DIMASKU

51 7 0
                                    

Drrrt...Drrttt...Drrtt
Kulihat ponselku bergetar, dan nama Dimas muncul dibalik layar. Lalu ku pencet tombol berwarna hijau itu untuk mengangkat panggilan darinya.

"Iya Dim, gimana?"

"Aku lagi dikantin, kamu mau nitip apa?"

"Mmm aku nitip minum aja Dim, nggak terlalu laper soalnya."

"Oke!" Jawabnya seraya memutus sambungan teleponnya. Lalu ku letakkan ponselku ke tempat semula dan kembali melanjutkan aktivitas menyalin ku yang tadi terpotong.

"Udah lebih dari setahun loh Mei, kamu gantungin Dimas, jangan bikin dia berharap banyak sama kamu. Kasian, kamu nggak tau kan? Mungkin aja di luar sana ada hati yang sedang menunggunya untuk berpaling, sedangkan tatapannya cuma lurus kearah kamu."

Ucapan Delisa barusan bak petir di siang bolong. Kata-katanya langsung ngena di hati dan seketika langsung membuatku merasa bersalah.

"Aku juga bingung Del, sama perasaanku sendiri, aku gak bisa cinta sama dia tapi aku juga gak bisa kehilangan dia, aku gak bisa lihat dia sakit karna aku. Dia orang yang baik, bahkan lebih dari baik."

Disela-sela perasaanku yang masih campur aduk, tiba-tiba Aldi datang dan membuat seisi kelas menjadi riuh. Sedang tatapannya lurus kearahku hingga membuatku mendelik lalu menundukkan kepala.

Jangan kesini
Jangan kesini
Jangan kesini

Do'aku dalam hati namun sayang kali ini tidak dikabulkan Tuhan.

Dengan penuh percaya diri dia menggeser posisi Delia dan kemudian duduk di sebelahku, hingga tatapan semua yang ada di kelas mengarah kepada kami. Sedang aku hanya bisa terpatung dengan tetap menundukkan kepala menahan malu.

"Aku mau bilang sesuatu sama kamu," ucapnya seraya meraih bangku disebelahku untuk didudukinya. Aku hanya diam dan masih tetap menulis.

" Aku suka sama kamu, tapi aku nggak butuh jawaban! Aku cuma mau kamu tahu, kalau aku juga bisa bikin kamu suka sama aku," ucapnya dengan percaya diri tepat di samping telingaku dengan intonasi sangat lembut.

Dengan seketika aktivitas menulisku pun berhenti, namun aku masih terdiam dan tanpa berucap sedikitpun.

Lalu dia berdiri dari tempatnya duduknya semula dan berganti posisi sedikit membungkuk di depanku dengan ke dua tangan yang menopang kepalanya. Hingga membuat tatapan matanya kini hanya berjarak tiga cm dengan kedua mataku. Dan aku mau tidak maupun harus membalas tatapannya.

"Kasih aku waktu satu bulan, aku jamin kamu bakal jadi milik aku," ingin ku berteriak dan berkata kasar padanya kala itu, memang siapa dia berani berkata seperti itu kepadaku. Sampai membuatku malu seperti ini.

"Aku gak suka sama kamu." Dengan bersusah payah akhirnya akupun berani berucap.

"Oke! Tunggu tanggal mainnya." Ucapnya dengan penuh percaya diri. Terlihat sangat jelas senyum yang mengembang diwajahnya. Lalu pergi dengan santainya meninggalkanku yang masih penuh dengan tanda tanya?

Kalau boleh jujur pada saat itu jantungku berdetak sangat cepat. Sampai-sampai suaranya bisa dengan jelas ku dengar, apa kau juga mendengarnya kala itu? Ku harap tidak. Bisa malu aku.

¤¤¤

"Aku bawain jus mangga kesukaan kamu."
Beruntunglah Dimas datang tepat waktu, sehingga dia tidak turut menyaksikan kejadian memalukan beberapa menit yang lalu.

"Thanks ya Dim," ucapku seraya meraih jus dari genggaman Dimas. Lalu kemudian dia duduk di sampingku.

"Aku ke kantin dulu ya," pamit Delisa dengan senyum tipisnya. "Kalo mau titip sesuatu bisa sms aku," imbuhnya seraya berjalan kearah pintu kelas. Aku dan Dimas hanya mengangguk.

"Lagi nulis apaan Mei? Sampai lupa makan gitu?" Tanya Dimas sambil mengusap-usap keningku hingga membuat poniku jadi berantakan.

"Ini lagi nyalin catetannya Delisa Dim, lo tau kan gue paling anti kalo disuruh nyatet, ini kalo nggak Pak Agus mah gue ogah?" Dimas hanya tertawa kecil sembari tetap menatapku.

"Besok main yuk Mei? Dah lama lho kita nggak jalan keluar?"
"Kemana Dim?

"Kemana ajalah, ke Mall, beli buku atau nonton volly juga boleh, kemana aja asal berdua sama kamu aku suka," Aku hanya bisa tersenyum mendengar kalimat seperti itu, andai aku bisa berkata bahwa aku juga suka berdua sama kamu, tapi kenyataannya itu sulit, entah kenapa rasa cinta itu tak kunjung muncul di hatiku. Pernah aku mencoba untuk membuka namun pada akhirnya aku hanya takut kalau itu malah akan membuat semakin terluka? Bukankah hati itu tidak bisa di paksa?

"Emm boleh, lihat besok ya?" Jawabku sembari melempar senyum ke arahnya, sebuah senyum yang tulus dari hati.

TERJEBAK RINDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang