudian kita tiba di rumah Gordon. Rumahnya berukuran sedang seperti rumahku. Di pekarangan ada sebuah rumah anjing kecil, lengkap dengan mainannya.Kukira rumah orang Netherland memiliki kincir angin yang besar (?)

“Masuklah, Greyson.”

“Whoa... Ini milikmu???” Tanyaku bersemangat.Baru saja kami melangkah ke dalam, sudah terlihat beberapa alat musik dan perlengkapan rekaman di dalamnya. Benar-benar hebat. Aku tidak akan heran jika piring makan Gordon adalah vynil alias piringan hitam. Hahaha.

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang