Chapter 7

815 63 15
                                    

Pagi ini aku terbaring di ruang perawat sekolah. Kepalaku benar-benar sakit. Ibu guru bilang wajahku pucat. Setahuku pucat adalah keadaan dimana kulitmu akan terlihat putih kebiruan. Aku masih ingat bagaimana warna putih kebiruan itu. Dan aku sudah sering mengalaminya.

Saat masih kecil, aku mengidap tumor otak. Entahlah, aku kurang memahami dua kata itu. Tumor otak. Tiap kali aku meminta ibu untuk menjelaskannya, aku hanya mendapat jawaban, “itulah yang membuat kepalamu sakit.” Benar-benar tidak masuk akal. Maksudku... apakah benda yang menjatuhi kepalaku dan membuatnya sakit dinamakan tumor otak? Kadang aku berpikir ibu sengaja membuatku bodoh. Tapi aku segera menepisnya. Ibuku tidak sejahat itu. Tidak sehajat ayahku yang meninggalkan kami tiga belas tahun yang lalu.

Terkadang saat ingatan bodoh itu bermain di kepalaku, aku merasa senang. Aku senang bahwa dulunya aku juga bisa melihat seperti manusia normal lainnya. Aku baru bisa berpikir jernih setelahnya jika aku akan tidur dan memikirkan tidankan bodoh yang telah kulakukan seharian. Itu juga yang membuat Greyson berpikir aku ini bodoh dan tidak bisa melakukan apapun tanpanya.

“Apa yang harus kukatakan? Aku benar-benar gugup!” Joshua meremas genggaman tanganku.

“Tenanglah atau kau akan tampak seperti orang bodoh nanti.”

“Rileks, Jo. Rileks...” ucapnya ke diri sendiri.

Joshua mengatur napasnya. Ia menghirupnya lalu menghembuskannya. Lebih tepatnya seperti suara kuda nil yang baru saja muncul dari permukaan air.

“Kau mengenalnya?”

“Siapa?”

“Greyson. Kau menyebutkaan nama lengkapnya tadi.”

“Benarkah? Mungkin aku salah orang.”

“Tidak, tidak. Kau pasti mengenalnya. Seperti teman atau—“

“Bagaimana mungkin orang sepertiku bisa mengenal seorang penyanyi terkenal seperti dia? Jika kau bergurau ini sama sekali tidak lucu.”

“A-aku tidak bermaksud—“

“Lupakan,” aku menghela napas. “Aku... hanya asal bicara.”

“Kurasa kau juga gugup.”

“Sepertinya begitu.”

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Sekarang kami berada di ruang tunggu untuk menunggu apakah kami bisa menjenguk atau tidak. Saat kami datang, Greyson masih beristirahat dan kata orang tadi dia benar-benar membutuhkannya untuk masa pemulihan.

“Apa boleh aku meminta sesuatu?” tanyaku.

“Apa itu?”

“Jangan memanggilku Alice. Tapi nanti, saat kita bertemu idolamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk...” aku merubah posisi dudukku. “Atau jangan panggil namaku sampai dia sendiri yang menanyakannya. Oke?”

“Ada apa denganmu? Kau aneh.”

Aku hanya ingin tahu bagaimana respon Greyson  jika melihatku. Dia akan memperkenalkanku ke keluarganya atau berpura-pura bahwa kami baru saja bertemu.

“Apakah itu sulit untuk kau lakukan?”

“Hanya saja... bagaimana jika aku memperkenalkan diriku? Aku pasti juga menyebutkan namamu sebagai temanku.”

“Bilang saja kalau kau membawa teman.”

“Baiklah... maafkan aku jika aku melupakan rencanamu dalam sekejap. Gugup sering membuatku hilang ingatan.”

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang