Bagian 6

18.4K 1K 4
                                    

Sampai pagi ini, Hira masih merasa kesal dengan sikap ayahnya. Ia tak menyangka ayahnya akan semudah itu menjodohkannya dengan laki-laki yang hanya baru ia jumpai beberapa kali. Hira tak suka dengan perjodohan itu. Ia tak akan pernah menerima perjodohan itu sampai kapan pun.

"Hira. Ayah mencarikan jodoh yang tepat untukmu. El baik, mapan, tampan, sholeh, apalagi?" Wijaya berusaha meyakinkan Hira.

"Tepat untuk Ayah, tapi tak tepat untukku." Hira menatap sinis ayahnya.

Lina dan Man hanya mendengarkan argument Wijaya dan Hira.

"Kamu masih menunggu David? Tunggu saja, maka semua ini akan berakhir. Kamu akan kehilangan rumah ini! mobil kamu! kartu kredit kamu! Semua yang kita miliki! Silakan! Ayah sudah bicara baik-baik denganmu. El lebih baik dari David! Bahkan kamu mengenal lebih dulu keluarga El daripada Ayah, seharusnya kamu bisa menilai! Semua keputusan ada di tangan kamu!" Wijaya meletakkan sendok makannya dengan kasar sehingga menimbulkan dentingan keras. Wijaya lalu berdiri dan berjalan meninggalkan ruang makan.

"Tapi Ayah-"

"Diam." Lina memotong ucapan Hira.

"Kasih pengertian padanya. Dia bukan anak kecil lagi yang harus selalu kita turuti. Ini masalah masa depan dia dan masa depan kita semua," lanjut Wijaya sebelum keluar dari ruang makan.
Putri yang ia dambakan justru bertolak belakang dengan keinginannya.

"Ibu tak tau harus mengatakan apa padamu, karena Ibu merasa sulit di posisi ini. Ibu hanya ingin memilih yang terbaik untuk masa depan kita semua. Ibu tak berpihak pada Ayahmu atau kamu. Mengertilah. Ayahmu melakukan semua ini untuk masa depanmu. Apalagi yang kamu harapkan dari David? Dia sudah meninggalkanmu demi pendidikannya di luar negeri. Mengertilah, Nak. Ini untuk masa depan kita semua." Lina berusaha agar Hira mengerti dan berpikir mengenai semua ini.

Perusahaan Wijaya terancam bangkrut. Hanya perusahaan El yang mampu menolong Wijaya.

Mata Hira berkaca-kaca. Semua orang menyudutkanku. Tak mengerti perasaanku.

Lina dan Man meninggalkan meja makan, menyisakan Hira sendiri. Hira meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Iya, Ra?" sapa seseorang dari arah ponselnya.

"Entar siang sibuk enggak? Aku pingin ketemu kamu."

"Enggak. Kita ketemu di tempat biasa, yah?"

"Iya. Aku tunggu."

Hira mematikan sambungan panggilannya dengan Mona. Selera makannya seketika hilang. Ia segera beranjak menuju kamar.

***

El menghela napas ketika duduk di kursi kerjanya. Ia kembali ke kantor itu. Ruangan itu masih sama seperti ketika ia meninggalkan kantor itu beberapa tahun yang lalu. Ia terpaksa kembali ke kantor atas pertimbangannya.

Semuanya masih sama.

El kembali menghela napas ketika mengingat masa lalunya mengenai seseorang. Seseorang yang tega meninggalkannya karena pendidikannya.

El terkesiap ketika pintu ruangannya di ketuk. Ia meluruskan punggungnya dan menyuruh orang itu masuk.

Reza masuk ke dalam ruangan El dan ia segera duduk di hadapan El. "Bagaimana Kak? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Reza curiga, melihat paras El tanpa ekspresi.

"Semuanya baik. Tidak ada perubahan pada ruangan ini." El tersenyum hambar.

"Aku sengaja tidak merubah semua ini karenamu. Kakak tidak suka jika orang lain merubah sesuatu yang sudah menjadi kehendak Kakak." Reza mengingat sifat El.

Mujahadah (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang