Bagian 9

17.4K 947 8
                                    

Man segera menemui ayahnya setelah bertemu dengan Mona. Man tak mungkin menyembunyikan semua kesalahan Hira dari ayahnya. Man merasa kasihan pada ayahnya, karena harus menanggung malu di depan keluarga El. Meski El menutupi semuanya dari keluarganya, tapi Man tahu, El mendapat tekanan dari Hira.

"Ayah. Ada yang ingin Man sampaikan mengenai Hira dan El," kata Man pada Wijaya ketika tiba dihadapan meja kerja Wijaya.

"Ada apa, Man? Ada apa lagi mengenai El dan Hira?" tanya Wijaya bingung.

Man duduk di depan ayahnya. "Kemarin, Man enggak sengaja mendengar obrolan Hira dengan Mona. Man penasaran dengan obrolan mereka karena Hira menyebut El dan pembatalan perjodohan itu. Awalnya Man enggak percaya, tapi tadi Man bertemu Mona dan Man minta Mona jujur pada Man agar mengatakan masalah pembatalan perjodohan El dan Hira. Mona akhirnya terus terang setelah Man paksa." Man menjelaskan.

Wijaya menyimak dengan seksama.

Man kembali menjelaskan ketika El memergoki Hira sedang membahas masalah David dan rasa tidak suka Hira dengan perjodohan itu. Man menambahkan jika Hira menemui El untuk memastikan pembatalan perjodohannya dan menyuruh El agar tidak mengatakan apa pun pada Wijaya karena Hira sediri yang akan mengatakan pada Wijaya.

Wijaya terlihat geram. Tangannya mengepal. Ingatannya kembali ketika El mengutarakan pembatalan perjodohan karena bisnis. Tapi ternyata, ada motif lain dari pembatalan perjodohan itu dan semua itu karena putrinya. Wijaya merasa kecewa dengan putrinya. Ia malu pada El dan keluarga El karena ulah putrinya. Wijaya merasa, jika keluarganya telah memanfaatkan kebaikan El.

"Ayah. Ayah harus tenang. Man tau Hira salah, tapi Ayah harus menyikapinya dengan kepala dingin." Man mencoba membuat sang ayah tenang.

Wijaya meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang. "Batalkan semua pertemuan. Jika ada sesuatu, hubungi Man." Wijaya langsung menutup panggilannya, lalu menghubungi orang lain.

Man hanya menatap Ayahnya yang sedang menahan amarah. Man pun merasa bingung dengan semua itu.

"Iya, Ayah?" sapa Hira, setelah panggilan tersambung.

"Kamu dimana?" tanya Wijaya.

"Lagi di rumah. Kenapa, Yah?"

"Jangan kemana-mana. Ayah akan pulang. Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan." Wijaya langsung mematikan panggilan bersama Hira lalu Wijaya menatap Man. "Ayah mau pulang. Tangani kantor untuk hari ini. Jika ada apa-apa segera hubungi Ayah." Wijaya mengenakan jasnya.

Man hanya mengangguk.

Wijaya pun berlalu setelah meraih tas kantornya. Man hanya menatap kepergian ayahnya yang tengah menahan amarah.

30 menit, Wijaya tiba dirumahnya. Ia segera memasuki rumah. Lina merasa heran, karena suaminya pulang secepat ini.

"Tumben siang-siang sudah pulang? Apa Ayah baik-baik saja?" tanya Lina, menerima tas kerja Wijaya.

"Ayah baik-baik saja. Mana Hira?" tanya Wijaya, bergegas duduk di ruang tengah sambil mengurai dasi yang terasa seperti mencekik lehernya.

"Ada dikamarnya." Lina menerima dasi pemberian Wijaya.

"Panggilkan dia ke sini dan buatkan teh panas untukku," perintah Wijaya.

Lina mengangguk dan segera berlalu. Hatinya masih dipenuhi tanda tanya mengenai kepulangan suaminya yang tak biasa itu. Ia bergegas menuju dapur, menyuruh pembantunya agar membuatkan teh panas untuk suaminya. Setelah itu, Lina bergegas menuju kamar Hira.

Lina masuk ke dalam kamar putri bungsunya. Hira masih pulas tertidur. "Ra. Dipanggil Ayah di bawah." Lina menepuk lengan putri bungsunya.

"Sebentar lagi, Bu," gumam Hira, masih memejamkan matanya.

Mujahadah (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang