Hanya Sebuah Rasa

1.6K 126 9
                                    

Hanya Sebuah Rasa

.

        Aku menyukai hujan dan aroma yang dibawanya. Aku menyukai titik-titik embun pada kaca dan lembab yang diciptakannya. Aku menyukai betapa suara sendu hujan menghasilkan lintasan kenangan disetiap benak yang mengamatinya.

Hujan.

Pagiku dihiasi dengan hujan.

Aku menatap keluar lewat kaca jendela basah. Dingin. Di luar terlihat beberapa pasang kaki berlari meninggalkan suara kecipak yang semakin menjauh. Anak-anak sekolah dengan payung warna-warni, juga para wanita yang sibuk memulai hari.

Hujan telah mereda. Meninggalkan embun di setiap kaca yang sempat terpeluk oleh dinginnya. Sama, seperti layar ponsel di atas meja kecil di samping ranjang. Sama dingin, sama hening, sama berembun. Menandakan bahwa dari semalam ia tidak tersentuh sama sekali.

Aku meraih benda itu. Melihat betapa layar itu kosong tanpa pesan yang tertera. Hanya saja, pagi ini aku harus mulai merasa terbiasa.

[Pagi ...]

Pesan terkirim. Lalu kuletakkan lagi di sisi kiri. Mengamati hujan yang telah benar-benar pergi dan perlahan terusir oleh bias sinar mentari pagi.

Lama. Baru kemudian ponsel bergetar. Menandakan ada pesan masuk dari seseorang.

Dia. Aku tersenyum.

[Pagi juga]

[Udah bangun?]

[Barusan]

[Ujan nggak di sana?]

[Enggak. Cuma dingin.] Tak lama kemudian ponsel kembali bergetar, [udah dulu ya Kak. Mau mandi ama beres-beres]

[Sebentar, Sayang] aku menahannya.

[Ya?]

[Aku pengen ketemu hari ini]

Agak lama, baru terkirim balasan.

[Tapi hari ini aku ada janji mau pergi belanja bareng Dea, Kak.]

[Jam berapa?]

Lama.

Aku mengusap embun yang menghalangi pandangan mata keluar jendela. Kini suasana di luar terlihat lebih jelas. Genangan air, dedaunan yang basah, dan para pejalan kaki yang semakin banyak.

Mereka yang telah memiliki janji untuk melakukan sesuatu, tak perlu berpikir selama itu untuk menyebutkan waktu. Begitu kan?

[Jam 11] akhirnya dia menjawab.

[Ok. Kalo gitu kita ketemu jam 2. Bisa? Ada yang mau aku bicarakan]

Butuh waktu lama baginya untuk memutuskan. Benar-benar bukan seperti dia yang aku tahu.

[Ya udah. Kita ketemu jam 2 di kafe biasa ya?]

Aku tersenyum.

[OK. Have a nice week end.]

[Same to you]

[Cium.]

[Muah. Bye]

[Love you, Baby]

Hening. Dia sudah pergi.

Aku masih menatap layar ponsel dengan pikiran melayang. Jauh. Jauh ke belahan lain di kota yang sama. Dimana masih terbaring di atas ranjang seorang gadis bermata indah yang kurindukan. Yang dulu biasanya di setiap minggu pagi selalu bicara lebih lama dengan berbagai alasan.

Cinta. Rindu. Dan rasa nyaman.

Sekarang jelas berbeda.

Aku tersenyum.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang