.
Kita menghabiskan waktu seharian dengan chat. Anehnya kita tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Ketika membicarakan cinta mulai membosankan, kita beralih ke hal-hal lucu, lalu ke hal serius seperti politik, dan pemikiran kita mengenai film, musik, bintang, alien, dan semacamnya. Kamu adalah teman chatting paling menyenangkan yang pernah ada. Lebih dari itu, kamu kekasih yang sempurna.
Seringkali kita bicara di telepon dan vicall. Sesekali kau bicara pada ibuku, dan kadang adik perempuanku diam-diam meneleponmu setelah kumarahi. Anak itu memang senang sekali mengadu padamu. Dan tentu saja kamu membelanya, karena kamu belum tahu betapa manjanya adikku.
Hingga suatu hari aku menulis status yang khusus kutujukan untukmu.
Ketika seorang laki-laki mulai serius menjalani sebuah hubungan, dia tidak berpikir untuk memberi boneka, coklat, atau bunga pada wanitanya. Tapi nama keluarga.
Dan kutulis nama belakangku pada namamu.
Itu benar, aku mulai berpikir serius tentangmu. Aku merasa telah menemukan sesuatu yang disebut belahan jiwa, dan itu kamu.
Aku ingin menikahimu.
Dengan tawa bahagia kamu bilang setuju. Hari itu aku seperti terbang ke angkasa. Bahkan senyum ini tak pernah lepas dari bibir. Aku benar-benar melayang.
Setelah itu, hari-hariku dipenuhi dengan bayangan tentang masa depan kita. Saat kita tinggal di dalam rumah yang sama, tidur di satu ranjang yang sama, dan membesarkan anak-anak kita.
Itu terdengar seperti surga untukku.
Setelah itu, aku mulai bersiap. Mempersiapkan segalanya untuk sebuah pernikahan yang mulai kita rencanakan. Bahkan kita sudah memutuskan kapan tahunnya.
Kusiapkan tabungan untuk kita. Setiap bulan aku bahkan meminta gaji lebih banyak dari seharusnya pada ayah. Kadang ayah sedikit mengomel mengingat apa yang kukerjakan hanya konsentrasi pada hape hingga kadang melupakan para karyawan, tapi gaji meminta lebih banyak. Hanya saja dia mengerti.
Hingga tiba satu hari sebelum keberangkatanku ke kotamu. Kamu menelepon. Bukan untuk menyampaikan rasa bahagia atau tak sabar menunggu, tapi mengatakan hal yang sama sekali tak ingin kudengar.
Kamu bilang, orangtuamu tak setuju. Mereka tak menginginkan kedatanganku. Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk meyakinkan keluargamu. Saat aku bertanya kenapa? Akhirnya kamu mengakui hal yang selama ini kau tutupi. Bahwa kamu telah dijodohkan sebelum kita saling mengenal.
Remuk? Pasti.
Terasa seperti jatuh dari ketinggian, terhempas, lalu hancur berkeping-keping. Tak berbentuk lagi.
Kamu menulis kata maaf berkali-kali. Hanya saja aku sudah tenggelam dalam isakan tertahan di ruang kerja yang tertutup rapat. Jika saja kau lihat betapa meja kerjaku telah terbasahi oleh airmata.
Lalu lampu hijau itu kemudian mati.
Esoknya, dan keesokan harinya lagi, namamu tak lagi terlihat dalam barisan on line friend. Berminggu-minggu, hingga berbulan kemudian kamu menghilang. Bahkan nomor teleponmu pun tak aktif lagi.
Lalu kudengar kabar tentang pernikahanmu.
Kau tau apa yang menyakitkan? Bahwa aku telah memberikan sebagian jiwaku padamu, dan saat jiwa itu kau bawa pergi, ada sesuatu yang kosong di dalam sini.
Ditambah pertanyaan-pertanyaan mereka tentangmu, tentang kita. Apa yang harus kujelaskan? Bahwa ternyata kau harus menikah dengan yang lain? Bahwa kita tak mempunyai takdir untuk bersama? Atau bahwa media sosial adalah tempat terkonyol untuk mencari pasangan hidup?
Entahlah, yang kutahu, aku merasa mati.
***
Beberapa waktu kemudian, aku mulai terbiasa. Terbiasa mengawali hari tanpa ciuman selamat pagi, melalui siang tanpa cerita dan canda tawa, lalu menutup malam tanpa kecupan dan doa agar hidup bersama.
Semuanya kembali ke awal.
Hari-hari dimana aku menjalani aktivitas membosankan seperti semula.
Hingga suatu hari, kulihat lampu hijau itu kembali menyala. Terdiam, aku hanya menunggu.
[Hai.] Sapamu.
Kau benar-benar datang lagi.
[Ya.] Jawabku, dengan gemuruh dalam dada. Antara kerinduan, dan rasa tak percaya. Mungkin terdengar bodoh, tapi memang itu kenyataannya.
Kadang cinta yang terlalu dalam, malah terlihat seperti kebodohan di mata yang lain.
Hanya saja, aku tau di mana batasanku. Kita memang bicara, tapi kembali seperti dua orang asing yang baru saling menyapa. Kau tak lagi memanggilku Bacha, dan aku tak memanggilmu Sohna.
Karena kita, tak lagi punya hubungan apa-apa.
.
When you said goodbye
I was smile
I didn't cry
I didn't hold your hand
I didn't beg your pity
Nor ask you to try for me
I've let you walked away
'Coz if you love me ... you'll stay
.
Even actually,
When you said goodbye
I knew m going to die#Shin R