Leiden Canals

3.2K 216 25
                                    


Hari Sabtu terakhir di bulan Juli, Kiya tengah mengayuh sepedanya dibawah terik matahari menyusuri Leiden Canals. Sebuah tempat wisata menarik yang menawarkan wisata air dengan menggunakan perahu untuk menyusuri kanal-kanal di Leiden yang indah, sesekali tangannya mengusap peluh dengan punggung tangannya. Senyumnya mengembang ketika matanya menangkap beberapa anak kecil tertawa riang sembari bersepeda.

Tiba-tiba Kiya tertarik untuk menaiki perahu bersama para pengunjung yang lain. Gadis itu pun menghentikan sepedanya dan menitipkannya di tempat penitipan sepeda, ia hanya perlu membayar dua euro untuk itu.

Tak lama kemudian, setelah Kiya membeli tiket, tibalah gilirannya bersama rombongan untuk menaiki perahu yang dikendalikan oleh seorang bapak tua bercambang putih. Bukan hanya warga Leiden saja yang berada satu perahu dengan gadis itu, namun ada beberapa wisatawan mancanegara. Antara lain adalah dua orang gadis muslim asal Maroko bernama Hajar dan Chaimae. Kiya berkenalan dengan dua gadis itu.

"Jadi kau dari Indonesia ya?" tanya Hajar.

"Ya, betul sekali," jawab sembari berdecak kagum saat melintasi bangunan-bangunan rumah kuno khas Belanda. Walau sudah berbulan-bulan berada di negeri kincir angin itu Kiya masih tetap saja kagum pada arsitektur bangunan yang khas dan unik itu.

"Wah Indonesia, itu adalah negara yang indah. Banyak pantainya, aku suka pantai," timpal Chaimae sembari tersenyum riang.

"Memangnya kau pernah ke Indonesia?" sindir Hajar.

"Belum sih, tapi suatu saat aku ingin ke sana. Kalau ke sana kan kita bebas visa Hajar," ujar Chaimae sembari sibuk memotret sekeliling, kebetulan Chaimae gemar photography.

"Bebas visa?" tanya Hajar kaget.

"Iya, memangnya kau tidak tahu ya? jika warga Maroko ke Indonesia bisa bebas visa, begitu juga sebaliknya," jelas Chaimae menghentikan aktivitas memotretnya. Hajar menggaruk kepalanya yang terbalut jilbab berwarna merah bata.

"Benar sekali Hajar. Negaraku dan negara kalian memiliki history tertentu sehingga hal itu bisa terjadi. Menurut artikel yang ku baca di Internet. Dulu, pada tahun 1955 diadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, salah satu kota di Indonesia. Dalam acara tersebut terdapat tamu seorang pejuang kemerdekaan dari Maroko. Dari situ pejuang tersebut memiliki semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan Maroko. Barulah satu tahun kemudian Maroko merdeka. Lalu presiden pertama Indonesia, yaitu Ir. Soekarno menjadi presiden pertama yang datang untuk melakukan kujungan ke Maroko. Hal itu disambut hangat oleh Raja Muhammad V. Ku rasa hal itu yang menjadikan negara kita meiliki ikatan persahabatan sampai sekarang," jelas Kiya panjang lebar.

"Wah ternyata kau tahu banyak tentang sejarah negara kita," puji Chaimae.

"Ups, kita sudah selesai berkeliling/ Lihat perahunya akan menepi," ujar Hajar.

"Tapi kita harus mengobrol lebih banyak lagi Kiya, aku ingin tahu banyak tentang Indonesia," pinta Chaimae menyilangkan tali kamera di lehernya, kemudian ia menangkupkan kedua tangan di depan bibirnya, memohon agar Kiya bersedia menuruti permitaannya.

"Chaimae benar, ayolah Kiya," bujuk Hajar juga.

"Baiklah, kalau begitu maukah kalian ikut aku makan siang di restoran Indonesia kesukaanku? Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar tujuh menit jalan kaki dari sini," usul Kiya.

"Ide bagus," celetuk Hajar.

"Ok, tunggu sebentar aku akan mengambil sepedaku." Kiya berlari kecil mengambil sepedanya di tempat penutipan. Kemudian ketiga gadis yang baru saling kenal itu berjalan sembari berbagi cerita satu sama lain sepanjang perjalanan menuju Restoran Toko Bungamas. Kiya menuntun sepedanya sedangkan Hajar dan Chaimae berjalan di samping Kiya. Mereka terlihat seperti sahabat lama. Islam memang indah, ketiga gadis muslim itu bisa cepat akrab. Itu semua karena semua umat muslim di dunia ini adalah saudara, tak ada perbedaan.

Tak lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan, ketiga gadis itu pun masuk disambut senyuman hangay seorang pramusaji yang sudah tak asing bagi Kiya, siapa lagi kalau bukan Camlo.

"Hai Kiya, kau sudah lama tak datang. Tiba-tiba kau datang bersama dua gadis cantik, kenalkan padaku dong," goda Camlo.

"Oh ya, perkenalkan. Mereka adalah Hajar dan Chaimae, mereka adalah teman-temanku dari Maroko," ujar Kiya.

"Hai Hajar, hai Chaimae. Perkenalkan, aku Camlo temannya Kiya juga. Salam kenal," ujar Camlo memperkenalkan dirinya sembari menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Camlo tahu betul pasti Hajar dan Chaimae tak mau berjabat tangan dengannya seperti halnya Kiya. Camlo sudah memperkirakan hal itu melalui penampilan dua gadis cantik berwajah Arab itu yang tak jauh beda dengan Kiya.

"Salam kenal juga, Camlo," jawab Hajar dan Chaimae bersamaan.

"Silahkan duduk, akan ku ambilkan buku menu untuk kalian," ujar Camlo sembari agak membungkukkan badannya.

Ketiga gadis itu pun menuruti perkataan Camlo. Mereka memilih tempat duduk yang terletak di depan etalase. Hajar dan Chaimae mengamati suasana sekitar, tampaknya dua gadis itu merasa nyaman. Tak lama kemudian Camlo datang membawa buku menu.

Setelah beberapa menit memilih menu, akhirnya pilihan Hajar jatuh kepada soto ayam dan teh hangat, sementara Chaimae lebih memilih nasi rames dan es cendol, sedangkan Kiya tetap tak berpaling dari makanan kesukaannya, yaitu sate ayam dan es teh manis. Camlo pun segera pergi ke dapur untuk memesankan pesanan ketiga gadis itu.

"Sekarang giliran aku ingin bertanya tentang Maroko. Ku dengar di sana ada sebuah kota yang seluruhnya biru, namanya Chef, Chefcha, aduh apa ya namanya susah, Chef....." ujar Kiya kesilitan mengingat nama sebuah kota di Maroko yang pernah ia ketahui dari sebuah novel yang pernah ia baca.

"Chefchaouen," celetuk Hajar.

"Ah ya benar, tapi aku lebih suka menyebutnya Blue City. Karena menurut novel yang ku baca dan setelah aku berselancar di dunia maya mencari info tentang kota itu, memang benar seluruhnya berwarna biru," jelas Kiya.

"Kau benar, seluruhnya biru, indah sekali. Kapan-kapan kau harus ke sana, kami berdua akan mengajakmu jalan-jalan sepuasnya di kota itu, iya kan Hajar?" ujar Chaimae melirik Hajar sembari tersenyum.

"Tentu saja," jawab Hajar mengacungkan ibu jarinya.

"Insha Allah," jawab Kiya sembari tersenyum.

Dari sudut yang berbeda, duduk seorang pria berpakaian serba hitam lengkap dengan kaca mata hitam dan topi berwarna hitam pula sedang mengamati ketiga gadis yang sedang asyik mengobrol.

-o0o-

Di sebuah bangku taman yang terletak di pekarangan belakang sebuah rumah bergaya Belanda kuno, duduk seorang wanita berjilbab yang sedang memilin-milin ujung jilbabnya, wajahnya tampak sendu. agakknya ia sedang menunggu kedatangan seseorang.

"Assalamu'alaikum," salam seorang pria yang tiba-tiba datang.

"Wa'alaikumsalam, akhirnya kau datang juga. Aku sudah menunggumu," wajah sendu wanita itu menjadi berbinar tatkala ia tahu siapa yang datang. Ia pun segera menghampiri pria di depannya itu lalu meraih tangan pria itu dan mencium punggung tangannya.

Pria itu pun meraih tubuh wanitanya dan memeluknya sembari berkata, "Aku akan belajar mencintaimu dengan sepenuh hatiku,"

"Terimakasih Drick," jawab wanita itu pelan.

"Aku akan melindungimu, membahagiakanmu dan tak akan membuatmu kecewa. Semoga Allah memberkahi pernikahan kita, Hafsah."

"Aamiin."

Ya, mereka adalah Drick dan Hafsah. Mereka sudah resmi mejadi sepasang suami istri sejak satu minggu yang lalu. Drick memang belum sepenuhnya bisa mencintai Hafsah, sebab masih ada gadis lain di dalam hatinya. Hafsah pun tahu hal itu. Akan tetapi, Drick akan berusaha mencintai Hafsah sepenuh hatinya, sebab memang Hafsah-lah yang pantas ia cintai, sebab Hafsah adalah istrinya, wanita itu adalah kekasih halalnya.

Minggu, 30 Juli 2017

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman pembaca MHB? Terimakasih masih setia dengan karya ini. Kritik dan saran dari kalian tetap saya nantikan. Btw, mohon maaf jarang update karena author sedang sok sibuk, heheh eh emang sibuk beneran deng banyak kegiatan. Doakan bisa menyelesaikan karya ini ya.

Dank je!

LOVESTRUCK OF THE ROSES [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang