"Yang ngumpulin laporan baru dua puluh sembilan orang nih. Yang lain nggak mau ngumpulin? Mau diantarin ke ruang dosen sekarang."
Dion yang punya posisi ketua kelas menghitung tumpukan laporan dan mengabsen siapa saja yang sudah mengumpulkan. Airin maju ke depan kelas dan meletakkan laporannya di atas tumpukan laporan yang lainnya.
"Lo bantuin gue ngantar laporan ya. Berat nih." Dion menatapnya datar, tanda tidak ingin dibantah.
"Gimana kalau yang terakhir ngumpul laporan aja yang bantuin lo bawain?" tawar Airin.
"Nggak bisa. Gue maunya lo yang bawain. Lagian kayaknya lo orang terakhir yang ngumpul."
Dion membagi laporan menjadi dua bagian dan meletakkan ditangan Airin yang mau tak mau buru-buru menangkap laporan itu sebelum terjatuh ke lantai.
"Udah nih? Segini doang yang ngumpulin? Oke. Kita antarin sama dosennya sekarang. Jangan salahin gue kalau ada yang dapat nilai jelek ya guys. Pokoknya gue udah ingatin buat ngumpulin tugas masing-masing."
Dion melangkah keluar kelas diikuti Airin yang menggerutu pelan dari belakang badannya.
"Gue denger omelan lo, Rin. Nggak usah menggerutu gitu kali. Yang lo antar juga laporan lo sendiri."
Mulut Airin berhenti mengoceh. Ia mencebik kesal tapi hanya bisa mengekor saja. Jadi penurut sekali-sekali kayaknya nggak masalah.
"Taruh disini aja nih? Beneran nggak apa-apa ibunya nggak ada? Kalau ada laporan yang hilang gimana?"
Kembali ocehan Airin terdengar. Ia ragu laporan itu akan aman begitu saja, karena itu laporan berkaitan dengan nilai di akhir semester nanti.
"Lo mau nunggin ibunya sampai datang? Gue sih mau lanjut kelas lagi."
Dion berbalik setelah meletakkan semua laporan di atas meja, termasuk yang sedari tadi dibawa oleh Airin.
"Gue juga ada kelas kali. Emang lo doang." Protes Airin.
"Berisik!" Tegur salah satu dosen yang sedang duduk di bangkunya.
"Maaf, Pak." Airin dan Dion buru-buru minta maaf dan melipir keluar.
"Cerewet sih lo." Ledek Dion menertawai ekspresi panik Airin.
"Lo yang buat gue ditegur, pake ngetawain lagi." Kesal, Airin memukul keras punggun Dion dan berlari menjauh.
Bukannya mengejar untuk balas dendam, Dion hanya bisa meringis mengelus punggungnya yang serasa terbakar, perih.
"Buset dah bocah. Mukulnya pake tenaga kuda, niat banget."
Airin yang merasa masih dikejar Dion terus berlari sampai belokan koridor. Gerakannya tertahan saat melihat Arga dan teman-temannya berjalan dari arah berlawanan. Airin melangkah pelan, menetralkan napasnya yang memburu karena habis berlari.
"Kak Arga.." panggilnya pelan membuat yang bersangkutan menoleh saat posisi mereka bersisian.
"Ya?"
"Soal pintu loker. Makasih udah dibantuin."
Airin baru bertemu lagi dengan Arga hari ini, jadi dia baru bisa bilang terimakasih sekarang. Sementara Arga hanya menaikkan kedua alisnya seperti berusaha mengingat sesuatu.
"Ah, itu. Oke. Sama-sama," jawabnya pendek sambil lanjut melangkah.
Teman-temannya yang semula hanya memperhatikan keduanya ikut berjalan menjauh, lanjut mengobrol seperti tidak ada sesuatu yang baru saja terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make You Feel My Love
Romance"Airin... Gue suka sama lo. Mau jadi cewek gue nggak?" Arga berdiri di depan Airin dengan buket bunga di tangan kanan. Cewek itu menatapnya dengan ekspresi shock. Bukan dibuat-buat. Ia benar-benar shock. Tiba-tiba dipanggil ke atas panggung, maju ka...