Rindu yang Sialan
.
Where'd you go
I miss you so
Seems like it been forever
That you've been gonePlease come back home
"Dasar jones!" Kanicha berseru kesal Patrick mengetuk kepalanya. Cuma karena gadis itu menyetel lagu-lagu berlirik rindu.
"Berisik!" Patrick menyipit, kesal. Karena sang adik seperti sengaja tengah meledek. Padahal itu cuma perasaannya saja.
"Makanya cepet nikah!" Kanicha menjulurkan lidah, "jadi nggak harus move on melulu!"
"Sini, wet!" Patrick melambaikan tangannya, gemas.
"Nggak mau!"
"Sini!"
Tapi gadis itu sudah berlari pergi.
Tinggal Patrick di teras rumah bercahaya lampu kekuningan. Menatap keluar, dimana di atas sana terlihat taburan bintang dan cahaya pucat bulan. Memetik-metik gitar dengan pikiran melayang. Berputar-putar ke segala arah ujungnya ke wajah gadis keras kepala yang selalu marah-marah.
Mengingat saat-saat awal mereka saling bicara dulu. Setelah saling suka dan memberi beberapa komentar tentang tulisan, akhirnya mereka jadi terbiasa saling sapa di tempat yang hanya ada mereka berdua.
"Sha!"
"Apa?"
"Jangan jatuh cinta!"
"Dih, ge er banget!"
"Aku serius ..."
"Ya memangnya siapa yang mau jatuh cinta sama kamu?"
"Kamu."
"Enggak."
"Kebanyakan cewek yang udah-udah begitu. Ngobrol sebentar lalu jatuh cinta."
"Hahahah!"
"Yaelah, serius, Sha!"
"Ya kamu itu aneh! Ke PD an banget jadi orang."
"Makanya jangan."
"Kenapa memang?"
"Karena aku udah jatuh cinta. Tapi aku mau kita terus sedekat ini sampai lama."
"Hmm ... maksudnya?"
"Kalau kita pacaran, pasti ujungnya putus ..."
Saat itu, Alisha hanya tertawa. Lalu akhirnya menjawab.
"Nggak, kita kakak adekan aja!"
Mereka berdua sepakat.Tapi itu berat. Mereka berdua tidak kuat. Tidak kuat menahan rasa yang semakin hari semakin meronakan wajah keduanya.
Sampai akhirnya, Patrick memberikan tanggal jadian sesuai permintaan Alisha.
Lalu mereka terlihat bahagia.
Bahagia selamanya? Itu dongeng. Karena pacaran di depan publik banyak godaannya. Pertama harus tahan di ciee ciee in. Kedua harus tahan kalo salah satunya digodain. Dan yang ketiga, harus kuat saat mulai terjadi perang dingin.
"Cowok nggak peka!"
"Cewek ambekan!"
Yah, keduanya selalu saling lempar tudingan. Intinya sama-sama keras kepala. Lalu akhirnya sama-sama terluka.
Alisha meracau seperti kesetanan, sementara Patrick berlalu pergi menghilang.
Beberapa hari kemudian, saat rindunya sudah tak tertahan, mereka kembali baikan. Tertawa, bercanda, bermesra-mesra, lalu ...
Perang dingin lagi.
Berulang-ulang.
Hingga keduanya sama-sama kelelahan.
Kadang tak saling bicara, kadang bicara sebentar kemudian saling mengabaikan.
Keduanya sama-sama berpegang pada kebenaran. Hanya saja benar dalam pendapat masing-masing, dalam versi yang berbeda. Lalu akhirnya sama-sama menyerah dalam kesakitan yang sama.
Setahun bukan waktu yang singkat. Ada banyak kebiasaan yang harus dihapuskan. Tentang ucapan selamat pagi, tentang pada siapa harus bercerita apa yang dilakukan hari ini, tentang ucapan penuh kerinduan sesaat sebelum memasuki dunia mimpi.
Terlalu banyak memori.
Patrick kesakitan. Sakit karena harus menghapus kenangan yang begitu besar. Apalagi, Alisha sama sekali tak membiarkannya lebih dulu menemukan logika. Alisha memilih menghilang tanpa ucapan perpisahan yang bisa menghapus rasa.
Sekarang di sinilah Patrick.
Malam minggu. Memeluk gitar. Duduk di teras rumah. Sibuk memainkan jari di atas layar. Memberi komentar ke postingan beberapa teman dengan emot tertawa. Tapi ada yang berbeda. Sekarang dia tak lagi seramah dulu.
Sedikit saja berbeda pendapat, Patrick merasa panas. Lalu membalas dengan kata-kata yang membuat hatinya merasa puas.
Hanya karena dia ingin melampiaskan apa yang terasa semakin menghimpit dada. Rasa sesak yang membuatnya seperti tersengal tiap kali menarik napas.
Bukan.
Itu bukan luka. Itu hanya rindu tak berjeda.
.
Where'd you go? I miss you so
Seems like its been forever
That you've been gonePlease comeback home
.End