Wijaya masih tak percaya dengan ucapan putrinya. Wijaya ingin mendengar semuanya langsung dari mulut El. El tidak mungkin membatalkan perjodohan itu tanpa alasan yang jelas dan tanpa berbicara langsung pada Wijaya. Wijaya tak tenang menanti kedatangan El.
"Assalamu'alaikum." El menyapa Wijaya.
"Wa'alaikumussalam." Wijaya menatap El.
"Maaf kalau saya terlambat."
Wijaya tersenyum. "Tidak apa-apa. Silakan duduk."
El pun duduk. "Apa semuanya baik-baik saja? Tidak biasanya Pak Wijaya mengajak bertemu mendadak seperti ini?"
"Ini masalah pembatalan perjodohan Pak El dan putri saya."
El hanya tersenyum tenang. Ia sudah bisa menebak jika pembahasannya mengenai perjodohannya dengan Hira.
"Selamat siang, Pak. Ada yang mau di pesan?" Seorang pelayan kafe menghampiri mereka dan menawarkan pesanan.
"Capucino latte satu." El memesan.
"Ada lagi?" tanya pelayan.
"Itu saja untuk saat ini." El tersenyum.
Pelayan itu mengangguk dan pamit pergi.
"Apa benar, Pak El yang membatalkan perjodohan ini? Kenapa Pak El tak bilang langsung pada saya? Kenapa Pak El menyuruh saya bertanya langsung pada Hira kalau kenyataannya Pak El menolak Putri saya?" tanya Wijaya to the point.
"Sebelumnya saya minta maaf. Saya tidak ada maksud menolak Hira. Saya hanya tidak mau menjalani perjodohan ini jika salah satu dari kami ada yang merasa terpaksa. Saya tak ingin Hira merasa terpaksa dengan perjodohan ini. Dan lagi, saya masih bingung dengan perjodohan ini atas dasar apa, karena semuanya serba mendadak." El tersenyum sekilas. "Sekali lagi saya minta maaf. Jika Pak Wijaya menjodohkan Hira pada saya karena masalah kerja sama, Pak Wijaya tak perlu khawatir. Saya akan tetap membantu Anda." El masih tenang dan tersenyum.
Wijaya terdiam. Pelayan pun datang membawa pesanan El. Pelayan kembali pergi setelah meletakkan pesanan El.
"Kita masih bisa bersaudara meski Hira tak berjodoh dengan saya," lanjut El sambil mengaduk minumannya.
"Sebenarnya, saya menjodohkan Hira dengan Pak El bukan karena bisnis kita. Saya ingin, Hira mendapat suami yang bisa membimbing dia supaya lebih baik lagi. Saya tidak ingin Hira mengharapkan laki-laki yang tak pernah serius ke arah pernikahan. Masalah bisnis, itu hanya bonus saja, yang penting Hira mendapat calon suami yang baik dan bertanggung jawab. Saya pikir, Pak El orang yang tepat untuk Hira, tapi ternyata salah." Wijaya mengungkapkan isi hatinya.
El hanya diam dan tersenyum. Ia bingung harus berkata apa. Mungkin laki-laki yang di maksud Pak Wijaya adalah David. Laki-laki yang Hira cintai.
"Maaf, jika saya jadi curhat." Wijaya merasa tak enak hati.
"Saya mengerti dengan perasaan Pak Wijaya. Setiap orang tua pasti ingin memberikan kebahagiaan untuk anak-anaknya. Entah itu dalam pendidikan atau pun dalam masalah jodoh. Tapi semua itu kita kembalikan lagi pada Allah. Kita yakin saja dengan Allah bahwa semua takdir kita ada di tangan-Nya." El mencoba membuat Wijaya mengerti.
Wijaya hanya mengangguk. Wajahnya nampak terlihat sedih. El semakin merasa bersalah dengan semua ini, tapi ia tak bisa memaksa Hira untuk menerima semua ini.
"Kalau begitu, saya pamit untuk pulang." Wijaya mengakhiri pertemuan itu. Ia merasa, pertemuan ini adalah pertemuan terakhirnya membahas perjodohan itu. Wijaya merasa sedih dengan keputusan El.
El pun hanya bisa mengangguk.
Wijaya berlalu dari hadapan El. El pun berlalu pergi setelah kepergian Wijaya. El keluar dari kafe dan pandangannya tertuju pada Wijaya yang sedang berdiri menunggu jemputan. El segera menghampiri Wijaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mujahadah (Sudah Terbit)
Spiritual(Tersedia versi cetak dan ebook di Playstore) Aku tidak pernah terpaksa untuk menikahinya, karena aku yakin, Allah sudah mengatur setiap jodoh hamba-Nya. Jika Asifa bukan jodohku, maka Allah akan jauhkan dia dariku seperti saat ini. Jika Hira adalah...