[13] Yes, I Will

71 12 0
                                    

Alysia

Aku tidak bisa berhenti tersenyum sejak tadi. Semuanya terasa begitu menyenangkan. Aku tersenyum ketika melihat bunga dari Tristan. Aku tersenyum ketika melihat Tristan. Bayangkan saja, siapa di dunia ini yang tidak bahagia ketika mendapatkan sesuatu yang diimpi-impikan. Aku selalu bermimpi, ketika aku tua aku ingin berhenti dari pekerjaanku dan membuka sebuah toko bunga. Tidak perlu menunggu tua untuk mendapatkannya, aku sudah memilikinya di tanganku sekarang.

Akhirnya, aku tidak perlu menghabiskan waktu seharian di dalam rumah. Terdengar sangat menyenangkan, menjual bunga-bungaku untuk menemani segela moment semua orang.

"Gue udah punya suplier bunga yang akan datang setiap dua hari sekali. Jadi, lo nggak perlu kahwatir."

Aku sudah tidak perlu bingung lagi jika kehabisan stock dari bunga-bungaku

"Terus lo bisa pelajari semua tentang perawatannya di sini."

Tristan menyerahkan sebuah buku kepadaku, tidak terlalu tebal mungkin dua ratus halaman.

Aku mengangguk.

"Makasih ya."

"My pleasure, princess."

Lagi-lagi dia membuatku tersenyum.

Kami belum pulang dari toko bunga, Tristan sedang memasangkan sound untukku. Katanya supaya aku tidak kesepian saat tidak ada pelanggan. Aku baru saja meneliti semua bunga di toko ini. Menurutku tidak ada yang kurang, ini sudah standart toko bunga sepertinya.

"Di situ juga ada coffee maker." Tristan menunjuk pantry kecil di bagian paling belakang toko bungaku.

"Nggak usah beli celmek, udah ada di dalem lemari."

Bahkan dia juga menyiapkan hal sekecil itu.

"Kapan lo nyiapin ini semua?"

"Udah satu minggu, waktu lo keluar terus sama Aaron."

Aaron belum menghubungiku sama sekali. Dia juga belum mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Aku sangat yakin jika dia tidak memiliki jadwal penerbangan minggu ini. Apa yang dia lakukan?

"Al."

Dia masih sibuk dengan kabel – kabel di tangannya.

"Ya?"

"Lo bakal ngelupain hari ini nggak?"

Tentu saja tidak, bagaimana mungkin aku bisa melupakan hari ini?

"It's the best present in my birthday. Jadi gimana gue bisa lupa?"

"Ada hal yang lebih membahagian dari ini buat lo hari ini. Mungkin bakal bikin lo lupa sama kebahagiaan ini, can you promise me to keep this happiness for the rest of your life?"

Aku berjanji.

"I'll keep this for the rest of our life."

...

"Kakak kasih kado apa buat kamu?"

"Bunga."

"Cuma bunga aja?"

Mama melirik Tristan, hanya bermaksud menggodanya.

"Bunga satu toko, Ma."

Mata Mama membulat, pasti Mama tidak menyangka.

"Serius?"

Aku mengangguk.

"Selamat ya, akhirnya kamu nggak pengangguran lagi." Mama tertawa.

Kami sedang menunggu pesanan yang sejak tiga puluh menit yang lalu juga belum datang. Jika sepuluh menit lagi tidak datang aku akan kehilangan selera makanku. Tristan dan Mama sejak tadi membicarakan tentang saham-saham yang membuatku malas untuk bergabung dengan topik pembicaraan mereka. Jadi aku memutuskan untuk diam.

Tidak ada live band hari ini, tirai panggungnya pun masih tertutup. Biasanya di restoran ini selalu ada live band yang mengiringi waktu makan kita.

"Lama banget sih, Ma cancel aja yuk."

Tristan mulai protes, sepertinya dia juga lapar sepertiku.

"Bentar lagi, sabar. Sayang banget di cancel."

Kita sudah membayar, sayang juga jika di cancel.

"Mic check one two three."

Ini suara Aaron.

Tirai panggung itu terbuka, dengan Aaron di dalamnya.

...

Aaron

Aku tidak bisa diam sejak tadi, kakiku terus bergerak-gerak, tanganku menjadi dingin, pelipisku terus berkeringat. Aku benar-benar takut. Ini lebih parah dari apa yang aku rasakan ketika aku akan take off untuk pertama kalinya. Jika akan melamar Alysia aku sudah segerogi ini, bagaimana nanti ketika kita menikah? Apakah aku akan pingsan?

Aku bukan takut Alysia menolak menikah denganku, tentu saja dia akan mengiyakan permintaanku. Aku hanya takut ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan. Sebenarya aku tidak akan melamarnya dengan cara yang luar biasa seperti menari atau melamarnya di depan orang banyak. Aku hanya akan melamarnya di depan keluarganya, di depan Mamanya dan Tristan. Aku juga tidak akan memberikan sebuah persembahan yang luar biasa, ini hanya cara melamar yang biasa, karena aku tau dia membenci sesuatu yang berlebihan.

Pelayan baru saja menghampiriku, berkata bahwa mereka sudah datang. Aku akan keluar, aku mulai memasuki panggung. Tirai masih tertutup. Aku menarik napas dalam – dalam kemudian menghembuskannya.

"Mic check one two three."

Tirai terbuka. Ada Tente Yasmin, Alysia, dan Tristan di sana. Alysia terlihat terkejut.

"Dia sangat dewasa, tapi terkadang dia bertingkah seperti anak kecil, she's young but she's an old soul girl, Dia adalah tipe wanita, yang akan datang kerumahmu hanya sekedar untuk memelukmu ketika kamu bersedih. Dia lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam duduk di sebuah cafe, membaca buku kesukaannya yang entah sudah kesekian kalinya ia baca. Dia menghargai kualitas melebihi kuantitas, dia lebih memilih sesuatu yang pas untuknya dibandingkan dengan sesuatu yang sedang trend. Dia lebih suka menyimpan fotonya di buka hariannya di bandingkan dengan mengunggahnya di media sosial. Dia lebih mengingat kebaikan orang lain melebihi keburukan mereka. She's the definition of perfect."

"Mungkin di luar sana kamu akan bertemu seseorang yang lebih baik dari aku, tapi aku akan selalu belajar untuk menjadi lebih baik untuk kamu. Kamu selalu mencintai aku seperti aku tidak pernah melukai kamu sekalipun. Aku tidak pernah mempermasalahkan seberapa besar kamu mencintai aku. Aku juga tidak pernah mempermasalahkan siapa yang cintanya paling besar di antara kita berdua. Sekalipun aku mengerti bahwa rasa cinta kamu mungkin tidak sebesar milik aku. Aku akan mencintai kamu sebagaimana mestinya. Untuk empat tahun ini kamu rela memberikan sebagian waktu di hidup kamu untuk aku. Will you do that for the rest of your life?"

Aku turun dari panggung, seorang pelayan menyerahkan sebuket bunga carnation putih. Berjalan ke arah meja Alysia.

Aku menyerahkan sebuket bunga itu kepada Alysia. Alysia masih terlihat terkejut. Dia berdiri, aku mengeluarkan kotak merah bludru dari dalam saku celanaku. Berlutut di hadapannya.

"Alysia Calysta Dean, will you spend the rest of your life with me? Will you marry me?"

Dia terdiam, matanya berkaca – kaca. Aku masih tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.

"Yes, I will." Akhirnya dia tersenyum.

Aku berdiri, memasangkan cincin di jari manisnya. Dia memelukku.

...

Under Your DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang