Enam

22 4 1
                                    

Nari benar-benar betah mendiamkan Airin, dan cewek itu juga masih sakit hati karena pernyataan Nari beberapa hari yang lalu. Jadi sekarang ia memilih menyingkir ke perpustakaan saja. Mencoba menyibukkan diri dengan bahan-bahan perkuliahan dan mengerjakan setiap tugas yang ada. Dari awal ia memang bukan orang yang senang keramaian. Jadi ia semakin jengah saat jadi bahan pembicaraan. Gosip itu belum reda juga. Masih ada satu dua orang yang menatapnya terang-terangan dan membicarakan tentangnya setiap ia lewat.

Buku yang dia butuhkan ditumpuk di tangan kiri lalu berjalan menuju sudut perpustakaan yang lebih sepi. Dia tidak ingin mendengar omongan orang hari ini. Telinganya sudah terlalu lelah mendengar tuduhan yang menyalahkan dirinya.

Salah gue apa sih? Kenapa gue nggak punya hak buat nolak orang? Lagian yang bilang suka sama gue juga belum tentu beneran suka.

Beberapa kali pikiran itu muncul dipikirannya. Masih belum mendapat jawaban.

Emang ada cara nolak orang yang benar? Hasilnya sama aja, penolakan. Jadi ngapain gue harus manis-manis di depannya? Kalau lo pada yang di posisi gue pas nolak juga palingan nggak jauh beda. Kabur gitu aja.

Airin meletakkan bukunya ke atas meja dengan kasar. Untung tidak orang lain yang protes saat itu juga. Ia menarik kursi dan mendudukinya. Headphone yang biasa diselipkannya di dalam tas sekarang sudah menempel di telinganya. Ia lebih senang belajar seperti ini.

Ruangan perpustakaan lumayan hening. Hanya terdengar bunyi lembaran kertas yang dibuka dan suara ketikan di keyboard laptop. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, begitu juga dengan Airin. Sampai ia dikagetkan dengan seseorang yang melepaskan earphone dari telinga kirinya dan dengan sok asik ikut duduk di sebelahnya. Airin nyaris mengumpat kesal kalau tidak melihat siapa pelakunya.

"Kak Arga?!" ia melotot kaget.

"Sendirian aja? Nggak sama Nari?" ujarnya santai sambil ikut mendengarkan lagu yang diputar dari Hp Airin.

Sok dekat.

"Gue musuhan sama dia."

"Kenapa?" Arga mengernyit heran, "bukannya kalian teman dekat?"

Gara-gara kampret kayak lo. 

Ia nyaris menyemburkan kalimat itu.

"Kepo amat sih, Kak. Jauh-jauh sana. Gue nggak mau jadi bahan omongan orang lagi. Capek."

Airin menunduk dan pura-pura menekuni buku di depannya.

"Sorry..."

Hening. Airin pikir ia salah dengar.

"Rin, gue beneran minta maaf. Gue nggak tahu kalau akhirnya bakalan begini. Lo jadi bahan gosip, itu bukan yang gue mau."

"Bukan salah Kak Arga kok. Gue yang bego."

"Airin..." Arga memegang bahu cewek itu supaya mau melihat wajahnya.

"Gue nggak apa-apa, Kak. Bentar lagi juga palingan mereka capek ngomongin gue."

"Tapi ini gara-gara gue nekat nembak lo di depan semua orang. Sorry. Gue nggak mikir jauh. Gue nggak mikir kalau lo bakalan tersakiti dengan tindakan gue."

"Please, Stop. Harusnya dari awal Kakak tahu akibatnya kalau main-main sama perasaan orang."

"Gue nggak main-main, Rin. Gue beneran suka sama lo."

"Omong kosong. Gimana bisa suka kalau kita interaksi aja nggak pernah."

Airin menarik lepas earphone dari telinga Arga  dan memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas. Lalu bergegas berdiri. Arga tidak ingin kehilangan kesempatannya.

Make You Feel My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang