Hira semakin tersudut dengan diamnya Wijaya, Lina, dan Man, semakin membuatnya sedih. Ia seperti tak dianggap di rumah itu. Satu pekan, ia bagaikan di tempat asing. Hira mengakui kesalahannya, tapi ia enggan untuk mengungkapkannya. Hira meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat gelisah ketika tak ada jawaban.
El, ayo angkat. Aku ingin bertemu denganmu. Aku yakin kamu enggak sibuk di hari libur seperti ini.
Hira berharap, El mengangkat panggilannya, tapi nihil. Pesan pun tak di balas El meski terkirim. Hira memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas dan berlalu pergi.
"Mbak Hira mau ke mana?" tanya Siti, pembantu dirumahnya.
"Mau ke rumah temen, Bi. Bilang saja saperti itu kalau Ibu nanya." Hira pun kembali melanjutkan jalannya untuk keluar rumah.
Hira segera menaiki taksi ketika taksi pesanannya sudah tiba. "Perumahan Regatta, Pak." Hira mengintruksi sopir taksi.
Sopir taksi itu mengangguk dan melajukan taksinya menuju tempat yang disebutkan Hira.
30 menit, Hira tiba di depan gerbang rumah mewah yang pernah ia masuki. Ia ragu ketika akan menekan bel. Hira menarik napas dan membuangnya perlahan. Menguatkan hatinya untuk bertemu dengan keluarga El. Di saat yang sama, sebuah mobil akan masuk ke dalam rumah itu. Mobil itu berhenti di depan Hira dan membuka kaca. "Kak Hira?" sapa Asya.
Hira tersenyum. "Hai, Sya."
Asya menekan klakson agar gerbang di buka. Tak lama, gerbang pun terbuka. Asya memasukkan mobilnya ke garasi, lalu turun dan menghampiri Hira. "Ayo masuk, Kak," ajak Asya.
Hira mengangguk dengan senyum tipis. Mereka berjalan menuju teras rumah dan masuk ke dalam. "Assalamu'alaikum. Ami ... ada tamu spesial, nih." Asya mengajak Hira menuju ruang keluarga.
"Siapa, Sya?" Hilda menghampiri Asya. "Nak Hira." Hilda tersenyum ramah melihat Hira.
Hira meraih tangan Hilda dan mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu?" tanya Hira setelah melepas tangan Hilda.
"Baik, Nak. Kamu, Ibu, Ayah, apa kabar?"
"Semuanya baik, Bu." Hira tersenyum. Pandangannya mencari sosok yang ingin ia temui.
"Ayo duduk." Hilda mengajak Hira agar duduk di sofa. "Sya. Bilang Bi Iyam, buatkan minum buat Hira," perintah Hilda pada putrinya.
Asya berlalu pergi menuju dapur.
Hira pun duduk di sofa.
"Tadi ketemu Asya atau gimana bisa bareng Asya?" tanya Hilda penasaran, melihat kedatangan Hira bersamaan dengan kepulangan Asya.
"Tadi Hira habis dari rumah temen, kebetulan lewat jalan depan jadi Hira sekalian mampir ke sini." Hira terpaksa berbohong pada Hilda. Ia tak mungkin berterus terang jika dia sengaja datang ke rumah itu untuk bertemu El.
Hilda mengangguk.
"Ada tamu?" tanya Nisa melihat Hira.
"Kenalin, ini Hira, gadis yang waktu itu nginep di sini. Calonnya El." Hilda menggoda Hira dan mengenalkan Hira pada Nisa. Hilda sengaja berpura-pura tidak tahu mengenai masalah El dan Hira.
"Oh, ini Hira." Nisa tersenyum pada Hira. "Saya Nisa, adiknya Bang El." Nisa mengulurkan tangan.
Hira menjabat tangan Nisa dan tersenyum. "Hira," ucapnya malu.
"Kak Nisa, kata Abang suruh telepon." Asya duduk di samping Hilda dan meletakkan minuman di depan Hira.
"Kenapa?" tanya Nisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mujahadah (Sudah Terbit)
Spiritual(Tersedia versi cetak dan ebook di Playstore) Aku tidak pernah terpaksa untuk menikahinya, karena aku yakin, Allah sudah mengatur setiap jodoh hamba-Nya. Jika Asifa bukan jodohku, maka Allah akan jauhkan dia dariku seperti saat ini. Jika Hira adalah...