El masih khusyuk meresapi beberapa bait-bait mushaf yang kini tengah di lantunkannya dengan suara pelan. Di saat seperti itulah El merasakan ketenangan ketika membaca bait-bait ayat dari Rabb-nya. El selalu menyempatkan waktu luangnya untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Minimal, El membaca Al-Qur'an satu hari satu juz, karena El berusaha istiqamah dan jika bisa, maka ia akan menambahnya lagi. Belum lagi surat-surat penting lainnya yang istiqamah ia baca setiap malam."Assalamu'alaikum. Bang, makan malam sudah siap. Ditunggu Ami sama Kak Reza di ruang makan." Asya memberi tahu El dari balik pintu kamarnya.
Shodaqallahul'adzim.
El segera menutup mushaf dan meletakannya di atas nakas. "Iya, sebentar Sya, nanti Abang nyusul." El segera beranjak dari duduknya, melipat sajadah dan bergegas keluar dari kamarnya. Tak ada sahutan dari Asya, berarti dia sudah turun ke ruang makan.
El segera turun menuju ruang makan.
"Selalu Abang yang terlat," gumam Asya, setelah El tiba di ruang makan.
"Amalan, Sya. Nanti takut kelupaan." El duduk di samping Hilda.
"Kamu sudah tau, kalau habis isya Abangmu masih ada amalan, jadi maklumi saja." Hilda ingin Asya mengerti.
"Kamu sudah amalan belum? Jangan ngomel aja." Reza menyenggol lengan Asya karena posisi mereka bersebelahan
"Asya sudah terbiasa menyelesaikannya sebelum tidur." Asya membela diri.
El hanya diam mendengar kedua adiknya berbincang.
"Sya. Kalau kamu habiskan semua amalanmu ketika mau tidur, takutnya memberatkanmu. Cicil saja dari sebelum shalat isya, karena masih ada waktu untuk menyicil amalan, minimal dapat surat Yasiin, Al Mulk, Sajadah, dan Waqi'ah." Reza menyarankan.
"Za. Siapa tau Asya gunakan waktu itu untuk belajar tugas kuliahnya. Kita juga enggak boleh memaksakan orang lain agar waktu amalannya seperti kita. Biarlah adikmu amalan sesempat dia, yang penting jangan sampai lalai dalam amalan." El menengahi keduanya.
"Sudah. Selalu ada topik untuk dibicarakan di ruangan ini. Yang penting anak-anak Ami tidak lupa dengan amalan. Mau amalan malam, pagi atau siang, yang penting kalian semua menunaikan amalan masing-masing dan jangan memaksa siapa pun agar seperti amalan kita. Niat dan iman seseorang itu beda-beda, maka jalani amalan kalian sesuai niat dan kapasitas iman kalian." Hilda ikut menengahi.
Semua terlihat diam dan mulai fokus pada makanan masing-masing. Jika bukan El yang menengahi, maka Hilda yang akan melakukannya.
"Mi, tamu kita sudah makan?" tanya El.
"Ehem ..." Reza pura-pura berdehem meledek El.
El menoleh ke arah Reza yang sedang mengunyah makan malamnya.
"Nanti Ami yang mengantarkan makan malam untuknya." Hilda masih menyantap makan malamnya.
"Mi. Menurut Ami, gadis itu cantik nggak?" Reza menatap Hilda.
"Awas, Mi. Seperti bau motif terselubung." Asya meledek Reza.
"Semua gadis pasti cantik, Za," sahut Hilda cuek.
"Tapi, menurut Reza, dia tidak seperti gadis pada umumnya." Reza tersenyum mengembang melihat respon El hanya diam dan datar.
Hilda hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putra keduanya yang sangat jauh berbeda dengan El.
"Istigfar, Za. Yang ada dipikiran kamu tuh, pikiran syetan." El akhirnya angkat suara.
"Kayaknya semua cewek pasti di bilang gitu sama Kak Reza. Temen-temen Asya juga digituin sama Kak Reza." Asya tersenyum mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mujahadah (Sudah Terbit)
Spiritual(Tersedia versi cetak dan ebook di Playstore) Aku tidak pernah terpaksa untuk menikahinya, karena aku yakin, Allah sudah mengatur setiap jodoh hamba-Nya. Jika Asifa bukan jodohku, maka Allah akan jauhkan dia dariku seperti saat ini. Jika Hira adalah...