Its Still About You
.
Lama kita tak saling bicara, lama tak saling menyapa. Di sini aku terlihat baik-baik saja. Masih menjalani hari dalam sebuah kotak dengan rutinitas yang sama. Hanya bedanya, aku tak berbicara dengan siapa-siapa.
Bahkan padamu.
Karena tak kauberi kesempatan pada kita untuk tetap saling bicara. Kau menjauh, dan aku hanya berdiri di sini. Menyibukkan diri.
Kadang, terbersit tanya di kepalaku. Di sana, di duniamu yang baru, pernahkah kau mengingatku? Mengingat tentang kita? Mengingat janji-janji yang hampir setiap hari kita ucapkan dulu, saat masih bersama?
Pernahkah?
Aku tidak menganggapmu berdusta. Aku tak menganggapmu mengingkari semua janji. Aku anggap ini semua sebagai takdir. Bahwa kita memang tak berjodoh. Kita hanya pernah terikat dalam takdir yang sama.
Hari ini, entah kenapa rasanya aku merindukanmu. Mungkin karena semalam tiba-tiba aku bermimpi tentangmu. Melihat wajahmu setelah sekian lama, rasanya berbeda. Kau terlihat cantik. Rona bahagia di wajahmu tampak nyata. Hanya saja, ada bulir airmata di sana. Kau menangis, di atas indahnya senyum.
Ada apa?
Sejenak aku terdiam, memangnya kenapa? Apa yang terjadi padamu bukanlah urusanku. Kau punya seseorang kepada siapa kau bisa menumpahkan kesah. Begitu kan, Sohna?
Tapi, ternyata perasaanku memang terlalu lemah. Jika itu tentangmu.
Akhirnya, jemariku yang sedikit bergetar, membuka chat lama kita. Men-scroll ke atas, membaca ulang chat bertahun lalu. Ada kebahagiaan, ekspresi lucu, kerinduan dan rasa cinta yang begitu besar. Hingga sampai pada chat terakhir, dimana kau tulis kata maaf dengan emot airmata tertumpah.
Dan aku ... tak membalasnya, bukan karena aku tak memaafkanmu. Tapi karena saat itu ... tangisku bukan sekedar emot. Airmata benar-benar tertumpah dari kelopak mata ini. Dengan dada terasa sesak dan pandangan yang kabur serta jemari gemetar hebat, mana mungkin aku bisa membalas. Ya kan, Sohna?
Degub jantungku menghentak, kulihat lampu hijaunya menyala.
Sohna? Apa kau merasakan rindu yang sama?
[Bacha, kau di situ?]
Ada pesan masuk.
Benar, dia datang! Sejenak aku hanya terdiam. Pengecut memang. Tapi .., bicara denganmu sekali lagi akan menghancurkan apa yang sedang kuusahakan selama ini. Melupakanmu.
[Bacha, aku tau kamu di situ :( ]
Itu caramu. Caramu memaksaku untuk menjawab. Karena kau tau aku tak suka saat kau memakai emot bersedih.
[Ya, aku di sini. Apa kabar?]
Akhirnya aku menjawab.
[Baik. Kamu gimana?]
[Baik juga. Lagi ngapain?]
[Pengen liat kamu :D ]
[Haha, oh ya?]
[Beneran.]
Aku tersenyum. Masih semanja dulu. Caranya bicara padaku, sedikitpun tak berubah. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku merasa suasananya senyaman dulu.
Untuk beberapa saat, kami banyak bercerita. Lalu aku mulai tertawa saat dia mulai membuat lelucon konyol dari pembicaraan kami. Kemudian, mulai muncul perasaan lama yang bangkit kembali. Di setiap detiknya.
Hingga akhirnya aku menyadari, ada sesuatu yang berbeda pada foto-foto terakhir yang dikirimnya.
[Hei, Sohna]
[Ya, Bacha?]
[Aku tau kamu nggak suka makan sayur. Tapi, sebaiknya sekarang kamu harus banyak makan buah dan sayur. Jangan kebanyakan makan makanan fast food. Minum Vitamin. Jaga kesehatan ....]
Sesuatu menetes dari sudut mata saat mengetik kata-kata itu. Pelan, aku mengusapnya dengan punggung tangan.
Agak lama dia terdiam.
[Makasih, Bacha ...] akhirnya dia membalas. [Aku ... cuma kangen. Aku tau saat ini udah bikin kamu sedih lagi. Maaf, Bacha.]
[Haha, nggak papa. Ya udah, aku agak sibuk sekarang. Take car.]
[Take car, 'coz car is more expensive than bike. Na? :p ]
[Hahahaha ...]
Aku tertawa. Tertawa, hanya saja airmata semakin banyak menggumpal di kelopak mata. Lalu kulihat lampu hijaunya mati.
Dia sedang hamil. Pernikahannya sudah membuahkan hasil.
Pelan, aku mengusap gumpalan air di sudut mata dengan ujung jari.
Lalu tersenyum, dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa merasa aneh dengan keadaan menyedihkan ini? Bukankah hati yang lebih mencintai adalah hati yang paling sering tersakiti?
Ya kan, Sohna?
.