BATAS
.
"Pasti lagi nongkrong di klub malam ama temen-temen nggak jelas!" Ketusnya lewat telepon.
"Yaelah, Mel. Ini lagi sama Bang Wawan ama Adi. Barusan selesai pemotretan!"
"Alesan!"
"Serius, Sayang!"
"Kamu tau nggak aku nungguin kamu dari pagi. Aku pikir hari mingu kamu nggak ambil pemotretan karena mau bagi waktu sama aku!"
"Maaf, Sayang. Tapi Bang Wawan tiba-tiba majuin jadwal hari ini! Maaf ya? Sekarang aku ke sana."
"Nggak perlu! Ini udah jam 11 malem!"
"Please, sebentar aja."
"Udahlah nggak usah!"
"Yaah, dia ngambek."
"Kamu ngeselin tau nggak! Sekarang sama sekali nggak ada waktu buat aku! Selalu sibuk! Sibuk kerja, juga sibuk ngumpul sama temen-temen kamu di luar sana!" Suaranya mulai terdengar serak.
"Iya, maaf!"
"Bisanya minta maaf melulu!" Sengatnya.
Minta maaf salah, tidak minta maaf tambah salah. Resiko debat sama cewek!
"Oii, Vin! Lu masih mau di sini?" Terdengar teguran Bang Wawan. Ternyata dia dan Adi sudah bersiap untuk pulang dari studio tempat kami melakukan pemotretan dengan para model majalah tempat kami bekerja.
"Ya enggaklah, Bang. Masa mau nginep!" Aku meringis. Menyambar ransel dan ikut keluar dari studio yang lampunya sudah dimatikan.
Akan meneruskan pembicaraan bersama Melisha tapi ternyata sambungan telepon sudah diputuskan.
Ngambek lagi!
Merasa bersalah, aku mampir membeli ayam bakar kesukaan Melisha saat melesat pulang. Lalu datang ke kontrakan dimana dia tinggal.
Berdiri di depan pintu selama lebih dari setengah jam. Sambil mengirim SMS yang semuanya udah di-read tapi tidak dibalas, sementara telepon juga tidak diangkat.
Aku tahu dia di dalam sana. Mungkin sedang menangis. Atau mungkin juga sedang memaki. Merasa bersalah tapi juga sedikit kesal. Akhirnya menyerah dan pulang setelah meletakkan bungkusan ayam bakar tepat di depan pintu kamar.
Sempat kukirimkan pesan terakhir yang aku tahu tak akan mendapat balasan.
[Ada ayam bakar kesukaan kamu di depan pintu. Makan sana. Biar tambah tenaga buat nangisnya. Love you, baby]
***
Dan akhirnya semua yang semula rekat perlahan akan berjarak seiring berjalannya dentang sang waktu dan kesepian.
Clab!
Aku menyeringai saat melihat pisau kecil yang kulemparkan hanya menancap di lingkaran ketiga di papan.
Bang Wawan mendongak dan mengembuskan asap rokok dari mulutnya. Tertawa kecil. Dan aku benci ditertawakan serendah itu.
"Lagi ada masalah lu ya?" Seperti biasa dia bertingkah sok tahu.
Tapi sialnya, kali ini tebakannya benar.
"Hmm." Aku melemparkan pisau kecil itu lagi. Dengan tenaga lebih daripada yang terakhir kali. Sial, kali ini pisau mengenai dinding, lalu jatuh berdenting.
"Ama Melisha?"
"Pake nanya. Memang pacar gua ada berapa, Bang?"
"Ya kali pacar yang lu akuin cuma satu, yang laen buat cadangan di kamar!" Pria yang usianya lumayan jauh di atasku itu terkekeh.