.
Bahkan kerasnya batu bisa ditembus oleh tetesan air. Jadi apa yang membuatmu yakin hati akan selalu tertutup untuk perhatian yang terus mengalir?
Sekeras apapun dia mencoba menghindar, tetap saja tertangkap olehku saat matanya tanpa sadar mulai berbinar.
"Sayang aku nggak?" godaku sambil menatap wajahnya yang mulai merona.
"Nggak!" Dia cemberut, tapi kulihat kedua pipi itu kini sudah semerah tomat.
"Masa?" Aku menahan tawa.
"Kak, ihh!" Matanya membesar, berusaha terlihat marah tapi malah membuatnya semakin terlihat cantik.
Aku tertawa, lalu menepuk kepalanya pelan.
Dia gadisku. Kesayanganku. Alasan tingkah gilaku akhir-akhir ini. Namanya Alisha.
"Sha,"
"Ya?"
"Cium ya?"
Plak!!
***
"Patrick!" Beberapa cewek berseru memanggil. Mereka teman-temanku, lumayan akrab. Terlihat asyik berkumpul bersama beberapa teman cowok juga.
Aku melangkah mendekat. Seketika kami terlibat obrolan seru disertai canda tawa. Hingga akhirnya kulihat Alisha berdiri di kejauhan. Mata bulatnya menatapku sebal dengan kedua tangan di depan dada.
"Duluan ya!" Aku melambaikan tangan pada mereka sambil melangkah pergi. Sempat kudengar mereka titip salam untuk Alisha.
Setelah mendekat, Alisha melangkah lebih dulu meninggalkanku dengan wajah cemberut. Aku berusaha menjajari langkahnya.
"Kenapa? Marah ya?" tanyaku.
"Nggak!" Ketusnya.
Kami berjalan bersisian tanpa suara. Aku tau dia sedang kesal, karena itu aku hanya menunggu dia mengungkapkannya. Tanpa banyak bertanya, karena sudah tahu bagaimana sifat Alisha.
"Kak!" Akhirnya dia berhenti.
"Hmm?"
"Aku bingung deh sama perasaan aku sendiri."
"Bingung kenapa?"
Dia menunduk. "Sebenernya ... kenapa juga aku harus marah. Lagian kita nggak punya hubungan apa-apa, kan?"
"Nggak punya hubungan apa-apa?" ulangku dengan dahi berkerut. Tapi kemudian menahan senyum menyadari maksud dari ucapannya. Selama ini aku memang tidak pernah memintanya secara langsung menjadi pacarku. Yang kulakukan hanya menggoda. Kemudian saat dia mulai luluh, aku hanya menemani, menjaga, dan mengantar pulang. Kugandeng tangannya di depan semua orang, bagiku itu sudah menunjukkan bahwa kami berdua memang mempunyai ikatan.
"Hmm ... selama ini menurutku tanggal jadian emang nggak penting. Tapi kalo menurut kamu itu penting, aku ngalah."
Kulihat dia memainkan jemari tangan.
"Sha, mau nggak jadi pacarku?" tanyaku.
Dia mendongak menatapku. Kulihat senyuman tertahan di bibirnya. Manis. Sejenak kami bertatapan, kemudian dia menundukkan wajah lagi.
"Iya ..."
"Iya apa?" godaku.
"Iya, pacaran." Wajahnya memerah.
"Kok cepet banget jawabnya? Udah naksir duluan ya?" Aku menahan tawa melihat ekspresi wajahnya.
"Ihh!" Dia memukul bahuku dengan mata melotot. Tapi kulihat semburat merah di pipinya semakin nyata.
"Sha,"
"Ya?"
"Cium ya?"
Plak!
***
Hari minggu ini kami ke taman kota. Kulihat rona bahagia Alisha saat ia mendekap boneka teddy hadiah dariku sambil menjilat es krim vanilla kesukaannya. Mulutnya tak berhenti berceloteh membicarakan apapun yang terlintas di pikirannya.
Masih kuingat dulu, sebelum kami sedekat ini. Alisha gadis galak dan penyendiri meskipun sikapnya ramah pada siapapun. Susah didekati. Mungkin itu yang membuatku jatuh cinta.
Awalnya dia sedikit menghindar, mungkin karena takut aku cuma mempermainkan perasaannya. Tapi itu justru semakin membuatku penasaran. Bukan dengan kata aku meraih hati Alisha, tapi dari caraku dengan terang-terangan menunjukkan pada semua orang betapa aku menginginkannya.
Sampai akhirnya ... kami sedekat ini.
"Manis." Aku berucap.
Dia mengalihkan pandangan padaku. "Apa?"
"Kamu sadar nggak sekarang berubah?" jawabku sambil mengelap sisa es krim di bibirnya.
"Berubah gimana?"
"Sikap kamu. Sekarang sedikit kalah."
Dia terdiam, "Apa ... itu buruk?" tanyanya kecewa.
Aku tersenyum. "Entah."
"Kaak ... jawab."
"Udah sore, pulang yuk!" Aku bangkit berdiri.
"Jawab dulu!" Dia mulai cemberut.
"Entar," jawabku sambil menarik tangannya, mengajak berdiri. Dan saat kami berdiri berhadapan dengan mata saling menatap, pandanganku beralih ke bibirnya.
"Sha,"
"Ya?"
"Cium ya?"
Dia menamparku, tapi tidak sekeras yang lalu-lalu.
***
Aku mematikan mesin motor tepat di halaman rumah mungil bercat hijau itu. Lalu melepaskan helm dari kepala Alisha.
"Sekarang jawab!" Dia mendesak dengan wajah penasaran.
"Iya."
"Iya apa?"
"Iya, pacaran." Aku menahan tawa membuat Alisha teringat jawabannya beberapa waktu lalu.
Mata bulatnya membesar, malu dan kesal. "Kak, ihh!!"
Aku tertawa.
"Ayo jawab!"
Aku berhenti tertawa. Lalu menatapnya lekat dengan tatapan serius. Dia balas menatapku. Lalu wajah cantiknya mulai gugup, menunduk menyembunyikan sipu.
Jemariku bergerak membenahi rambut di sekitar telinganya.
"Sha," suaraku setengah berbisik.
"Ya ..." kulihat dia semakin gugup.
"Cium ya?"
Dia menatap mataku sekilas, lalu menunduk lagi dengan wajah semakin memerah. Tidak ada tamparan, tidak ada penolakan. Bahkan dia memejamkan mata saat wajahku mulai mendekat.
Di antara jarak bibir yang hanya beberapa senti aku berhenti. Memandangi matanya yang terpejam. Menyadari gadisku begitu gugupnya.
Ini yang kumaksud kalah. Bahwa saat seorang gadis jatuh cinta, perlahan dia akan mengalah pada logika. Baik atau buruk, tergantung pemuda seperti apa yang menggenggam hatinya. Tipe perusak, atau tipe penjaga.
Aku mengalihkan kecupan ke dahinya.
"Pulang ya," pamitku saat melihat matanya terbuka.
Dia mengangguk dengan senyum merekah sempurna. Lalu aku melesat pergi dengan motor hitam besarku.
Aku ... masih punya banyak waktu untuk mengecup bibir itu. Nanti. Setelah kami tinggal dalam satu rumah yang sama.
.
~ ○ esam ○~