1 (Revisi)

152 12 1
                                    

"Ribet banget sih, mana harus bawa yang kayak ginian lagi."seorang gadis baru saja menuruni anak tangga. Berpakaian putih biru serta mengenakan hijab. Tak lupa kacamata minus yang selalu ia gunakan. Tangan kirinya membawa satu kantong kresek hitam dengan berbagai macam isinya. Tak lupa tas plastik yang ia rias dengan berbagai macam hiasan.

"Gimana udah siap, dek?"seorang perempuan paruh baya memasuki kamar anak bungsunya. Sarah, ibunda dari Anjani Dwi. Seorang remaja perempuan yang sekarang menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Tetapi, Anjani akan tetap menjadi gadis kecilnya yang sangat cantik dan menggemaskan.

"Udah dong, ma."Anjani seraya tersenyum riang, merapikan berbagai macam barang yang akan dia gunakan semasa Masa Orientasi Sekolahnya di hari pertamanya ini.

Ya, memang ini adalah hari pertamanya menginjakan kaki di SMA. Sebagaimana sudah menjadi program pemerintah untuk melaksanakan MOS di setiap sekolah-sekolah, baik smp maupun sma.

"Kamu mau sekolah atau ke pasar sih, dek? Kok kakak liat kayak orang yang mau jualan aja?"ujar Wulan --kakaknya yang sedari memperhatikannya diruang makan.

"Kakak kayak gak pernah ngerasain aja. Dulu juga kakak malah lebih parah dari ini. Mana harus diiket lagi rambutnya, terus harus naik angkot lagi, terus kaos kaki item putih, jam tangan pake tutup botol, dan yang lebih parah lagi, rambutnya diiket harus sama kayak tanggal lahir. Berarti harus dua puluh tiga iketan."tawa Anjani pecah saat itu juga. Memang pasalnya Wulan jauh menderita dari pada ini. Sarah yang sedari tadi memanda kedua putrinya juga itu tertawa. Sedangkan Wulan menatap Anjani dengan tatapan ingin menerkam.

"Awas ya kamu!"Wulan melemparkan tatapan tajam.

"Eh udah dong, lanjutin sarapannya kak. Adek juga cepetan sarapan, kalo telat gimana? Ini kan hari pertama kamu MOS."Sarah melerai perdebatan kecil kakak beradik itu.

"Tauk kamu. Kalo kesiangan gak bisa baris paling depan, tar gak bisa liat cogan lagi."Wulan terkekeh dengan guyonan pada adik semata wayangnya itu.

"Kakak..."lerai Sarah.

"Iya..iya mah."ucapnya pasrah.

Anjani dan Wulan memang terpaut usia cukup jauh hingga delapan tahun. Walaupun tidak jarang pertengkaran sesekali menghampiri. Namun selalu ada yang mengalah, bukan berarti salah. Tapi hanya ingin meringankan masalah.

Menurut mereka, itu memang bumbu persaudaraan. Perselisihan yang membuat mereka berdekatan dan saling menguatkan dalam satu ikatan. Tanpa meninggalkan rasa benci yang menyelimuti hati, kemudian berkontraksi dan tak terasa saling menyakiti.

****

Anjani memasuki gerbang SMA Nusa Bangsa. Dilihatnya setiap sudut, seperti sedang mencari seseorang.

"Jani!!"seru seorang wanita dari belakang dimana dia berdiri sekarang.

Merasa namanya dipanggil, dia menoleh ke asal suara. Dilihatnya seorang wanita yang memakai pakaian sama dengannya berlari kecil kearahnya.

"Alya!"

Alya Adinda, memeluk Jani dengan penuh rasa rindu. Karena pasalnya setelah lulus SD dulu, mereka sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah ketemu. Hingga sekarang waktu memberikan kesempatan untuk mereka kembali dipersatukan.

Sampai beberapa waktu lalu, Alya menghubungi Jani bahwa Alya akan kembali ke Bandung. Karena memang setelah lulus SD Alya memilih meneruskan ke Sampit, Kalimantan karena tugas pokok sang ayah yang mengharuskan Alya pindah ke Sampit.

"Apa kabar, Al? Gue kangen banget ya Allah. Sekarang lo udah putih ya."Canda Jani disela-sela pelukannya.

Mendengar itu, Alya melepas pelukannya, "Lo gak berubah ya, masih aja suka ngomong 'sekarang lo udah putih ya' padahal dulu gue gak item-item banget. Lo juga makin ngembang aja tuh pipi. Jangan-jangan poundation lo pake Baking Powder lagi?"Jani terkekeh gemas mendengar ucapan polos sahabat masa kecilnya itu.

A N J A N ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang